The Wai Momi

2015/5/31 / Laela Anggraeni Nurazizah / The Wai Momi / Indonesia 印尼 / tidak ada

""Desaku yang kucinta, pujaan hatiku.
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku.
Tak mudah kulupakan, Tak mudah bercerai.
Selalu ku rindukan, desaku yang permai.""
 Lirik lagu Ini mengingatkanku saat aku ditunjuk guru mewakili sekolah ikut lomba menyanyi lagu nasional tingkat SD se-kabupaten. Ibu yang memilihkan lagu ini untukku, ia mendukung dan mengajariku cara bernyanyi yang baik dan benar. Ibuku seorang seniman kala itu.

""Nak, kamu tau mengapa ibu memilihkan lagu ini untukmu?"" tanya ibu pelan.

""Tidak bu, memang kenapa?"" jawabku polos.

""Ibu ingin mengajarkan padamu padamu arti kerinduan terhadap tempat tinggalmu. Desamu. Keluargamu.""

""Memang apa yang bisa kudapat dari lagu ini, Bu?"" tanyaku penasaran.

""Kelak jika kamu dewasa nanti. Kamu dituntut untuk menemukan jati dirimu.""

""Ahhh ... Ibu! Aku tidak mengerti sama sekali apa arti jati diri itu?!""

""Semua orang akan menemukannya ketika telah mengarungi kehidupan yang panjang dan pengalaman yang luar biasa. Jati diri akan menunjukkan siapa kamu sebenarnya?! Sudah bertanggung jawabkah kamu pada hal-hal yang mesti dipertanggungjawabkan.""

""Hufttt ... Ibu ku memang jago akting. Weeeeee"" Aku meledeknya.

""Ehhhhh ... Kamu ngledek ibu! Awas ya anak nakal!"" Ucap ibu bergurau.

""Ha ha ha ... enggak bu, ampun!""
Ibu menggelitiki badanku hingga aku tertawa terbahak-bahak.

***

Terakhir kalinya aku menemui ibu, aku membasuh kakinya dan berharap dapat doa restunya.

""Bu ... aku berjanji akan pulang membahagiakanmu seutuhnya. Ibu yang sehat-sehat. Panjang umur. Aku bisa jaga diri sendiri disana, Jangan khawatir!"" pintaku pada ibu.

Ibu memelukku, ia mencoba menyeka air matanya sambil tersenyum padaku dan berkata.

""Doa tulus ibu selalu menyertaimu. Semoga kamu selalu bersama dengan orang-orang baik. Semoga Allah selalu melindungimu. Anak ibu pasti jadi orang sukses!""

""Aamiin Ya Robbal Alamiin. Terimakasih, Bu.""

""Jangan lupa kewajibanmu sebagai seorang muslim. Harus ingat! Darimana kamu berasal. Selalu ikhlas, sabar dan bersyukur! Kamu pantas Untuk bahagia, Nak.""

""Iya, Bu. Aku akan selalu ingat ucapan Ibu. Aku pasti akan sangat rindu.""

Ibu kembali memelukku dengan erat. Air mata keharuan pun mengalir. Tergambar jelas sekali, bahwa sebenarnya beliau enggan untuk melepasku. Tapi mau tidak mau. Suka tidak suka. Kehidupan membawaku ke tahap ini.

Taiwan, Desember 2012.

Tiba di Taiwan dengan suhu yang dingin. Waktu itu memang sedang puncaknya musim dingin. Jangankan untuk menggeret koperku. Untuk berjalan pun, kakiku terasa berat. Hidungku mengeluarkan darah. Badanku benar-benar belum siap menerima perbedaan ini. Aku hanya berdoa dalam hati. Semoga langkah kedepannya dimudahkan dan diberi kekuatan lebih.

Singkat cerita. Aku tiba di rumah majikanku. Rumahnya bertingkat lima dan di lantai bawah adalah kantor tempat majikan dan karyawannya bekerja. Majikanku punya usaha jual alat-alat dan suku cadang berbagai jenis mobil. Jadi tak heran jika setiap hari kerja, rumah ini tak pernah sepi.

