ANG KU KUE AMA

2015/4/23 / Irnelya Sari / ANG KU KUE AMA / Indonesia 印尼 / Disyak Ayummi

ANG KU KUE AMA

Aku sampai pada sebuah rumah sederhana terpencil dari rumah lain, yang diapit pohon kelengkeng kanan-kirinya. Tanaman umbi-umbian sejenis talas merata hampir menutup seluruh halaman yang lumayan luas.

Aku menarik napas lega. Meski lelah akibat berlari menghindari kejaran seseorang, membuat kepalaku berkunang-kunang. Dan ...

Bruuuk!

***

""Meimei, bangun! Jangan membuatku khawatir, ya.""

Suara seseorang yang mengguncang bahuku semakin jelas terdengar.

""Di mana aku?"" tanyaku sambil mengamati sekeliling.

""Di rumahku,"" jawab seorang nenek tua yang kuterka berusia 70 tahunan.

Aku mencoba bangkit, tapi perutku terasa melilit.

""Aduh! Sakit,"" erangku. Dengan sisa tenaga yang kupunya, kutekan segera menggunakan pangkal lengan.

""Meimei, mukamu pucat sekali. Ayo, aku papah kamu masuk. Istirahatlah di dalam,"" ajak nenek yang tak kukenal itu, cemas.

Meski perut masih terasa seperti diaduk-aduk, aku mencoba bangkit mengikuti langkah nenek yang sesekali terbatuk-batuk. Masuk ke rumah sederhana miliknya.

""Tidurlah,"" ucap nenek itu mempersilakan ranjangnya untuk aku tempati.

""Terima kasih, Nek,"" jawabku.

Kuedarkan pandangan mengamati sekeliling. Berharap ada anak atau suami nenek ini yang keluar dari dalam. Tapi ternyata, selain satu set kursi tua usang, meja makan, dua lemari besar dan kecil, serta ranjang tidur yang semuanya serba usang, tak ada tanda-tanda anggota keluarga lainnya.

""Nenek tinggal sendiri?"" Aku memberanikan diri bertanya.

""Iya, Mei. Kecuali kalau kamu mau menemaniku di sini,"" candanya dengan diiringi tawanya yang renyah.

""Nenek bisa saja,"" pungkasku.

""Aku tidak bercanda, Mei. Aku hidup sebatang kara. Suamiku meninggal, saat terjadi perampokan di rumah kami, lima belas tahun lalu. Aku juga tak memiliki anak,"" tuturnya dengan wajah sedih. ""Kulihat kamu sedang dalam kesusahan. Kalau kamu mau, tinggallah untuk beberapa hari di sini,"" ucap nenek itu sambil menyodorkan piring yang dibawanya dari pojok ruangan.

""Kamu pernah mencoba makanan ini?"" tanya nenek yang mengenalkan diri dengan sebutan Nenek Tsai.

Aku menggelengkan kepala.

""Ini kue buatanku. Kue yang selalu mengingatkanku pada sosok lelaki pemberani. Dia adalah suamiku. Orang pribumi menyebutnya ang ku kue. Cobalah!"" ucapnya. Lima bungkus kue berbentuk kura-kura yang tersaji manis di atas piring panjang, membuat air liurku hampir menetes.

""Makanlah. Jangan malu. Membuat kue-kue ini adalah rutinitasku tiap hari. Kamu boleh membantuku besok, kalau kamu mau,"" ujarnya.

""Benarkah? Terima kasih, Nek. Aku pasti akan membalas kebaikanmu,"" jawabku. Aku perlahan bangkit dari ranjang milik nenek baik hati itu.

Ketulusan ucapan Nenek Tsai memberi harapan baru padaku. Antusiasnya dalam menyambutku, penerimaannya tanpa memandang siapa aku, membuatku tak kuasa menahan haru.

""Sudah, sudah, makanlah dulu! Aku rasa sakitmu itu karena perutmu kosong,"" imbuhnya ketika melihat air mataku hampir meluruh jatuh.

