Panggil Aku Laobaniang

2015/5/30 / Sandra Atikasari / Panggil Aku Laobaniang / Indonesia 印尼 / tidak ada

Panggil Aku Laobaniang

   “Ngikk… Ngiiikk”
   Bunyi kursi putar besar berlapis kulit warna hitam dan biru. Bak singgasana sang Ratu, di atasnya duduk  seorang wanita paruh baya yang sedang asik menatap monitor komputernya. Beberapa kali meng-klik mouse dan memencet tuts keyboard. Wajahnya serius. Sibuk. Sesekali dia menulis sesuatu lalu menyeruput minuman favoritnya, kopi hitam. Kursi beroda empat itu diseretnya ke kanan dan ke kiri menghampiri beberapa telepon seluler yang bercuit, penuh dengan pesan baru.
Tiba-tiba..
“Kriiinggg.. kriiiiinggg..”
Dering telepon mengagetkannya.
“Ni hao, oh iya, jalan Tze Chiang No. 258. Mbak yang pesan 20 bungkus bakso tadi ya. Sudah saya siapkan Mbak. Tinggal diambil.”
Lalu terputuslah telepon dari seberang.
Kemudian ia beranjak dari kantor kecil di sudut ruangan itu, menuju ke dapur yang selalu mengepul sambil berteriak:
“Sriiiii.. Itu Mbak Dila yang mau ambil pesenan sebentar lagi akan datang. Jangan lupa sekalian ambilkan pesanannya, satu kardus mie instan dan kecap manis.”
“Yaaaaa…” jawaban lantang terdengar dari dapur.
Ia segera kembali lagi ke kursi itu sambil merapihkan lipatan jilbabnya. Meski sedikit kelebihan muatan lemak di bagian perut, paha dan lengan, tubuh suburnya kelihatan sangat enerjik dengan balutan celana levis putih dan kaftan warna emas nan elegan. Jilbabnya pun selalu dibuat matching lengkap dengan sepatunya.
Sepagi ini ia sudah terlihat sangat sibuk. Beberapa orang mendatanginya silih berganti. Menyodorkan piring penuh nasi lengkap dengan lauk dan sayur, kemudian mereka mengulurkan uang. Kadangkala sesaat ia terlihat bercengkerama dengan orang-orang dengan logat Jawa yang masih kental.
“Iyo, Dolare mundak terus. Nyong bae mumet, gonta-ganti terus kurse. Miki sakabehane larang (iya, Dolarnya naik terus. Aku juga pusing karena kurs nya ganti terus. Sekarang apa-apa mahal)” celetuknya saat seorang datang menanyakan tentang nilai tukar uang Dolar Taiwan terhadap Rupiah.
“Iyo lah Mbak. Rika ngono wes kepenak urip nang Taiwan. Kie, nyong kirim 2500 bae kanggo bayar sekolah anake (iya Mbak, kamu sudah enak hidup di Taiwan. Nih, aku kirim 2500 saja untuk bayar sekolah anakku)” seorang ibu setengah tua menanggapi.

***
Wanita itu satu dari ratusan juta penduduk Indonesia. Satu dari jutaan orang desa yang merantau ke luar negeri. Satu dari ratusan ribu wanita yang menginjakkan kaki di Taiwan. Pada saat itu tahun 1998. Alasannya klasik, masih sama dengan kebanyakan perantau lainnya: faktor ekonomi. Wanita itu aku. Yanti.
Sebenarnya aku tak terlalu tercekik oleh kebutuhan hidup di Indonesia. Aku muda dan pekerja keras. Semua bisa kujadikan bahan jualan di pasar. Di desaku sana, Banjarnegara, Jawa Tengah. Namun, bagian dari drama masa lalu menjadi salah satu sejarah munculnya letupan api nekat dalam hatiku.
Anakku masih balita dan aku ibu tunggal. Lalu dimana suamiku? Sedikitnya aku agak sensitif jika ditanya tentang perihal itu. Ya, diusiaku yang baru menginjak dua puluhan tahun, aku menelan pil pahit perceraian. Wanita mana yang tak merasa kelu ketika pasangan hidup malah mengais cinta yang lain? Meski pernikahan kami hanya berawal dari perjodohan, namun sakit rasanya ketika cinta pertama berakhir di sebuah pengadilan agama.
Keterpurukan tak berlangsung lama, dari situ aku bangkit. Ada semacam bisikan malaikat yang menggugah nyali untuk kembali menata hidup. Menenggelamkan rasa dan melahirkan lagi asa. Asa untuk maju dan berdiri dengan kaki sendiri. Untuk siapa lagi kalau bukan sang buah hati.
Kutinggalkan Indonesia, buah hati yang masih belajar bicara dan semua keluarga. Singapura adalah negara yang pertama kali kukunjungi. Tiba di negara yang kecil nan kaya itu, aku beruntung. Majikanku baik dan sabar. Segala kebutuhanku terpenuhi. Gaji tepat waktu. Tiada yang kurang hingga aku menyelesaikan kontrak tiga tahun. Waktu itu sang majikan memintaku untuk kembali lagi bekerja untuknya. Aku hanya tersenyum seakan mengisyaratkan kata ‘iya’, namun setelah sebulan di rumah, aku terbang lebih jauh dari bumi Merlion, aku menuju bumi Formosa, Taiwan.

