ARTI SEBUAH KEBAHAGIAAN

2015/5/23 / Nanik Riyati / ARTI SEBUAH KEBAHAGIAAN / Indonesia 印尼 / Tidak ada

ARTI SEBUAH KEBAHAGIAAN
Oleh  : Nanik Riyati

  “Kamu harus kaya! Maka hidupmu akan bahagia.”
Ucapan kakek beberapa tahun yang lalu, selalu terngiang di telinga dan membayangi pikiran.
Di abad 21 ini semua memerlukan uang. Ke toilet umum pun harus membayar Rp 1000- Rp 2000.Tak heran jika banyak orang  bekerja keras dan berlomba-lomba mengumpulkan uang. Untuk memenuhi semua kebutuhan, membeli barang yang diinginkan dan mempunyai tabungan berjuta-juta. Di Indonesia sangat susah mendapatkan pekerjaan dengan gaji jutaan, apalagi hanya lulusan SMU sepertiku. Tak heran jika banyak orang memilih bekerja ke luar negeri, tanpa terkecuali aku.
       Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, aku memutuskan untuk bekerja keluar negeri. Sebelum ke Taiwan, aku sempat bekerja di Singapura  selama 4 tahun dan sekarang  sudah kali ketiganya kontrak kerja di Taiwan.
      Namaku Amey, ya, nama yang begitu familiar di kalangan buruh migran di Taiwan. Usiaku sudah kepala tiga dan di usia yang begitu matang belum juga menikah. Menikah? Ah, bahkan  tak pernah terpikirkan akan hal itu. Aku masih ingin membahagiakan kedua orangtua, membantu mereka, dan tentunya menabung demi masa depan. Sebelum menikah aku harus mapan dalam hal ekonomi terlebih dahulu, dengan begitu tak perlu lagi bekerja keluar negeri dan meninggalkan suami serta buah hati. Selama bekerja di sini memanfaatkan waktu luang dengan sebaik-baiknya. Belajar bagaimana bicara bahasa mandarin dengan baik dan benar, belajar menulis hurus China yang memiliki kesulitan luar biasa. Tapi aku tak pantang menyerah, dengan kesabaran dan keuletan semua bisa terkuasai.
                                          ***
          Kontrak kerja yang ketiga ada sedikit masalah. Alamat majikan tidak sesuai dengan yang tertulis. Rumah majikan berada di sebuah desa di daerah Tainan yang jauh dari kota, bahkan jauh pula dari pasar. Aku tinggal berdua saja dengan nenek. Dia sudah lumpuh, bahkan bisa dibilang keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Butuh kesabaran dan kehati-hatian yang ekstra untuk merawatnya.
         Majikanku orangnya baik dan menganggap seperti keluarga sendiri. Desa ini begitu nyaman, udara bersih, dan alam yang indah membuatku semakin betah bekerja, serasa dikampung halaman sendiri. Untuk kebutuhan sehari-hari, Tuan Wu, anak sulung nenek, yang tinggal di kota akan membawakan bermacam-macam belanjaan untuk kebutuhan kami, dan semua kebutuhanku dipenuhi oleh mereka. Tapi rutinitas yang sama setiap hari kadang menimbulkan rasa bosan dan jenuh, tidak ada teman dari Indonesia yang tinggal di daerah terdekat, ditambah nenek tidak pernah berbicara sepatah kata pun. Beberapa kesibukan pun mulai kujalani untuk menghilangkan rasa rindu dengan kampung halaman. Aku mulai suka memasak dan mencoba resep masakan baru, bermain internet, menonton TV, dan membaca beberapa buku lama, lumayanlah bisa mengurangi kejenuhan.
                                        ***
                Cuaca mendung, mentari seolah enggan tersenyum hari ini. Angin semilir masuk dari jendela dan rasa capek setelah seharian membersihkan dapur membuatku tertidur. Entah berapa lama aku pejamkan mata ini hingga terdengar suara mobil pengangkut sampah, sontak mengagetkanku. Segera kubereskan semua sampah dan berlari mengejar mobil berwarna kuning itu. Dari seberang jalan aku lihat seorang nenek tua berjalan tertatih-tatih dan kesulitan sambil membawa bungkusan sampah.
""Sepertinya, dia juga mau membuang sampah.” Gumamku.
Masih dengan nafas terengah-engah, aku pun menghampirinya.

