ǎo Tàitài - Cinta Tidak Terbatas

2015/4/22 / Disyak Ayummy / Lǎo Tàitài - Cinta Tidak Terbatas / Indonesia 印尼 / Justto Lasoo

Lǎo Tàitài - Cinta Tidak Terbatas

Dua bulan sudah aku bekerja merawat Xiao Kang, bocah laki-laki berusia 6 tahun yang lumpuh dan gagar otak karena kecelakaan. Di rumah ini aku tinggal bersama Nyonya Ming Qiu dan Lǎo Tàitài, mama dan nenek Xiao Kang.

Meskipun Lǎo Tàitài tubuhnya kurus dan usianya sudah 70 tahun lebih, tetapi dia masih sehat. Dia masih bisa pergi ke pasar atau supermarket untuk membeli keperluan kami sehari-hari. Ayah Xiao Kang sudah meninggal. Aku hanya bisa melihat fotonya yang berada di tengah altar sembahyangan. Seorang laki-laki berkacamata, berusia kira-kira 40 tahunan.

Awal aku bekerja di rumah ini, semua berjalan lancar. Nyonya Ming dan Lǎo Tàitài sangat baik padaku. Mereka mengajariku banyak hal tentang kehidupan dan tradisi masyarakat Taiwan.

 Namun, memasuki bulan ke tiga, sikap Nyonya Ming mulai berubah. Dia yang biasanya suka membantuku memasak atau menjaga Xiao Kang, kini lebih suka mengurung diri dalam kamarnya, melamun, menangis, dan mudah marah tanpa alasan jelas. Sering kali nyonya memarahiku sambil mendorong kepalaku, melempar sumpit atau gantungan baju. Jika sudah begitu, aku hanya bisa diam dan menahan tangis tanpa berani melawan.

Seperti malam ini, saat kami sedang makan malam. Awalnya nyonya makan dengan tenang, ditemani oleh Lǎo Tàitài. Sementara aku menggendong Xiao Kang untuk menidurkannya. Saat aku berjalan di dekatnya, tiba-tiba nyonya berhenti makan. Kemudian dia meletakkan sumpit dengan keras di atas meja dan memandangiku dengan tajam.

""Hey, untuk apa kamu di rumahku? Pergi kamu! Pergiii ...!"" teriak Nyonya Ming sambil menunjuk padaku.

""A-apa maksud, Nyonya ...?"" tanyaku agak kaget, karena nyonya tiba-tiba mengusirku.

""Jangan pura-pura tidak tahu, Kau perempuan bodoh! Kamu ke sini mau merebut suamiku, kan?"" Kembali nyonya berteriak. Saat dia hendak meraih mangkuk di hadapannya, Lǎo Tàitài segera menahannya.

""Sudah ... sudah A-Qiu, dia itu Yumi, yang merawat anakmu, Xiao Kang,"" ucap Lǎo Tàitài sambil membelai tangan nyonya.

""Merawat Xiao Kang? Memangnya Xiao Kang kenapa, Ma?"" tanya nyonya seperti orang kebingungan. Ternyata nyonya juga lupa pada keadaan Xiao Kang. Raut wajah nyonya langsung berubah sedih, matanya berkaca-kaca, dan sesaat kemudian dia mulai terisak.

""Xiao Kang tidak apa-apa, A-Qiu. Dia hanya sedikit demam. Besok juga sudah sembuh dan bisa bermain lagi. Sebaiknya sekarang kamu istirahat."" Lǎo Tàitài mengajak nyonya berdiri dan mengantarnya ke kamar. Samar-samar kudengar nyonya kembali menangis dalam kamarnya, lalu berteriak keras.

""Tidaaakk ...! Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapaaa ...!?""

Melihat perubahan sikap Nyonya Ming yang seperti orang hilang ingatan, membuatku ketakutan bekerja di rumah ini. Aku pun lapor pada agency, tentang perilaku majikanku yang tidak wajar itu. Namun, agency menyuruh aku untuk sabar.

""Tidak mungkin majikanmu itu gila. Kalau dia gila, pasti sudah dikirim ke rumah sakit jiwa oleh ibunya. Mungkin dia sedang ada masalah, makanya seperti itu. Kamu bersabar saja. Jangan buat masalah dan jangan kabur. Ingat, kamu masih punya potongan bank sampai 7 bulan ke depan,"" kata agency setelah aku selesai menceritakan masalahku.

""Apa saya tidak bisa pindah majikan yang lain saja, Mbak? Lama-lama kelakuan majikanku sungguh menakutkan,"" pintaku penuh harap.