""Ni hau!?"" majikan menyapaku sopan.

""Oh! Hau ... hau ... !"" jawabku gugup sambil manggut-manggut.

""Silahkan memperkenalkan diri!"" perintah majikanku.

Tanpa fikir panjang, aku dengan cepat dan fasih memperkenalkan diriku.

""Wow ... ! Hebat kamu!"" ucap majikan puas.

Lalu, majikanku bertanya beberapa pertanyaan. Aku lupa pertanyaannya, tapi yang jelas pada saat itu, aku tau jawabannya. Dengan rasa percaya diri yang tinggi aku menjawabnya secara cepat dan mendetail panjang seperti kereta!.
Majikanku mengeryitkan alisnya kemudian berkata.

""Ata ... Kamu bicara apa memang!? saya tidak mengerti apa yang kamu ucap.""

Lalu majikan bertanya pada karyawan yang memang saat itu ada disaat aku datang.

""Kira-kira kalian ada yang tau tidak. Apa yang Ata bicarakan? tanya majikan pada karyawannya.

""Tidak!!!"" mereka menggeleng kepala dan menjawabnya kompak.

Ha ha ha ... Entah, mau kutaruh dimana mukaku saat itu!

***

Job kerjaku sebenarnya menjaga akong. Tapi setelah tiba disini. Aku merawat anak-anak dan bersih-bersih rumah.
Awal aku bekerja disini aku kesulitan bahasa. Memang aku sudah mendapatkan ilmu saat masih di penampungan. Tapi pada kenyataan di lapangan. Cara bicara, dan berbagai hal yang telah aku pelajari itu selalu ada perbedaan. Dan kita di tuntut untuk menyesuaikan. Apa boleh buat.

3 bulan adalah waktu paling sulit untukku beradaptasi. Dan mungkin itu berlaku untuk para imigran seperti aku ini.

Aku mengurus dua orang anak perempuan yang berumur lima dan tujuh tahun. aku biasa memanggil anak yang kecil dengan sebutan ""Mei-Mei"" dan anak yang besar aku panggil ""Liang-liang"". Sebenarnya masih ada satu lagi anak bosku. Tapi dia sudah SMP kelas tiga. Aku memanggilnya ""Cece"".

Tiga orang anak bos punya karakter yang berbeda. Tapi ada satu persamaan yakni manja dan suka mengatur. Bayangkan saja, belum afdol rasanya bila Mei-Mei memakai baju tanpa mengeluarkan semua isi pakaiannya. Pakai kaos kaki, dibuang-buang. Alasannnya gak nyaman. Di jempol lah. Di bagian sini. Disitu. Ditarik-tarik dan mau diapakan juga memang dasarnya rewel. Ujung-ujungnya pasti nangis dan ibunya memukulnya. Menyuruhnya cepat berangkat dengan teriak-teriak.

Belum lagi Liang-Liang. Kalau di bangunkan tiap pagi rasanya sedang membangunkan gajah tidur. Ha ha ha ....
Badannya Itu loh! memang seperti gajah. Ckckck ....
Kalau bangun pagi maunya di gendong ke kamar mandi, kalau aku menolaknya maka otomatis satu kamar itu diserang gajah ngamuk. Bantal dilempar ke atas lemari, Selimut di tumpuk di meja belajar. Bahkan, kasur yang berat sekalipun mampu ia dorong berpindah posisi. Ajaib memang!

Anak yang paling besar pun ikut membuat rumah semakin rusuh di pagi hari. Setiap kali di bangunkan, dia langsung bergegas bangun dan berkata ""Iya. Aku sudah bangun.""
Aku meninggalkannya di kamar dan bergegas melakukan pekerjaan lain.
Setengah jam kemudian aku heran. Kenapa Cece belum pamit berangkat juga. Aku menghampiri kamarnya.