“Nenek!  Apakah di tangan kamu itu sampah yang mau dibuang?” Tanyaku, sambil berusaha mengambil kantong plastik dari genggamannya.

Kontan saja pertanyaan dan perbuatanku membuatnya kaget, mimik wajah nenek itu sedikit pucat, lalu dia mengangguk.

 “Sini aku bantu.”

Aku segera berlari setelah mendapatkan tas plastik dari genggaman nenek tadi dan kemudian mengejar mobil sampah yang mulai berjalan menjauh.

 “Terima kasih sudah mau membantu, kalau tidak, pasti kubawa pulang lagi sampah ini.” Ucap nenek itu setelah aku kembali mendekatinya.

“Sama-sama, Nek. Namaku Amey.” Sambil tersenyum dia menjawab,
“Namaku Lien, panggil saja Nenek Lien. Kamu imut dan baik hati.” Ucapnya sambil tersenyum ramah padaku.

Aku pun kembali ke rumah majikan dengan perasaan bahagia karena hari ini bisa bertemu dengan seorang nenek yang ramah serta baik hati.

                                                   ***
              Sejak pertemuan itu kami bertambah akrab. Setiap kali membuang sampah, kami akan datang lebih awal dan bercengkrama di ujung jalan, tempat di mana kami pertama bertemu. Ada saja yang di bicarakan setiap harinya, terkadang dia akan bercerita tentang tanaman, perjalanan hidup, suaminya yang sudah meninggal dunia di usia muda, dan anak kesayangannya yang menjadi dokter di luar negeri tapi tidak pernah pulang untuk menjenguknya. Umur Nenek Lien hampir 83 Tahun, sudah sangat tua. Dia sering menanyakan apakah aku merindukan kampung halaman dan orangtuaku. Aku tahu, dari pertanyaan-pertanyaannya sebenarnya dia memendam kesedihan dan kerinduan yang dalam terhadap orang-orang yang pernah dekat dengannya. Jujur, sejak berteman dan mengobrol dengannya rasa kangen terhadap Ibu sedikit terobati dan aku berharap juga pun dapat mengobati rasa rindunya kepada anaknya. Setiap panen nenek Lien akan membawakan beberapa sayuran hasil tanamanya. Begitupun denganku akan memasak makanan khas Indonesia yang dia jarang makan atau mungkin belum pernah ia rasakan sebelumnya.

                                            ****                                                                  
Dua bulan berlalu..……
Pergantian musim dan cuaca yang tidak bersahabat, hujan yang sudah beberapa hari tidak kunjung reda membuatku malas untuk keluar, walau hanya membuang sampah. Tiba-tiba ada rasa rindu ingin bertemu  Nenek Lien, dia pasti mengkhawatirkanku. Kebetulan Tuan Wu membawa banyak sayuran dan ikan. Tanpa membuang waktu, segera aku persiapkan bahan, bumbu dan perasa. Dengan semangat empat lima, selesailah masakan yang super wangi dan enak. Segera ku ambil tupperware dan memasukkan sebagian untuk Nenek Lien.
Seperti biasa aku akan menunggu Nenek Lien di ujung jalan. Entah kenapa sampai mobil berwarna kuning itu berlalu, dia tidak juga muncul. Pertanyaan demi pertanyaan pun  silih berganti memenuhi otak dan kepala. Biasanya, walau tidak membuang sampah dia keluar menyapa. Kuputuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mengantarkan sayur sekaligus menjenguknya. Sampai di depan rumah, kuketuk pintu beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban, melainkan suara erangan kesakitan.
Dag dig dug,  berdebar jantungku. Rasa khawatir, was-was dan risau menyelimuti pikiran.

""Apakah Nenek Lien sakit? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?""

