Sebening Hati Ama

2015/5/6 / Wiwik Maysaroh / Sebening Hati Ama / Indonesia 印尼 / Sri Yanti

Sebening Hati Ama

Aku masih betah berlama-lama menikmati sejuknya udara pagi di tepi jendela kamar. Menatap bening yang berjatuhan dari sisa hujan semalam. Bening yang mengingatkanku pada seraut wajah teduh yang telah menorehkan berjuta kenangan di relung-relung batinku.

""Ama, aku merindukanmu.""

***
Sekilas, orang tidak akan percaya jika kukatakan bahwa perempuan yang selalu murah senyum itu sudah berumur delapan puluh tahun. Rambutnya yang putih kehitaman ditambah tubuh segar bugarnya, membuat siapapun yang baru mengenal akan beranggapan umurnya masih sekitar tujuh puluhan. Bicaranya ceplas-ceplos, langkahnya gesit, terlebih jika sedang bersiap mengunjungi orang sakit bersama teman-teman di organisasi kemanusiaan yang dia ikuti.

""Nanti siang kamu masak dan makan sendiri, aku menjelang malam baru pulang."" sebuah pesan yang Ama sampaikan selepas sarapan pagi itu kubalas dengan senyum dan anggukan.

Lalu, seperti biasa dia akan menuju rak buku di dalam ruangan yang menyerupai perpustakaan mini di salah satu sudut rumah, dan mulai menjelajahi isinya.

Dua jam setiap pagi, adalah waktu Ama membaca buku-buku kesayangannya, sebelum kemudian pergi bersama mobil rombongan ke rumah sakit, panti jompo, atau ke rumah-rumah yang didalamnya terdapat orang sakit.
Jika berencana pulang menjelang malam, maka dia akan menyuruhku masak dan makan siang sendiri.

Terkadang aku tak habis pikir, jobku di sini menjaga ama, yang dalam angan-anganku adalah seorang pesakitan, lemah, dan sehari-hari hanya terbaring di atas ranjang. Aku pun sempat membayangkan membawa Ama ke taman dengan kursi roda, lalu berkumpul bareng teman-teman dan para jompo seusianya.

Tapi kenyataannya? Ama adalah sosok perempuan tua yang lincah dan masih suka 'blusukan' menebar kebajikan pada sesama.

""Kita akan selalu sehat jika masih mau berbagi dengan sesama."" sebuah jawaban yang selalu dia kemukakan, jika aku mengkhawatirkan kesehatannya, karena terlalu sering bepergian.

Menurut Ama, kebahagiaan dan kepuasan batin adalah jika bisa melihat orang yang sedih kembali tersenyum, orang yang sakit berangsur sembuh dan sehat. Tak jarang air matanya berlinangan manakala melihat kesusahan di depan mata.

Visi organisasinya adalah, memberi dorongan moril pada para pasien, agar tetap memiliki semangat dan keyakinan. Tentang masih adanya harapan hidup, separah apapun penyakit yang diderita. Karena tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, selama manusia masih mau berusaha dan berdoa.

Sedang misinya, yakni memberi bantuan obat-obatan, pakaian, juga makanan sehat bagi pasien kurang mampu serta anak-anak terlantar. Sungguh! Sebuah visi dan misi yang sangat mulia.

***
Masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika pada satu malam yang gerimis, di puncak musim dingin. Sebuah SMS mengejutkan datang dari seorang teman yang sering kuajak mampir setiap kali melintas bersama nenek asuhnya di depan rumah Ama.

""Aisha, aku kabur! Bolehkah aku menginap di rumah Ama semalam saja?"" disusul SMS panjang lebar yang langsung membuatku geram!

Sebuah keputusan yang menurutnya paling baik itu pun dia pilih. Setelah upaya mengadu pada penterjemah tentang kekurangajaran salah satu anak Ama yang tinggal serumah tidak juga mendapat respon.
Dan malam itu, adalah puncak dari kekhawatirannya. Memilih kabur, karena merasa kehormatan dan kesucian dirinya terancam.