***


Detik demi detik terasa menjemukan di Taiwan manakala hari-hariku saat itu hanyalah menunggui Ama di rumah sakit. Ama adalah panggilan nenek dalam bahasa Mandarin, orangtua tunggal majikan yang kurawat. Beliau sakit struk sudah setahun belakangan ini.  Tugasku hanya menyuapi, menyeka lalu mengganti popok dan baju. Ketika Ama tidur, aku celingukan. Waktu itu masih belum ada internet, jadi sepi sekali. Apalagi handphone masih sangat langka dan menjadi barang mewah untuk diriku.
Hari Sabtu dan Mingguku juga selalu kelabu. Ketika rekan sejawat libur dan layaknya kebiasaan wanita di awal bulan yakni berbelanja, aku terpenjara untuk sang Ama. Lagipula aku memang tak terbiasa. Gajiku hanya kusisakan dua lembar ribuan untuk pegangan. Selebihnya kukirim ke Indonesia.
Tak kusangka, sepi dan kebosananku di kamar bersama Ama itu mendatangkan perubahan besar dalam hidupku. Ternyata ada pasien pria di seberang ranjang Ama yang diam-diam setiap hari mengamatiku. Umurnya kutebak sekitar 10 tahun lebih tua dariku. Awal mulanya aku hanya membantu mengambilkan minum untuknya. Tiada pikiran apa-apa. Aku hanya kasihan melihatnya sendirian tak ditemani siapa-siapa. Sakitnya pun aku juga tak tahu. Lama kelamaan kami sering ngobrol, berkenalan, hingga kami terbiasa saling sapa di rumah sakit.
Baru kuketahui bahwa ia sakit lumpuh. Kecelakaan kerja membuat ia harus kehilangan enam ruas tulang belakangnya. Sebab itu dia tak bisa berjalan namun ia masih bisa berbicara. Ia sempat tinggal lama di rumah sakit. Hingga pada akhirnya ia diijinkan pulang dengan membawa pulang juga nomer telepon selulerku yang baru saja kubeli.
Sebulan, dua bulan hingga dua tahun kami saling mengenal dan dekat. Padahal kami sudah tidak pernah intens bertemu. Entah apa aku yang merasa terlalu percaya diri akan perhatiannya padaku atau memang dia yang terlalu baik dan lembut hatinya. Sepertinya dia hendak menebarkan rasa ketertarikannya padaku. Apa ya yang menjadi pesonaku? Aku hanyalah seorang pembantu rumah tangga, tapi dia berniat ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku.
Sontak aku menolak tegas. Aku merasa aku adalah perempuan biasa. Aku tak pintar berdandan. Aku bukan yang percaya diri dengan hotpants dan highheels. Aku datang dari kampung, dengan latar belakang keluarga yang agamis. Intinya, aku bukan anak gaul sama sekali. Yang pasti, aku juga sama sekali tak pernah berpikiran menikah lagi setelah luka yang masih sedikit menganga di hati. Apalagi dengan orang asli Taiwan. Ada bayangan menakutkan yang tidak ingin sedikitpun aku bayangkan. Trauma pun masih ada.
Nampaknya dia tak menyerah. Dia menghubungiku berkali-kali setiap hari. Sesekali mengajak bertemu saat ia kontrol ke rumah sakit atau hanya menitipkan salam lewat sahabatku.
“Ah basi!” Begitu pikirku.
Dia sama sekali tak gentar. Menyerbu, menunjukkan kesungguhan. Lama-kelamaan hatiku iba. Sangat iba. Cinta atau bukan aku tak tahu pasti namanya. Ia seorang duda yang istrinya sudah menikah lagi dan anaknya tak satupun mau mengurusi. Aku mengingat selalu tatapan matanya dan suaranya yang serak di atas kursi roda.
Setelah dua tahun lebih tak kuhiraukan, kini aku mengatakan iya. Tepat sekali dengan momen sebulan sebelum kontrak tiga tahunku selesai, Ama yang kujaga meninggal dunia. Gayung bersambut, kemudian setelah kuselesaikan kontrakku, aku mengakhiri statusku sebagai janda. Kami menikah di tahun 2001.