Tanpa permisi aku melangkah masuk dan tidak percaya dengan apa yang ada di depan mataku. Rumah tua yang kelihatannya bersih dan layak ditempati, ternyata di dalamnya cuma terdapat sebuah lemari usang dan kompor tua yang jarang dipakai untuk memasak. Walaupun kami berteman dan sering mengobrol, aku belum pernah berkunjung ke rumahnya, kita lebih sering berbincang dan menghabiskan waktu di perempatan jalan.
Tiba-tiba mataku tertuju ke sebuah ranjang reot yang terletak diujung ruangan. Nenek Lien terbaring lemas sambil terus mengerang kesakitan. Segera kuraba kening dan tangannya.

“Ah! Panas sekali. Sepertinya terserang demam,”
Segera kucari kain dan air dingin untuk mengompresnya.

“Nenek Lien, punya obat demam?”

Dia hanya menggelengkan kepala, tidak mampu menjawab.

“Nenek Lien tunggu sebentar ya, aku pulang ambil obat.”

           Akupun bergegas pulang ke rumah mengambil obat demam dan bubur sisa tadi pagi.
Setelah selesai menyuapi, tidak lupa kukompres badannya dengan air es. Beberapa saat kemudian dia tertidur, kulipat baju yang berserakan di ranjang, mulailah aku membersihkan rumah. semuanya selesai dalam hitungan menit. Kulihat kembali keadaan Nenek Lien, dan Alhamdulillah ada perekembangan. Akupun pamit pulang walaupun sebenarnya ingin sekali menjaga dan merawatnya, tetapi ada kewajiban utama menjaga pasien.
    Keesokan harinya aku bangun lebih awal, memasak bubur untuk pasien, sekalian untuk Nenek Lien, tidak lupa kubeli roti dan beberapa buah-buahan.

“Selamat pagi, Nenek Lien?” Sapaku ramah.

Kuhidangkan bubur hangat dan obat diatas meja.

“Selamat pagi, Amey.” Jawabnya sambil menahan sakit, tapi terlihat ada secuil senyuman di bibirnya.

“Nenek Lien, bagaimana keadaannya sekarang? Apakah sudah membaik?”

“Lumayan, Amey. Terima kasih. Kalau tidak ada kamu, entah apa yang akan terjadi denganku.” Celoteh Nenek Lien, sambil mengusap air mata yang jatuh dipipinya.

“Sudah, sekarang makan, ya? Aku mau beres-beres dulu.”

Tanpa sengaja kutemukan beberapa surat, sepertinya dari seseorang yang istimewa, padahal di situ tertera cap post tahun 1980 dan 1990 an.
Sejenak aku tertegun dengan sebuah amplop tanpa perangko. Ternyata tulisan Nenek Lien yang mengungkapkan kesedihan, kerinduan terhadap anak semata wayangnya. Tanpa sepengetahuannya kumasukkan surat itu kedalam saku celana.

                             ***
    Sebulan kemudian…..

     Keadaan  Nenek Lien sudah membaik. Tapi, ia tidak bisa beraktivitas seperti dulu lagi, badannya lemah dan tidak mampu berjalan. Aku sebagai teman dan sahabatnya, punya tanggung jawab untuk menjenguk, merawat dan membawakan makanan untuknya. Masih teringat  surat beberapa waktu lalu saat membereskan rumahnya,  betapa besar kerinduan yang ia rasakan.
    Perlahan kucoba menulis baris demi baris, kurangkai beberapa kalimat indah dan jadilah sebuah surat rindu. Setelah rapi, akupun bergegas kerumah Nenek Lien untuk mengantarkan makanan dan membersihkan rumahnya seperti biasa.

“Nenek Lien, ini ada surat untuk mu.” Kusodorkan amplop yang sudah aku persiapkan dari rumah.

“Suuu …  raaa  … ttt?”  Ucapnya terkejut.

Diambilnya surat dari tanganku, tetapi tidak langsung dibaca melainkan ditaruh di bawah bantal lusuh miliknya.

“Nggak dibaca nek?”

Dia hanya menggelengkan kepala.