Mbak Sumi, demikian nama temanku itu, sudah mencium gelagat tidak baik. Sejak pagi, lelaki yang dia tahu istrinya menetap di China dan hanya sesekali saja datang ke Taiwan itu berusaha mencuri-curi kesempatan untuk menyentuhnya. Sejauh ini dia masih bisa menghindar, namun rencana salah seorang saudara untuk mengajak Ama menginap ditempat lain tanpa membawanya serta, membuatnya was-was bahwa hal buruk bisa saja terjadi jika di rumah besar itu hanya ada dia dan si 'hidung belang'.

Berbekal pakaian seperlunya tanpa bisa membawa selembar dokumen pun, mbak Sumi berjalan menembus gerimis dan udara malam yang dingin, menyeret langkah kakinya hingga tiba di depan rumah Ama.

Di dalam rumah aku kebingungan, dan tak tahu harus bagaimana. Sementara di luar sana, ada saudara seperjuangan yang kedinginan dan sangat butuh bantuanku.
Tapi tanpa ijin dan sepengetahuan Ama, apa mungkin membawanya masuk? Membayangkan tubuh kurusnya menggigil dan basah kuyup, seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk mengetuk pintu kamar Ama.

Kuucapkan maaf berkali-kali karena sudah mengganggu tidurnya, dan kujelaskan maksudku.

""Di mana dia sekarang?"" Sambil memasang kaca mata, Ama langsung bangkit, dan menyambar jaketnya.

""Di depan pintu."" jawabku sambil mengikuti Ama yang bergegas ke ruang tamu.

""Kenapa tidak segera kau suruh masuk? Kalau sampai sakit bagaimana?"" protes Ama, lalu menyuruhku segera membuka pintu.

Saat pintu terbuka, kudapati mbak Sumi sedang berjongkok sambil memeluk lututnya yang gemetaran. Dan tanpa ba-bi-bu lagi, Ama langsung menyuruhnya masuk, dan mandi air hangat. Lalu memintaku menyiapkan makanan untuk mbak Sumi.

Dalam menolong sesama, Ama tak pernah pandang bulu, terlebih jika orang tersebut sedang mendapat perlakuan tidak manusiawi atau pelecehan, meski itu oleh bangsanya sendiri, Ama akan tetap berusaha melindungi dan membelanya.

""Kejadian mbak Sumi adalah bukti nyata keluhuran budi perempuan tua itu.""

***
Hingga menjelang kepulanganku yang tinggal dua bulan lagi, kondisi Ama tak banyak berubah, masih sering 'blusukan' bersama organisasinya. Hanya saja, enam bulan terakhir ini sering mengeluh mual dan sakit kepala, yang menurutnya karena terlalu capek.

""Baru terasa nih yeee...?"" candaku dalam hati.

Maklum saja, usianya sekarang sudah mendekati delapan puluh tiga tahun, tapi aktifitasnya tak pernah berkurang.

Malam itu, aku sedang memasukkan barang-barang ke dalam koperku yang sebagian besar adalah oleh-oleh pemberian Ama. Ada seuntai kalung berliontin batu giok yang kuterima dengan tangan gemetar dan air mata bercucuran, karena tak tahu lagi bagaimana harus mengucapkan terima kasih.

""Ini untuk kado pernikahanmu, Aisha,"" lembut suaranya sambil mengusap bahuku.
Rencana menikah yang kusampaikan padanya tahun lalu, rupanya masih membekas dalam ingatan perempuan berhati embun itu.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba kudengar Ama menjerit. Kutinggalkan koperku dan segera berlari ke kamarnya.
Di atas ranjang, kulihat dia sedang memegangi kepalanya sambil terus mengaduh dan menjerit-jerit.

""Ama... Ama... Kamu kenapa?"" tanyaku panik.