""Cece ... !!! Weisemo ni haime cilai!? Lai pu chi le!"" Aku berteriak agar dia bangun.
 Akhirnya dia terlambat ke sekolah karena ketinggalan bus dan terpaksa di antar oleh majikanku. Cece hanya bisa bilang maaf, sedangkan majikanku terus bicara dengan kecepatan mobil balap 300 km/jam.

Hufffffft ... Begitulah keadaan setiap pagi di rumah ini. Selain kendala itu, sama seperti yang lain. Ya! Bahasa itu nomor 1. Kalau kita nggak ngerti apa yang majikan suruh, bisa kebayang seperti apa!
Pernah suatu ketika aku disuruh untuk memasak ikan. Majikan hanya bilang ""ini di campur dengan itu! Bla bla bla .... ""
Aku melakukan dengan baik dan hasilnya salah. Ha ha ha ....
 Hah! Gara-gara bahasa pun aku sering disuruh ini, tapi yang dilakukan lain lagi.Akhirnya majikanku tarik nafas dalam-dalam dan beratraksi disco alias geleng-geleng kepala. Ha ha ha ....

Tugasku setiap pagi, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Jumlahnya 6 orang termasuk aku.
Lalu aku berbelanja ke pasar, masak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Jangan dikira mudah. Majikanku itu kalau soal kebersihan nomor satu. Rewel masalah kerjaan. Harus serba sempurna. Tugasku hanya menurutinya, karena aku memang bekerja pada orang lain dan dituntut berdedikasi.
Aku juga yang bertugas antar-jemput  anak-anak ke Sekolah dan tempat-tempat les.

Hari Minggu Pertama.

Majikan menyuruhku tiap hari minggu bangun siang juga tidak apa-apa. Asal anak bangun, aku juga bangun. Karena setiap hari Minggu, kami sekeluarga selalu jalan-jalan dan makan di luar.
Aku pertama kali naik mobil BMW kala itu.

""Ela! Apa kamu baru pertama naik mobil pribadi? Tanya majikan membuyarkan lamunanku.

""He he he ... sering Nyonya. Saya sering naik mobil bus. Hanya saja yang semewah ini baru pertama kali."" jawabku polos.

Mereka tertawa kecil melihat tingkahku. Maklum, aku mengeluarkan sifat asliku sebagai anak kampung. Ha ha ha ....

***
Disini aku di perkenalkan banyak hal.
Mereka semua sebenarnya baik padaku. Sangat peduli menyangkut kesehatanku. Dan satu hal yang membuat aku bersyukur. Mereka memperlakukanku seperti keluarga sendiri. Rasanya hampir semua Taiwan sudah pernah aku kunjungi bersama mereka. Mereka selalu menyuruhku untuk makan bersama dimanapun berada, walau banyak para kerabatnya. Waktu aku belum bisa  makan pakai sumpit pun, majikan  yang mengambilkan lauk di meja makan untukku setiap acara makan bersama. Harusnya itu menjadi tugasku. He he he ....

Belum lagi keluarga ini menghargaiku sebagai umat muslim. Aku di perbolehkan beribadah dan tidak memakan daging babi seperti yang mereka makan. Kami hidup rukun walau berbeda. Disini, kebutuhan pokokku selalu di jamin, dari perlengkapan mandi, pulsa dan fasilitas lainnya.
Hanya saja mereka tidak terlalu suka jika aku punya teman sesama orang Indonesia. Mungkin mereka takut aku kabur. Hmm ....

***

3 Bulan di Taiwan

Ayah dari majikan lelaki mengalami Sakit dan lumpuh tapi masih bisa berbicara jelas. Untuk sementara aku disuruh menjaganya. Rumahnya 300 meter dari rumah majikanku. Otomatis aku kerja dua kali lebih berat karena harus bekerja di dua tempat sekaligus. Tapi aku enggan mengeluh, apapun kerjanya aku selalu ikhlas. Menjaga orang tua harus telaten, sabar dan penyayang. Akhirnya majikan membawa orang Indonesia lain untuk menjaga kakek. Tapi apa yang terjadi. Baru juga memperkenalkan diri, kakek sudah mengusirnya dari rumah. Kakek berkilah kalau dia mau aku yang merawatnya. Dengan terpaksa majikan mengambil pekerja lain dan hasilnya sama. Bahkan ada 1 orang yang kabur setelah menjaga kakek sebulan. Dia bilang tidak tahan karena kakek selalu memarahinya. Padahal kakek tidak seperti itu padaku. Empat bulan berselang dan sudah empat orang yang diminta untuk merawat kakek. Kakek tetap bersih keras hanya ingin aku yang merawatnya.