Segera kulahap makanan itu dengan berurai air mata. Kusadari, cinta dunia maya telah membutakan hatiku hingga sengsara. Lupa akan tujuan awal, mencari uang untuk anak dan keluarga. Nenek Tsai lah malaikat yang telah menyelamatku dari kelaparan di perantauan. Kebaikannya, akan selamanya terpatri di hati sanubari. Dia benar, semenjak aku melarikan diri dari lelaki pengidap satyriasis beberapa hari lalu, tak ada makanan yang masuk ke perutku.

""Asal nenek mau memberiku makan dan tempat tinggal, aku mau bekerja apa saja, Nek,"" janjiku dengan mulut masih dipenuhi makanan. Mengundang tawa nenek itu berderai-derai.

""Pelan-pelan saja makannya, Mei,"" ucapnya sambil mengelus pundakku sepenuh kasih.

""Aku bisa memasak, menyapu, beres-beres rumah, dan bercocok-tanam,"" imbuhku meyakinkan.

Nenek itu hanya manggut-manggut mengiyakan. Entah setuju atau ragu?

Maka tanpa diminta, cerita tentang pertemuanku dengan lelaki yang kukenal di jejaring sosial, yang membuatku mempercayai kata-kata manisnya agar kabur dari majikan, meluncur bak air yang menemukan salurannya. Melepaskan beban yang menyumbat dada.

Nenek Tsai menepuk-nepuk pundakku simpati.

***

Seminggu sudah aku tinggal bersama Nenek Tsai yang baik. Beliau berjanji akan menutup rahasiaku, asal aku segera mengumpulkan uang untuk bekal pulang. Ya, dengan membantunya mencetak ang ku kue setiap harinya. Beliau berjanji akan menggajiku dengan layak.

***

Jam 04.00 dini hari aku terbangun. Suara thok thok dari belakang membuatku penasaran untuk bangkit dari ranjang, tempat aku merebahkan diri sore tadi.

""Maaf mengganggu tidurmu,"" ujar Nenek Tsai begitu menyadari kehadiranku.

""Nggak apa-apa, Nek. Mulai sekarang aku harus membiasakan bangun pagi,"" ucapku tersipu.

Dua jam telah berlalu, adonan ketan dan bola-bola kacang merah, disulap menjadi kue matang yang masih mengepulkan asapnya. Siap disantap.

""Disinilah seni membuat kue ini, Mei,"" tuturnya mulai  memperkenalkan proses pembuatan kue unik itu.

""Kamu belum dinyatakan lulus membuat ang ku kue, apabila saat memukulkan alat ini, kuenya tidak menggelembung dan tidak terdengar bunyi thok,"" katanya lagi. ""Perlu diingat juga! Tidak boleh sampai pecah,"" jelasnya semakin bersemangat. Ditunjukannya sebuah alat mirip stempel besar bermotif kura-kura di tangannya.

""Tidak mudah ya, Nek,"" ucapku mengakui kelihaian nenek tua itu.

""Ya, makanya rajin-rajinlah mempraktekannya,"" katanya.

Tawa kami pun berderai.

***

Brem! Brem!

Suara mobil berhenti di pekarangan rumah, mengalihkan perhatian Nenek Tsai dari kue-kue kesayangannya. Bergegas ia menuju pintu, membukanya.

Kulihat seorang lelaki  berperawakan tegap, masuk dengan keranjang kayu di pundaknya. Aku terka umurnya terpaut satu dua tahun saja di atasku.

""Ini Abun. Dia yang akan menjualkan kue-kue ini ke pasar-pasar di sekitar daerah Pegunungan Tatu ini,"" jelas Nenek Tsai memperkenalkan.

""Hai, Abun ini Meimei. Eh, siapa namamu? Bolehkah aku memanggil dengan sebutan Amei saja?"" tanya nenek tua itu, baru tersadar belum menanyaiku nama.

Aku mengangguk sopan.

""Asal kamu mana?"" tanya lelaki itu dengan tatapan menyelidik.

""Indonesia,"" jawabku. Sengaja kutundukkan muka agar tidak tampak grogi.

""Oh,"" jawabnya tetap dengan ekspresinya yang meremehkan.

Dihampirinya Nenek Tsai yang sudah kembali bergelut dengan kue-kue olahannya. Perdebatan kecil pun kudengar samar, karena mereka seperti sengaja mengecilkan suaranya.

Aku hanya bisa memasrahkan semuanya pada skenario Tuhan. Waktu memang tak bisa lagi kuputar mundur untuk menyesali apa yang telah terjadi.