***

Kehidupan pengantin baru tak layaknya imajinasi kebanyakan orang yang manis dan manja. Penyembuhan pasca operasi yang membuat suamiku lumpuh butuh proses lama. Kondisinya tak stabil.
Kadangkala ketika suamiku kondisinya sedang membaik, dia mengajakku memasang perangkap hewan buruan dan juga memintaku membantunya memulung barang bekas. Kadangkala juga aku membantunya berkebun. Kehidupan kami sangat sederhana. Susah payah ini harus kulalui lagi di negeri orang.
Terkadang penyakitnya kumat. Mendadak ambruk, tak bisa bicara bahkan sering dibarengi sesak napas. Lagi-lagi ia tak bisa berjalan, hanya bertengger di atas kursi roda. Namun ia terlihat semangat untuk kembali sembuh. Akulah satu-satunya yang berada disampingnya. Menggendongnya kemana-mana, menyuapi dan memandikannya.
Hingga suatu saat kesabaranku diuji. Saat dia hanya bisa berbaring di ranjangnya dan kami sudah sangat terhimpit sesak oleh kebutuhan hidup disini, tak sedolarpun ia keluarkan dari tabungannya. Akupun tak berani meminta. Padahal aku tahu, meski orang desa, dia menyimpan uang di sebuah bank ternama.
Aku kelimpungan ditambah ada perasaan yang mengganjal tak percaya. Mengapa adaptasi pernikahan ini begitu sulit, gumamku. Apa ternyata sifatnya seperti itu? Apa memang dia sangat berhemat? Aku berpikir pernikahanku kali ini baik-baik saja.
Ternyata, baru kusadari budaya orang Taiwan tak sama seperti pasangan suami istri di Indonesia. Tak tahu apakah memang prinsip hidup pasangan di sini bahwa keuangan dikelola sendiri-sendiri. Dia tak pernah sekalipun memberi uang belanja bulanan layaknya para suami di Indonesia. Uang yang kami dapat berdua, itulah yang kami gunakan untuk makan, bayar listrik dan sebagainya. Jika ada yang kurang, tidak ada satu alasanpun bisa merobohkan pertahanan ATM-nya.
Aku tidak bisa hanya menunggu ataupun berlutut untuk menengadahkan tanganku padanya. Aku tidak mau bergantung. Aku sendiri juga masih punya gadis semata wayang yang menjadi tanggung jawabku di Indonesia. Yang harus kusuplai dana sekolah dan kehidupannya.
Susah payah dan terseok-seok ku mencari kerja. Semua kuusahakan sendiri. Tak berapa lama, aku diterima bekerja di pabrik mantao. Semacam bakpao dengan isi daging maupun sayuran. Aku berangkat pagi pulang sore. Ketika malam aku tak hanya diam istirahat. Aku siapkan dulu segala kebutuhan suamiku lalu aku berangkat sekolah. Sekolah untuk para pengantin Taiwan. Belajar budaya, hingga baca tulis huruf Cina. Aku tak ingin jadi wanita bodoh. Aku ingin maju. Sepulang sekolah aku tak menganggur begitu saja. Meski sudah sangat larut, bakat membuat tempe dari ibuku dulu kucoba praktekkan. Ku coba jajakan di rumah sakit dengan kawan lama. Alhasil tempe buatanku laris manis di kalangan teman-teman Indonesia.
Pernah suatu  hari di tahun 2003 nasib malang menghampiriku. Saat bekerja di pabrik mantao itu, jariku tak sengaja lalai dari mesin pemotong di pabrik. Krass!! Aku kehilangan satu ruas jari telunjuk kiriku. Satu bulan aku diijinkan untuk beristirahat. Namun aku yang memang tak bisa menganggur merasa jenuh jika hanya berdiam diri. Bahkan aku  juga tetap berangkat sekolah. Dengan jari dibalut perban, aku mencoba membuat rempeyek, semacam makanan ringan berupa tepung goreng dengan kacang atau ikan asin di atasnya. Lalu kutawarkan lagi pada teman-teman. Lagi-lagi mereka ketagihan. Mereka sangat menyukainya.
Orderan meningkat seiring meningkatnya hasratku untuk berjualan makanan. Sama seperti ketika aku masih di Indonesia. Banyak yang memuji masakanku enak. Akupun semakin percaya diri melangkah. Aku merambah ke masakan matang khas Jawa. Selagi tetap merawat suamiku yang berangsur-angsur membaik, aku menerima banyak pesanan.
Suatu hari aku berkata pada suamiku.
“Aku mau mendirikan restoran Indonesia ya Laokong2?” pintaku mantap. Namun ia hanya mencibir.
“Ah apa kamu bisa? Yakin? Mau dapat modal darimana?” ucapnya  hambar,  yang masih kuingat.
Tiga tahun yang melelahkan terlewati. Bisnis jualan makanan yang awalnya iseng dan hobi, kini semakin kuseriusi. Sepeda motor dan handphone ukuran besar dan berantenna panjang adalah kawan setiaku mengantarkan orderan makanan. Hingga tak kupercaya dan suamikupun tak tahu, dari selembar uang ratusan dolar dan recehan yang selalu kuselipkan di bawah kasurku setiap hari, kini telah terkumpul begitu banyak. Ada 800.000 dolar Taiwan atau sekitar 320 juta rupiah. Ah modal yang cukup untuk memulai mengepakkan sayap mimpiku, pikirku saat itu.
Aku menginginkan kuasa penuh atas apa yang ingin aku bangun. Kemantapan hati untuk membuka toko Indonesia di Hualien, tempatku sejak pertama kali singgah menuntunku untuk mengambil keputusan yang berat. Aku rela melepas status kewarganegaraan Indonesiaku, tapi darahku dan bahasa ibu, masih tetap melekat di ragaku sampai sekarang.