""Proses pindah majikan itu tidak gampang, Yumi. Apalagi kalau majikanmu tidak mau melepasmu. Jika kamu keluar dari rumah majikanmu, sementara kamu belum dapat majikan baru, dengan apa kamu harus membayar hutang bank? Kamu tenang saja, saya akan mencoba bicarakan hal ini dengan Lǎo Tàitài,"" kata agency memberi harapan dan menenangkanku.

Aku pun hanya bisa menurut perintah agency untuk bersabar, karena aku masih harus membayar hutang bank untuk biaya penempatanku di Taiwan ini. Aku juga tidak ingin dipulangkan ke Indonesia, karena aku sangat butuh pekerjaan untuk biaya sekolah anak-anakku. Demi keluargaku di Indonesia, aku harus sabar dan bertahan bekerja di rumah ini. Setidaknya sampai potongan bank, selesai.

Tidak lama setelah pembicaraanku dengan agency, Lǎo Tàitài memanggilku untuk bicara berdua. Ternyata yang aku pikirkan selama ini benar adanya. Pikiran Nyonya Ming sedang terganggu. Namun, Lǎo Tàitài tidak bilang kalau Nyonya Ming gila, tapi hanya mengalami depresi yang berat, sehingga tidak bisa mengontrol emosinya. Lǎo Tàitài sudah membawa nyonya berobat dan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit jiwa. Namun, Lǎo Tàitài tidak ingin membawa nyonya ke rumah sakit jiwa. Dia tidak tega jika harus melihat putri kesayangannya sendirian di rumah sakit jiwa, dengan tangan dan kaki diikat. Lǎo Tàitài ingin merawat nyonya sendiri, supaya nyonya tetap merasa kalau masih ada orang yang mencintainya.

""A-Qiu sedang mengalami cobaan yang sangat berat dalam hidupnya. Suaminya punya simpanan wanita lain. Saat mereka bertengkar dalam mobil, mobil mereka mengalami kecelakaan. Suaminya meninggal, Xiao Kang lumpuh, dan A-Qiu sendiri mengalami keguguran anak keduanya. Apalagi sekarang, dia dikeluarkan dari pekerjaannya. Sebagai sesama wanita, apakah kamu tidak kasihan sama A-Qiu, Yumi?"" tanya Lǎo Tàitài sambil menggenggam tanganku erat.

Cukup lama aku terdiam mendengar pertanyaan Lǎo Tàitài. Pikiranku campur aduk antara takut kalau nyonya mencelakaiku, dan kasihan dengan masalah yang dihadapinya.

""Saya bisa memahami keadaan nyonya, Lǎo Tàitài. Tapi saya takut, bagaimana kalau nanti nyonya mengamuk dan ....""

""A-Qiu tidak gila, Yumi. Jadi dia tidak akan mengamuk. Dia hanya depresi dan merasa seorang diri menghadapi cobaan ini. Aku mohon padamu, tetaplah di rumah ini. Bantu aku untuk menjaga A-Qiu dan Xiao Kang. A-Qiu butuh orang untuk berbagi beban.""

Kupandangi wajah tua Lǎo Tàitài yang mulai keriput. Wajah seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, bagaimanapun keadaannya. Di usianya yang sudah tua, seharusnya dialah yang dirawat oleh anak-anaknya, bukan malah dia yang merawat anaknya. Tanpa sadar aku mengangguk meski hatiku masih khawatir.

""Baiklah, Lǎo Tàitài, saya akan mencoba membantu semampu saya,"" jawabku pelan. Lǎo Tàitài langsung memelukku dan berulang kali mengucapkan terima kasih.

Setelah mendengar penjelasan Lǎo Tàitài, aku kembali bekerja seperti biasa. Jika Lǎo Tàitài bisa bertahan dengan sikap nyonya, seharusnya aku juga bisa.

Sejak kejadian di ruang makan beberapa hari yang lalu, Lǎo Tàitài tidak mengizinkan nyonya keluar rumah. Lǎo Tàitài sendiri juga tidak keluar rumah. Dia selalu berada di samping nyonya, untuk memberi semangat atau nasehat. Meskipun sering kali nyonya tidak menghiraukan atau malah membentaknya, tapi Lǎo Tàitài tetap mendampingi nyonya.

Untuk keperluan belanja Lǎo Tàitài meminta tolong ke anak pertamanya atau kakak Nyonya Ming, yang bernama Tuan Wang. Kebetulan rumah Tuan Wang tidak jauh dari sini. Kira-kira 10 menit dengan berjalan kaki. Jika nyonya sedang mengamuk, kami juga akan memanggil Tuan Wang untuk membantu mengikat nyonya di ranjangnya.