Ah, andai masih ada kesempatanku sedikit saja untuk membalas kebaikan nenek itu. Tuhan! Aku ingin berbuat kebaikan, Jerit batinku.

""Kamu beruntung bertemu dengannya. Baik-baik kerja.""

Tepukan seseorang di pundakku, membuatku tersadar dari lamunan. Kulihat sesungging senyum yang tadi tak kutemui dari lelaki itu.

""Terima kasih, Xian Sheng. Telah memberiku kesempatan,"" ucapku penuh haru. Kubungkukkan badan 90°, lama. Ucapan terima kasih tak terhinggaku telah memberi kesempatan kedua untuk menghirup udara kebebasan. Entah apa pun hubungan ia dengan nenek penolongku. Aku tetap akan menghormatinya.

Semenjak hari itu, kami bertiga bahu-membahu mencetak kue dimulai dari dini hari.

***

Pada suatu malam di musim dingin.

Nenek yang tidur di sebelahku, terbatuk-batuk hebat. Segala cara telah aku usahakan agar membuatnya nyaman. Tetap tidak berhasil. Imbasnya, darah segar menyembur dari mulutnya.

Aku kalap. Entah pada siapa dan kemana aku meminta pertolongan. Hanya nenek dan lelaki itu yang kukenal. Ya, Abun Xian Sheng. Segera kutelepon nomor yang tertulis pada papan tulis usang, tempat biasa nenek menuliskan catatan kuenya yang laku terjual.

""Kamu tetap kerjakan tugas seperti biasa. Aku akan secepatnya kembali setelah nenek mendapat pertolongan. Kita tidak boleh berhenti membuat ang ku kue. Nenek pasti akan marah sekali,"" perintah lelaki yang belakangan kuketahui juga sebatang kara itu.

""Hao,"" jawabku singkat.

Raungan ambulans membawa tubuh lemah nenek menjauh, seiring kurasakan ada sesuatu yang terlepas di kakiku. Aku seperti kehilangan pegangan, badanku terkulai lemas di pelataran rumah sederhana yang sudah lima bulan kutempati. Memikirkan hidupku akan terlunta-lunta kembali tanpa nenek berhati malaikat itu, hatiku teriris pilu.

""Ya, Tuhan. Selamatkan Nenek Tsai,"" doaku.

***

Tiga minggu sudah nenek dirawat di ruang MICU. Kami hanya diperbolehkan menjenguk jam 2.00 - 2.30 sore dan jam 7.00 - 7.30 malam setiap harinya. Sesekali, Abun Xian Sheng mengajakku menjenguk nenek, meskipun harus sembunyi-sembunyi.

Belum diketahui jelas apa penyakit nenek. Tetapi, dari gejala yang terlihat. Kemungkinan nenek terkena Tuberculosis. Begitu yang diceritakan Abun Xian Sheng padaku.

Di hari ke 26, nenek sudah diizinkan pulang.

""Setiap pagi, akan ada suster yang mengantarkan obat untuk nenek. Kamu cukup memberikan ini padanya, sebagai bukti bahwa nenek meminum obatnya setiap hari. Ingat ya, Mei. Harus dipastikan obatnya benar-benar diminum. Karena kalau tidak, penyakit nenek tidak akan bisa disembuhkan,"" pesan Abun sambil memberikan in cang bertuliskan nama nenek padaku.

""Meminum obat ini akan menyebabkan gatal-gatal pada kulit. Jadi, kamu bantu nenek mengoleskan Vaseline untuk meredakannya. Jangan biarkan nenek menggaruknya. Karena gatalnya akan semakin menjadi dan parah. Dikhawatirkan akan infeksi,"" terang suster panjang lebar sebelum pamit pergi.

""Baik, Suster."" Aku mengangguk-angguk mengerti.

Semenjak didiagnosis TBC oleh dokter, nenek memintaku untuk mengolah ang ku kue sendiri. Dia juga membelikanku masker wajah untuk digunakan setiap hari, dan kamar khusus untuk aku tempati.

""Kamu masih muda, Mei. Tidak boleh tertular penyakitku. Masa depanmu masih panjang,"" katanya bijak. Ah, nenek ini selalu saja membuat terharu.