***

Di Hualien, aku mengontrak sebuah bangunan dua lantai. Sebuah toko yang kuberi nama dengan label namaku sendiri. Benar-benar dari nol. Aku mulai merintis dengan beberapa menu khas nusantara dan jajanan pasar. Lidah mereka sepertinya cocok dengan takaran gula dan garamku. Aku menambah lagi menu dan membuka jasa pengiriman uang dan barang. Semakin dipercaya pelanggan, aku merambah ke minimarket kecil di pojok tokoku. Semua menjajakan barang-barang impor dari Indonesia. Permintaan pasar meningkat terus, aku mencoba menjual segala macam busana. Lagi-lagi kepuasanku belum sirna, kubuka sebuah ruangan untuk karaoke ria.
Suamiku? Kini ia telah sembuh. Dia sudah bisa berjalan. Bisa berburu lagi.
Cerita kesuksesan ini ingin kubagi lantaran aku ingin berteriak bahwa nasib bisa berubah manakala kita mau berusaha. Getir pahit hidup tidak selamanya kita rasakan, ada rasa manis menunggu untuk dikecap. Tidak semua orang melihat seluk beluk bagaimana aku memulai tangga yang pertama sampai aku pernah berada di puncak pencapaian mimpi. Berdiri dengan kaki sendiri. Semuanya dilalui dengan suka dan duka. Tidak sebentar,  20 tahun lamanya.
Sebuah majalah pernah mewawancaraiku untuk profil kesuksesan seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW). Aku sering pula diundang ke KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia sebagai perwakilan kedutaan Indonesia di Taiwan) untuk menjadi juri perlombaan masak dan berbagai pelatihan.


***

Kini, aku lah wanita yang sedari tadi duduk di kursi kulit hitam dan biru kebanggaan. Menikmati kopi hitam. Menuai buah dari peluh dan lelah. Sampai sekarang aku masih giat bekerja, di kantor mungilku dan di dapur dengan beberapa karyawanku. Aku masih sama, Yanti yang dulu. Wanita yang sederhana dan pekerja keras. Namun, bedanya sekarang setiap orang bisa memanggilku Laobaniang.

***

1.  Laobaniang adalah panggilan untuk bos/majikan wanita dalam bahasa Mandarin.
2. Laokong berarti suami.

*** Cerita ini berdasarkan kisah nyata seorang Tenaga Kerja Indonesia yang sukses di tanah rantau Taiwan. Dikembangkan sendiri oleh penulis dengan nama yang disamarkan. Cerita telah mendapat persetujuan dari pihak yang bersangkutan.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dan menginspirasi kita semua.