Cinta dan kasih sayang Lǎo Tàitài kepada Nyonya Ming sungguh luar biasa. Dengan tangannya sendiri, Lǎo Tàitài merawat nyonya yang sedang depresi, tanpa rasa takut ataupun jijik. Setiap hari Lǎo Tàitài mengelap tubuh nyonya dengan handuk hangat, mengganti baju, menyisir rambut, menyuapi makan, sampai membersihkan kotorannya. Tidak pernah sekalipun Lǎo Tàitài mengeluh meski nyonya sering membentaknya, bahkan mendorong tubuh rentanya. Cinta seorang ibu memang tak terbatas.

****

Pagi ini cuaca sangat cerah. Sudah beberapa hari ini Nyonya Ming terlihat tenang dan normal. Dia bisa melakukan segala keperluannya sendiri, dan tidak lagi marah-marah meski masih sering melamun.

""Yumiii ...!"" teriak nyonya, saat aku sedang mencuci gelas.

""Iya, Nyonya. Saya datang,"" jawabku segera. Setelah mengelap tangan, aku langsung berlari menuju ruang tamu di mana nyonya berada.

""Yumi, kenapa kau tinggalkan Xiao Kang sendirian di sini?"" tanya nyonya sambil menunjuk Xiao Kang yang berada di atas kursi roda.

""Maaf, Nyonya, barusan saya di dapur untuk mencuci gelas tempat susunya Xiao Kang,"" jawabku pelan.

""Aku tidak mau dengar alasan apapun. Pokoknya kamu tidak boleh meninggalkan anakku sendirian, kecuali dia sedang tidur. Mengerti?!"" bentak nyonya dengan suara tinggi.

""Me-mengerti, Nyonya ...,"" jawabku gugup melihat perubahan sikap nyonya yang kembali mudah marah.

""Sekarang kamu temani Xiao Kang. Aku mau siap-siap berangkat kerja,"" kata nyonya sambil berjalan menuju kamarnya. Aku hanya memandang nyonya dengan rasa kasihan. Sepertinya nyonya masih lupa, kalau dia sudah lama dikeluarkan dari pekerjaannya.

Braakk!!

""Hah!"" Aku kaget mendengar suara pintu kamar nyonya yang ditutup dengan keras.

Segera kuambil kursi kecil yang biasa aku pakai duduk saat memijat kaki Xiao Kang. Namun, belum lagi aku mulai memijat, tiba-tiba bell rumah berbunyi. Aku segera beranjak membuka pintu, ternyata Tuan Wang yang datang dengan membawa banyak barang belanjaan.

""Kok sepi, mama dan A-Qiu kemana?"" tanya Tuan Wang sambil menyerahkan dua plastik belanjaan, padaku.

""Nyonya di kamarnya, kalau Lǎo Tàitài sedang mandi. Silakan masuk, Tuan."" Kupersilahkan Tuan Wang untuk masuk ke dalam, sementara aku membawa barang-barang belanjaan ke dapur. Saat aku sedang memasukkan beberapa sayuran ke dalam kulkas, tiba-tiba nyonya memanggilku.

""Yumi! Cepat kemari!"" panggil nyonya dari dalam kamarnya.

""Iya, Nyonya, saya datang.""

Aku langsung berlari menuju kamar nyonya, karena aku tidak mau dianggap terlalu lamban. Hampir saja aku menabrak kipas angin karena terlalu gugup. Setelah mengetuk pintu terlebih dahulu, aku langsung masuk.

""Iya, Nyonya. Ada apa?"" tanyaku dengan sopan.

Plaakk!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Rasanya sakit dan perih. Aku mundur beberapa langkah. Aku tidak menyangka kalau nyonya akan menamparku seperti ini.

""Kamu mencuri cincin pernikahanku,ya? Ayo, ngaku!"" tuduh nyonya tanpa basa-basi.

""Ti-tidak, Nyonya. Sa-saya tidak mencuri, sungguh,"" jawabku sambil menunduk, ketakutan. Sebisa mungkin kutahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.

""Bohong kamu! Buktinya, cincin pernikahan yang aku taruh di laci meja rias, hilang. Pasti kamu, kan, yang mengambilnya?"" Nyonya mendekatiku dan mendorong kepalaku, hingga aku terhuyung-huyung ke belakang.

""Sung-sungguh, Nyonya, saya tidak bohong. Sa-saya berani bersumpah, Nyonya.""