Hingga suatu hari, kakek bisa berjalan. Sungguh bahagianya hatiku pada waktu itu. Majikanku bangga kepadaku. Berkah yang luar biasa.

Sabtu pagi kakek memintaku menemaninya ke pasar menggunakan kursi roda. Aku bingung, kakek kan sekarang sudah bisa berjalan. Lalu mengapa masih ingin memakai kursi roda. Belum lagi ketika sampai di Pasar. Entah mengapa kakek menjadi begitu rewel. Memarahiku di depan banyak orang, sedangkan aku tak tau jelas apa sebabnya. Yang membuat aku lebih pusing kepala adalah kakek ingin membeli banyak ikan, daging dan macam-macam sayuran. Entah untuk apa kakek membeli sebanyak itu, padahal di rumah hanya ada kami berdua. Ckckck ....
Setelah tiba di rumah, kakek hendak tidur siang. Aku memberitahunya kalau saat itu masih jam 9 pagi. Karena biasanya kakek tidur setelah makan siang jam 12.
Tapi aku membiarkan kakek tidur, kasihan kakek.
Baru setengah jam tidur kakek berteriak memanggilku agar aku menelepon semua anaknya untuk datang. Nafasnya tersengal-sengal. Aku langsung memberi kan pertolongan pertama dengan memasukkan selang oksigen, sementara menunggu majikan datang.
Aku memegang kepala kakek. Seluruh  tubuhnya dingin dan wajahnya pucat pasih. Aku bingung, takut dan panik saat itu.

""Kek ... Kakek ... Kakek kenapa!? Kakek kenapa!? Jawab aku Kek!? Aku memaksa kakek untuk menjawab pertanyaanku, aku menangis.""

""Kakek kuat! Kakek harus kuat! Nanti aku ajak kakek ke taman lagi.Belajar jalan di batu itu lagi, supaya kakek bisa cepat lari!? Pintaku memaksa.

""Kakek! Dengar Aku bicara Kek! Yang Sabar ya, Kek! sebentar lagi anak kakek datang. Kita langsung ke rumah sakit kek! Bertahanlah!"" Aku menangis dan menggenggam tangannya.

Tak lama majikanku datang. Tanpa berfikir panjang aku dan majikan menggotong kakek ke dalam mobil dan langsung membawanya ke rumah sakit. Tapi takdir berkata lain. Kakek tak bisa di selamatkan. Di tengah perjalanan, aku berkata pada majikanku bahwa kakek sudah meninggal. Majikanku menangis begitupun aku. Kakek meninggal di pangkuanku di dalam mobil. Selamat jalan untuk selamanya.

***

Pekerjaanku berjalan seperti biasa lagi setelah selesai mengurusi pemakaman kakek selama 2 minggu. Aku kembali ke rumah majikanku menjaga anak-anak seutuhnya. Waktu berjalan begitu cepat. Dua tahun sudah aku di Taiwan. Aku sudah paham dengan sifat-sifat keluarga ini. Sudah seperti keluarga pula dengan para karyawannya. Dan yang paling penting adalah ketiga anak majikanku sudah tidak seperti dulu lagi. Mereka punya tanggung jawab masing-masing. Tidak manja dan rajin mengerjakan tugas sekolah maupun tugas rumah. Mereka bukan anak manja lagi. Majikan memuji pekerjaanku. Aku membawa dampak yang positif bagi anak-anaknya. Mereka berprestasi dan lebih menghargai orang lain. Terimakasih Ya Allah ini buah dari kesabaranku. Semua pekerjaan aku lakukan dengan baik. Sekarang semua pekerjaan terserah aku, yang penting beres. Majikan tak pernah menuntut ini dan itu. Apalagi komplain seperti dulu. Akupun di bebaskan untuk bergaul dengan sesama orang Indonesia asal positif.