Tapi dalam kepanikan aku masih sempat berpikir untuk segera membawa Ama ke rumah sakit. Kata 'kenapa' yang tak jua dia jawab, membuatku yakin jika sakitnya benar-benar serius.

Kutekan nomor ambulance yang sudah hapal di luar kepala (119) dan menjelaskan alamat rumah. Lalu kusiapkan tas yang biasa Ama bawa bepergian. Sambil sesekali memijit kepala atau mengusap-usap punggungnya. Sementara dia masih terus merintih.

Ambulance datang tepat setelah kusambar hijab dan mengenakan dikepalaku. Hijab kaos yang praktis, mudah dikenakan pada saat-saat darurat.

Sepanjang jalan menuju rumah sakit, Ama terus memegangi kepalanya dan mengaduh tak henti.

Hatiku perih.
Selama hampir tiga tahun bersamanya, belum pernah kulihat dia begitu kesakitan.

Kegelisahan kian menyeruak batinku setelah satu jam lebih, Ama belum juga keluar dari ruang pemeriksaan. Namun sedikit tenang ketika satu-satunya anak Ama yang tinggal di Taipei akhirnya datang bersama istrinya.

""Tuan... Nyonya."" pekikku haru dan bahagia.

Mereka tersenyum ramah seperti biasa, meski raut kesedihan itu terlihat jelas di wajah mereka. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali, mereka mengajakku duduk karena ada hal penting yang ingin disampaikan.

""Kangker Otak?"" Aku terperanjat. Penyakit yang bahkan tak pernah terlintas dalam benakku, ternyata sudah bersarang di tubuh Ama sebelum kedatanganku di Taiwan. Dadaku serasa dipukul godam.

Beberapa orang berpakaian putih keluar sambil mendorong bangsal Ama.
Aku pun bergegas mengikuti Tuan dan Nyonya menghampiri seorang Dokter yang berdiri di depan pintu.

""Ama harus dioperasi."" Kata tuan, sesaat setelah bicara dengan Dokter, membuat hatiku semakin perih.

Belakangan aku tahu, bahwa Ama tak pernah mengijinkan anaknya itu memberitahuku, atau orang lain tentang penyakitnya.

Tak pernah ingin membuat orang lain sedih dan menangis, adalah prinsip Ama yang bahkan anak kandungnya sendiri tak pernah mampu melawan.

***
Kehidupan memang tidak pernah bisa ditebak. Bahkan seseorang yang terlihat sehat wal'afiat sekalipun, terkadang sedang mengidap penyakit mematikan.
Seperti yang terjadi pada Ama. Semangatnya untuk selalu berbagi pada sesama dan menyemangati para pasien dalam kondisi apapun, membuatnya tak pernah peduli pada penyakitnya sendiri yang mungkin justru lebih serius dari penyakit pasien-pasien yang dia kunjungi.
Ama selalu berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan siapa pun, agar tak menyusahkan orang lain hingga akhir hayatnya.

***
Kutinggalkan Taiwan satu bulan lebih awal, dengan membawa kesedihan yang masih membekas di hati atas kepergian orang sebaik Ama.

Operasi dan segala upaya telah dilakukan Dokter untuk menyelamatkan Ama, namun Tuhan yang Maha Menentukan punya rencana lain. Dia lebih menyayangi Ama, dan memintanya untuk beristirahat dari segala aktifitas agar tenang di sisiNya.

""Bunda... Bunda... ayo buka taman bacaannya! Teman-teman sudah berkumpul tuh."" Teriakan manja dari bibir mungil bidadari kecilku membuyarkan lamunanku tentang Ama. Perempuan yang telah menginspirasiku untuk mendirikan taman bacaan gratis, bagi anak-anak di kampung halamanku.

""Ama, bening hatimu akan selalu terukir di relung hatiku, dan hati mereka yang pernah menerima uluran kasihmu. Kebaikan yang pernah kau tebarkan, menjadi teladan yang akan kuterapkan di dalam kehidupanku.""

""Selamat jalan, Ama. Semoga kau tenang di alam keabadian.""