""Dasar perempuan kurang ajar! Pasti kamu juga yang merebut suamiku!"" Nyonya berjalan cepat ke arahku lalu menjambak rambutku dengan membabi-buta.

""Aooww ... sakit! Ampun, Nyonya. Ampun ...!"" Aku berteriak memohon ampun sambil berusaha melepaskan tangan nyonya dari kepalaku. Air mataku mengalir deras dan aku menangis sejadi-jadinya. ""Tuan Wang, tolooongg ...!""

""A-Qiu! Lepaskan Yumi!"" teriak Tuan Wang sambil mencoba memisahkan nyonya dariku, kemudian memeluknya erat dari belakang. Sementara aku hanya bisa bersimpuh di lantai sambil menangis dan memegangi kepalaku yang sakit.

""Lepaskan aku, Kak! Lepaskaan ...!"" Nyonya terus berteriak dan meronta.

""Tidak! Kau sedang tidak sadar dengan apa yang kau lakukan!"" Tuan Wang masih berusaha memeluk nyonya yang terus meronta.

""A-Wang, A-Qiu, ada apa ini? Apa yang telah terjadi?"" tanya Lǎo Tàitài yang ternyata sudah berdiri di pintu kamar. Wajah keriputnya terlihat kebingungan.

""A-Qiu mengamuk dan memukuli Yumi, Ma. Aku sudah bilang, bawa saja A-Qiu ke rumah sakit supaya tidak membahayakan orang lain,"" jelas Tuan Wang.

""Maafkan mama, A-Wang. Mama tidak menyangka kalau A-Qiu akan mengamuk separah ini."" Lǎo Tàitài berjalan mendekati kedua anaknya, tapi Tuan Wang segara melarangnya.

""Jangan mendekat, Ma! A-Qiu bisa mencelakaimu juga. Sebaiknya cepat panggil 119, Ma!"" perintah Tuan Wang.

""Iya ... iya,"" kata Lǎo Tàitài sambil keluar kamar. Sekilas aku melihat Lǎo Tàitài mengusap air matanya

Melihat Tuan Wang yang kewalahan menenangkan nyonya, aku segera bangkit untuk membantunya. Kuambil tali yang biasa untuk mengikat nyonya. Saat kupasang tali pengikat ke kakinya nyonya, beberapa kali aku terkena tendangan kaki nyonya yang terus meronta dengan kuat.

Sepuluh menit kemudian suara sirine mobil 119 terdengar mendekat. Lǎo Tàitài langsung membukakan pintu untuk mereka. Sedangkan aku membawa Xiao Kang ke kamarku. Dari dalam kamar, aku masih mendengar suara nyonya yang berteriak-teriak, tapi aku tidak berani kembali ke kamarnya. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di kamar nyonya. Yang aku tahu, 15 menit kemudian nyonya dibawa pergi petugas 119 dan aku hanya bisa memandangi kepergian mobil 119 itu dari jendela kamarku.


*****

Sebulan sudah Nyonya Ming berada di Rumah Sakit Jiwa. Selama itu pula Lǎo Tàitài selalu setia mengunjungi nyonya, seminggu tiga kali. Tidak sekalipun Lǎo tàitài melewatkan waktu besuk, meski dia sendiri sedang sakit. Beberapa hari ini Lǎo Tàitài memang sedang demam. Namun, dia lebih memilih menjenguk nyonya daripada beristirahat atau pergi ke dokter untuk memulihkan kesehatan.

""Sebaiknya Lǎo Tàitài istirahat dulu, nanti kalau sudah sembuh, baru menjenguk nyonya lagi.""

""Aku tidak apa-apa, Yumi. Kamu jangan khawatir. Aku justru tidak bisa tenang kalau belum menjenguk A-Qiu. Kasihan A-Qiu. Dia sudah kehilangan segalanya. Dan aku tidak ingin dia juga merasa kehilanganku. Aku ingin selalu ada di sampingnya,"" kata Lǎo Tàitài sambil memakai jaketnya.

""Baiklah kalau itu yang Lǎo Tàitài inginkan. Hati-hati di jalan Lǎo Tàitài."" Kuantar Lǎo tàitài sampai pintu rumah dan kupandangi tubuh renta itu sampai naik ke dalam taxi.

Lǎo Tàitài, satu dari sekian banyak ibu yang rela berkorban apapun demi kebahagian anak-anaknya. Dia rela menderita asal bisa membuat anaknya tersenyum. Aku pun ingin seperti  Lǎo Tàitài, terus berusaha berjuang di sini, demi kebahagian keluargaku di Indonesia.


Chiayi, 22 April 2015