“Apa mau aku bacakan?”  Nenek Lien pun menyetujuinya sambil tersenyum.

Perlahan kubacakan isi suratnya:

Ibu….
Ibu, Bagaimana kabarmu?
Aku berharap ibu dalam keadaan sehat. Aku, istri dan anak-anak  disini juga sehat.
Ibu, maafkan aku. Berpuluh tahun tidak mengunjungimu dan tidak memberi kabar.
Bukannya aku tidak sayang ataupun rindu padamu, tetapi anak-anak sekolah, pekerjaan, dan  banyak jadwal operasi, juga pasien yang membutuhkan bantuan.
Ibu, aku percaya engkau pasti memaafkan dan memaklumi keadaanku, seperti waktu kecil sering membuatmu marah dan berbuat salah, engkau mengalah dan tidak marah.
Ibu, entah kenapa, kerinduanku padamu akhir-akhir ini tidak dapat di bendung. Wajah dan  bayanganmu selalu memenuhi pikiran.
Ibu …  Jagalah diri baik-baik.
Aku dan anak-anak akan mengunjungimu dalam waktu dekat. Jika ada sesuatu yang ibu inginkan, ibu bisa memberitahuku. Ku usahakan memenuhinya.
Ibu ...  Jangan lupa untuk menjaga kesehatan.

Salam  rindu

Anakmu

Tak terasa air mata menetes melihat reaksi Nenek Lien. Matanya basah, air mata mengucur deras,  dia tak dapat menahan isak tangisnya.

“Nak, Ibu juga kangen, ingin aku memeluk dan membelikan es krim seperti waktu kamu masih kecil. Ibu akan menunggu kepulanganmu.” Gumamnya lirih dan diapun tersenyum simpul.

 “Terima kasih, Amey.”

        Setelah kejadian hari itu, gairah dan semangat hidup Nenek Lien bertambah, ada keceriaan di wajahnya. Diapun  belajar untuk berjalan dan menunggu kedatangan anaknya seperti yang sudah dijanjikan. Setiap pagi dan sore aku  mengunjunginya. Rupanya surat pertama mampu membuat hidupnya sedikit berwarna. Aku putuskan untuk menulis surat secara berkala dengan isi yang berbeda.
                                      ***
             Kesibukan menjalankan kewajiban dan merawat Nenek Lien kadang membuatku letih dan capek. Tapi, tidak mau menjadikan itu sebagi beban dan mengeluh. Malah bersyukur masih bisa berbagi dan menolong walau dalam keterbatasan. Yah, keterbatasan waktu dan keuangan. Selain aku, ada seorang tetangga bernama Vivian yang simpatik dan iba terhadap kehidupan Nenek Lien. Setiap hari Minggu, dia akan datang bertandang kerumah. Dia membelikan beberapa kebutuhan dan  buah-buahan untuknya.
Hari ini aku memasak nasi kuning dengan beberapa lauk lengkap, dari perkedel, ayam goreng, telur dadar dan timun. Tanpa menunggu sore akupun bergegas mengantarkannya kerumah Nenek Lien. Rupanya dia sedang berbincang-bincang dengan Vivian.
Tanpa kuduga, sambutan Nenek Lien tidak seperti biasanya.  dia tidak mau menerima nasi kuning dan kelihatannya marah sekali.

“Amey!  Jangan datang lagi!  Aku tidak mau  melihat wajahmu,”

“Dasar, penipu.”  Ucapnya dengan nada marah.

Kenapa Nenek Lien tega memarahiku? Padahal selama ini baik-baik saja dan akulah yang merawat dan membantunya. Sebelum berlari pulang, aku berpesan agar Miss.Vivian menjaganya.
Suatu pagi, Miss.Vivian datang menemuiku dan memberitahukan kalau Nenek Lien sakit keras dan ingin bertemu. Katanya ingin menyampaikan sesuatu. Tanpa menunggu, akupun bergegas menuju ke rumah menemuinya.
Benar, Nenek Lien sudah menunggu kedatanganku. Air matanya mengalir dan matanya sembab.