***

Tahun ketiga kontrak kerja di Taiwan.

Dulu majikan laki-laki lah yang memintaku merawat ayahnya. Sekarang  aku dimintai tolong oleh majikan majikan perempuanku.
Aku disuruh menjaga ibunya untuk sementara. Menunggu pekerja dari Indonesia datang. Jarak rumah nenek lumayan jauh dari rumah majikanku. Butuh waktu 40 menit untuk sampai ke rumahnya. Jadi aku terpaksa tinggal di rumah nenek bersama kakek.

***

Tiga bulan aku menjaga nenek. Aku hendak membeli sarapan kala itu. Aku melihat Handphone ku, 12 panggilan tak terjawab. Keluargaku menelepon, sepertinya penting sekali. Tapi perasaanku saat itu tidak karuan. Seperti ingin menangis tapi tidak tau alasannnya.

Dengan segera aku menghubungi balik.
""Assalamualaikum?"" aku memberi salam.

""Waalaikumussalam""

Sebelum aku bertanya, masku memotong perkataanku.

""Dek ... Yang sabar ya!""

Deg! Perasaanku campur aduk. Tanda tanya besar apa maksudnya.

""Kenapa Mas!?"" Tanyaku Tak sabar.

""Ibumu sudah pergi! Ikhlaskan ya, Nak!?""

Aku menutup telepon! Dan menangis Sejadi-jadinya!

""Ibu sudah janji akan menungguku pulang! Kenapa Ibu berbohong padaku, Bu!? Kenapa, Bu!? Kenapa?!""

""Ibu sudah janji akan mendampingiku ketika aku sukses nanti! Ibu pembohong!""

""Sembilan bulan lagi, apakah terlalu lama  bagi Ibu?!""

""Ya Allah ... Kuatkan aku. Lapangkanlah kuburnya. Ampunilah dosa-dosanya.""

***

Aku tertekan luar biasa kala itu, tidak bisa berucap apa-apa lagi. Pantas saja akhir-akhir ini aku sering mendapat firasat yang kurang baik.

***

Satu minggu berlalu, aku hendak membereskan buku-bukuku.
Tanpa sengaja ada satu amplop putih jatuh dari selipan bukuku. Aku buka perlahan kemudian membacanya.


Pesan ayah.

“Ya Allah, terima kasih karena Engkau telah mempercayai diriku yang rendah ini untuk memperoleh karunia anak yang luar biasa ini. Ku mohon jadikan buah kasih hamba ini menjadi orang yang berarti bagi sesama dan juga bagi-Mu. Janganlah kau berikan jalan yang selalu bahagia, tetapi berikan pula jalan yang penuh liku dan duri, agar dia dapat meresapi arti kehidupan yang seutuhnya. Sekali lagi ku mohon, sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh, jadikan ia sesuai dengan kehendak-Mu.""

Ayah mencintaimu tanpa batasan waktu.

Di dalam amplop ada surat kecil lainnya yang berisi.

""Pesan itu dari ayahmu, Nak! Sebelum ayahmu meninggal tiga tahun lalu. Dalam masa kritisnya, ia sempat menulisnya.

Bersama Amplop ini ibu sertakan tulisan Ibu. Agar kau tau siapa yang kelak akan kau Rindui sepanjang umurmu! Ibu pun jua sangat menyayangimu. Hingga Ibu sudah tak berada di dunia ini!""

Ternyata amplop itu, di selipkan ibu tanpa sepengetahuanku. Mereka adalah segalanya bagiku. Kini hanya tinggal amanahnya yang harus kujaga dengan baik yaitu kedua adikku. Aku akan berusaha semampuku menjadi orang tua yang baik bagi mereka.

Ayah ... Ibu ... !
Kalian bagiku ""The Wai Momi""
Air mutiara di hidupku.