Aku seringkali melihatnya merekatkan geraham, menahan gatal. Tapi, nenek benar-benar mengikuti anjuran dokter, meminum secara rutin selama 6 - 9 bulan obat yang diantarkan suster setiap harinya. Meski semakin hari, kulitnya semakin terlihat menjijikan.

Puncak musim dingin mengirimkan gigilnya yang menusuk sampai ke tulang. Di jejaring sosial milikku, bertebaran informasi tentang rajia besar-besaran yang digelar kepolisian Taiwan dalam rangka pemutihan. Kesehatan Nenek Tsai tak juga membaik meski obatnya sudah dikonsumsi separuh dari waktu yang ditentukan.

""Ada infeksi jaringan yang serius atau Necrotizing Fasciitis. Kemungkinan nenek terkena penyakit tidak menular berbahaya. Selulitis,"" ucap Abun pelan supaya tidak didengar nenek, saat mengambil kue pesanannya.

""Oh iya, ini untukmu barangkali diperlukan,"" katanya sambil menyerahkan tas ransel  berukuran sedang. ""Berhati-hatilah, setiap mendekati pergantian tahun. Polisi menggelar rajia untuk menjaring TKA Ilegal,"" beritahunya. ""Polisi sektor Qhingzhui pun rutin mengunjungi nenek setiap tahun, terkait perampokan yang terjadi puluhan tahun silam di rumah ini,"" ucapnya, membuat peluh membanjiri tubuhku seketika. Meskipun aku sedikit tersinggung dengan caranya yang seolah mengusirku. Tapi, Abun memang benar. Aku tidak boleh egois dengan tetap tinggal di sini. Nenek sudah semakin renta.

Tapi bagaimana dengan kondisi Nenek?

Abun pergi setelah pesanannya selesai dikemas. Hari sudah menjelang pagi. Bulan separuh malam tadi, berganti dengan matahari yang mulai menyembul malu-malu.

Aku baru menyelesaikan mencuci kain lap saat Nenek Tsai menghampiriku.

""Amei, ini uang hasil jerih payahmu,"" ucapnya sambil memberikan sebuah bungkusan.

Aku menerimanya dengan tangan gemetar.

""Apa ini, Nek?"" tanyaku takut-takut.

""Ada seratus ribu dollar hasil kerjamu selama setahun. Pulanglah ke keluargamu, ke negaramu. Menyerahlah, agar polisi meringankan proses kepulanganmu,"" ucapnya. Ada yang menghangat di mataku, saat kulihat segepok uang ribuan di genggamanku. Di depanku, wajah tua nenek semakin keriput saat memperlihatkan kecemasannya.

""Aku mendengar pembicaraanmu dengan Abun,"" sambungnya.

""Ya, Nek. Aku tidak boleh egois. Terjaring di rumah ini sama dengan menambah masalah bagimu. Aku tidak mau itu terjadi, Nek. Aku sayang Nenek.""

Kudekap wanita yang kudisannya mulai mengelupas, tanpa rasa jijik.

""Pergilah! Jangan tunda-tunda lagi, karena sebentar lagi polisi akan datang,"" perintahnya sambil merenggangkan dekapanku.

Aku tak sanggup menatap mata teduhnya yang nampak semakin cekung. Tapi, pilihanku cuma satu. Pergi!

Segera kukemasi beberapa helai pakaian pada sebuah tas ransel yang dibelikan Abun. Dengan menyelinap dari pintu belakang, aku berjalan menyusuri kebun talas yang mengantarku ke jalan besar.

Aku berbalik menatap jalan setapak penghubung rumah Ang Ku Kue Ama, dengan jalan besar yang akan membawaku pulang ke pertiwi, ketika sebuah suara mengagetkanku.

""Ikut kami ke Kantor.""

Shalu, 23-04-2015
- Meimei: Adik perempuan.
- Satyriasis: Sebutan Hiperseks yang diderita kaum lelaki.
- Selulitis: Suatu kelainan kulit yang ditandai dengan kemerahan, pembengkakan, nyeri tekan, dan sakit pada kulit dikarenakan peradangan pada jaringan ikut kulit yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
- Netrotizing Fasciitis (infeksi jaringan yang serius)