""Amey, maafkan aku, sudah berprasangka buruk padamu, padahal kamu sudah rela menghabiskan waktu dan tenaga merawatku. Bahkan kamu tak ingin melihatku bersedih,""

“Mau kan, memaafkan aku?”

“Iya. Aku juga minta maaf telah berbohong padamu.” Ucapku lirih.

“Kamu baik sekali, andai saja anakku sebaik kamu  …” Ucapannya berhenti.
“Sudahlah Nenek Lien, jangan dipikirkan lagi. Aku akan selalu menjagamu , jangan khawatir.”

Hati dan pikiran terasa tenang setalah Nenek Lien mau menerima kehadiranku lagi, ini berarti bercanda dengannya. Langit yang cerah dan sinar matahari yang terang, cocok sekali dengan suasana hati.

                         ***
         Hubunganku dengan Nenek Lien kembali baik dan bisa mengunjunginya kapan saja sesuka hati. Selesai mengurus pasien dan pekerjaan rumah, aku keluar berjalan-jalan sambil menyanyikan sebuah lagu terfavorit. Tidak ada tempat lain yang menjadi tujuan utama selain rumah  Nenek Lien.
Hari ini, ulang tahun Nenek Lien yang ke-84. Aku ingin memberikan sebuah kejutan dan kado spesial, aku diam-diam masuk kerumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia belum bangun, kubiarkan saja dia lelap dalam tidurnya. Kusiapkan beberapa makanan diatas meja dan seikat bunga mawar merah. Aku ingin makan bersama. Walaupun masakan sederhana, aku rasa ini cukup membuatnya gembira. Setelah semuanya selesai kuberjalan menghampiri tempat tidur dan membangunkannya.

“Nenek Lien, bangun,”

“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday to Nenek Lien. Happy birthday to you,”  Sambil menyanyikan lagu ulang tahun, ku goyang-goyang tubuhnya.

Aneh, dia tidak mau bangun. Kekhawatiran  dan ketakutan mulai menyelimuti perasaan. Ku dekatkan jemari  kehidungnya.

“Tidak ada nafas!” Keringat dingin pun mulai bercucuran. Tidak tahu apa yang harus aku perbuat, bingung dan perasaan was-was menghantui.
Kucoba megecek denyut nadinya, dan …

“Innalillahiwainnailaihirojiun. Selamat jalan Nenek Lien, Tuhan lebih menyanyangimu. Semoga bahagia di surga.” Ucapku lirih.

Segera ku beritahukan ke tetangga terdekat agar diurus mayatnya.
Duka dan pilu yang kurasakan, air mata terus mengalir selama beberapa hari. Kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup dan sudah seperti  keluarga sendiri. Cuma dia seorang yang selama ini mengerti perasaanku. Bercanda, tertawa dan tempatku mencurahkan kerinduan bila teringat ibu dikampung.
                   ***
          Kontrak kerjaku tiga bulan lagi habis dan harus pulang ke tanah kelahiran dan menjenguk ibu. Kali ini aku akan pulang terus dan tidak akan kembali ke Taiwan. Walaupun sudah beberapa bulan sejak kematian Nenek Lien, rasa rindu dan bayangannya masih membekas di pikiran dan hati. Kebersaman kami yang saling melengkapi tidak akan pernah dapat terlupakan. Sengaja tidak pernah lagi mengunjungi rumahnya atau hanya sekedar lewat di perempatan jalan, ingin ku simpan kenangan bersamanya di dalam hati.
Aku mulai mempersiapkan oleh-oleh, hari ini cuaca cerah. Inilah kesempatan yang baik untuk ke kota. Tapi, aku harus melewati perempatan jalan dan itu akan mengingatkanku akan Nenek Lien. Tapi demi oleh-oleh untuk Ibu aku harus melakukannya. Setelah menunggu beberapa saat, bis datang, segera aku naik dan mengambil tempat duduk.
Setelah semua barang terbeli, aku naik bis yang sama untuk pulang. Dalam perjalanan menuju kerumah terlihat seorang lelaki di rumah Nenek Lien, segera kuhampiri untuk menghilangkan rasa penasaranku.

“Selamat siang, kalau boleh tahu Anda ini siapa?”  Sapaku ramah.

“Aku pemilik rumah ini, dan kamu?” Dia balik bertanya.

“Hmm, Pemilik rumah! Setahuku ini rumah Nenek Lien yang meninggal setahun yang lalu. Dan dia tinggal sendirian karena suaminya sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Sedang anaknya di luar negeri tidak pernah pulang,”

“Oh ya, namaku Amey, teman Nenek Lien.”

 “Aku terlambat!” Gumamnya

“Maksudnya?”

“Lima belas tahun tidak pernah pulang, terakhir lima tahun yang lalu aku berkunjung ke rumah lama. Tapi, ibu tidak ada disana dan tak seorangpun yang tahu keberadaannya.”

“Terus, bagaimana Anda bisa tahu kalau dia disini?”

“Dua minggu yang lalu, kebetulan ada reuni alumni mahasiswa di Universitas tempatku kuliah dulu dan seorang dosen memberikan sepucuk surat yang ternyata dari ibuku. Maka bergegas aku pulang dan ingin menjenguknya. Tapi ternyata sudah lambat, Ibu sudah meninggal.” Sahutnya sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya.

 “Sebentar! Surat itu aku yang mengirimkan dua tahun yang lalu. Saat aku membersihkan rumah Nenek Lien dan menemukan surat dan tercantumkan alamat sebuah universitas di Amerika. Lalu, ku coba menulis surat .”  Tambahku menerangkan.

“Aku memang tak berguna. Seharusnya aku menjaganya. Dulu aku berjanji akan mencari uang yang banyak dan membelikan apa saja yang ibu inginkan. Ternyata, aku terlena dengan kesenanganku sendiri. Belum sempat aku membahagiakannya, beliau sudah pergi. Aku terlalu egois dan tidak pernah memperdulikan ibu.” Kali ini tangisanya terdengar kencang.

 “Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri! Terima kasih, kamu sudah membantu dan menjaganya.”

“Sudahlah, Nenek Lien sudah tenang di surga.” Timpalku.
 Akupun mohon pamit pulang karena hari sudah sore.

                     ***

         Ketika senja mulai tenggelam, ketika durjana malam datang kerinduan dan kenanganku tentang Nenek Lien bermunculan. Ternyata kaya itu bukan karena memiliki banyak uang di tabungan dan membeli barang-barang mewah. Tetapi, membahagiakan orang tua, berteman, berbagi dan membantu siapa saja walau  dalam keterbatasan waktu dan materi yang kita punya. Itu sangat berarti bagi yang membutuhkan dan memberikan rasa bahagia dalam diri kita. Sekarag, aku baru paham maksud ucapan kakek.

        Sudah bertahun-tahun ku tinggalkan kedua orang tua di kampung hanya karena ingin mempunyai materi yang lebih. Inilah saatnya aku harus menjaga, memperhatikan dan berada disisinya. Karena  itulah cara sesungguhnya membahagiakan mereka.
 Dari pengalaman yang dialami Nenek Lien, aku sadar. Inilah saatnya aku pulang dan menjaga kedua orang tuaku selama mereka masih hidup, agar tiada penyesalan di hari depan.

THE END
Taipei, 21 Mei 2015

Footnote:
- Innalillahiwainnalaihirojiun :  Kalimat yang biasa diucapkan orang muslim ketika mendengar ada kematian.
Pesan :
- Kebahagiaan itu tidak bisa diukur materi.
- Membantu siapa saja dengan ikhlas, walau kita dalam keterbatasan.
- Apabila bekerja jauh meninggalkan orang tua, jangan lupa memberi kabar dan menanyakan keadaan orang tua sesering mungkin.
- Belajarlah apa saja yang bisa kita pelajari disekitar kita, bisa jadi kita tidak membutuhkannya saat ini juga. Tapi, suatu saat pasti akan berguna, baik bagi kita sendiri ataupun orang lain.