WIN

【Hadiah juri generasi kedua penduduk baru】

2015/5/20  / Keyzia Chan / WIN / Indonesia 印尼 / FLP TAIWAN

WIN
Oleh: Keyzia Chan

    “Hitam ya, hitam. Putih ya, putih. Semua begitu jelas. Dalam duniaku tidak ada istilah abu-abu. Berani melawan …? DORRR!!!” Ia membentuk jemarinya menyerupai pistol. Mendekatkan kepelipis kirinya. Tak ada senyum di wajah lelaki itu. Sorot matanya tajam layaknya binatang buas yang sedang membidik mangsa. Aku bergidik. Beringsut seketika. Keringat dingin merembes dari pori-pori. Kututup rapat pintu yang kubuka sedikit tadi, nyaris tak menimbulkan suara. Segera kuurungkan niatku. Pelan aku melangkah. Kembali ke kamar.
                                                               
                                            ***
     Seperti biasa sesudah mandi, sebelum istirahat terlebih dulu kutengok keadaannya sebentar. Tidurnya nampak damai meskipun kecemasan enggan pergi dari benakknya. Terpancar dari sorot matanya. Kegelisahan itu. Ya, aku dapat merasakannya. Bagaimana tidak? Di usinya yang sudah senja—orang-orang yang harusnya menjaganya, justru tidak sabar menunggu Malaikat Maut menjemput sesosok yang sudah tidak berdaya itu. Ada saja usaha yang dilakukan oleh menantunya demi menghilangkan nyawa nenek.
 
    Setelah memastikan tidurnya pulas, aku rabahan di ranjang.Tak ada yang menarik untuk dibahas malam ini. Semuanya masih sama seperti beberapa waktu lalu.

     Sebuah kesepakatan yang diputuskan berdasarkan satu pemahaman, tanpa meminta pendapat orang lain, kesepakatan yang terjadi bukan atas dua buah pikiran itu beda tipis dengan pemaksaan, ‘kan? Dan hei! Beraninya kamu meninggalkanku seorang diri dengan tanggung jawab yang begitu besar. Dalam hati, aku menyumpah-nyumpah. Ah! Bukankah manusia merupakan budak-budak alam yang terkadang seperti binatang dungu. Manakala dilecut bagian tubuhnya lantas bergerak menuruti perintah tuannya. Meski sambil melenguh, sesekali merintih. Meski terseok-seok ia terus berjalan. Entah sampai kapan? Baginya, tak ada kata berhenti, sebab bukankah itu artinya mati! Lagi pula, demi perut-perut yang butuh makan, yang berada di suatu tempat nan jauh di sana, apa pun wujud dari kesulitan ini tak ada kata menyerah. Bukankah seharusnya begitu?
                                                                   
                                                                    ***
    ""Semalam, Mama pulang dalam keadaan mabuk lagi?"" Pemuda itu berdiri di tengah pintu kamar yang ditempati olehku dan nenek. Aku yang membelakanginya, hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah sumber suara. Fokus menyuapi nenek.

    ""Apa laki-laki itu pulang bersamanya?"" Aku menoleh. Mengangguk dua kali.

    Selang beberapa detik kemudian ....  BRAKKK! Tuan muda menendang pintu kamar. Aku dan nenek terlonjak bersamaan. Seketika, aku mencoba menenangkan nenek. Mengusap lembut punggung tangannya yang keriput.

    ""BERENGSEK! JANGAN BERISIK!""

    Dari kamar, seorang wanita paruh baya berteriak gusar sebelum akhirnya, sebuah benda dibantingnya sehingga menimbulkan suara tak kalah gaduh dari sebelumnya. Untunglah ini bukan apartement sehingga tak ada tetangga yang mendengar keributan. Hunian ini jauh dari keramaian, tepatnya di sekitar kawasan pemandian air panas, Beitou.

    Suasana seperti ini sudah tidak asing lagi. Penghuni rumah tersebut tidak pernah akur satu sama lain, kecuali Huang Hau Yun dan neneknya. Setiap hari adalah senam jantung bagiku yang didaulat merawat nenek yang dua tahun belakangan ini mengalami stroke, berusia 78 tahun. Bagaimana tidak? Ancaman bukan hanya datang dari nyonya, tetapi juga dari laki-laki genit yang merupakan kekasih dari majikanku itu. Setiap aku lengah, David begitu laki-laki berusia 30 tahun tersebut biasa disapa, mencoba menggerayangi tubuhku. Dan jika nyonya melihat kejadian itu, sekonyong ia menghujaniku dengan hadiah berupa pukulan, cubitan, yang merupakan bagian penyempurna ulah David yang sialan tersebut.

    Harusnya, aku tidak boleh mendiamkan hal itu. Waspada dan berhati-hati saja tidak cukup. Segera lapor pada pihak yang terkait supaya kejadian buruk dapat dihindari. Namun, bukankah manusia selalu memiliki pertimbangan lain yang menurutnya itu adalah langkah terbaik? Setidaknya untuk saat ini, aku bertahan dengan caraku.

   ""Tumben belum tidur?"" tanya Huang Hau Yun mengagetkanku. Aku mendongak lalu kembali mengarahkan pandanganku lurus. Kedua tanganku saling mengait memegangi lutut yang berdempetan.
 
     Malam di musim panas, adalah perkara yang tepat menghabiskan waktu di luar rumah. Sayangnya, saat itu angin seolah enggan berhembus sehingga akhirnya memaksa keringatku ke luar sempurna. Ditambah keberadaanya di sebelahku, tak ayal membuat napas ini memburu. Tidak seperti layaknya tuan muda dengan pekerja rumah tangga, aku dan Huang Hau Yun bisa dibilang akrab bagaikan dua sahabat baik yang sudah saling mengenal sejak kecil.

    “Kelak jika pendidikanku sudah selesai, bersediakah kamu menikah denganku, Win?”

    PLAK! Kupukul pelan lengan kekar pemilik hidup lancip itu.

    “Kamu pikir, aku anak kecil apa? Berhenti menggodaku,” ujarku memerintah sambil melebarkan kedua mataku yang bulat.

    “Apa kamu tak melihat aku ini tidak sedang bercanda?” ucapnya sambil menunjuk hidungnya sendiri. Mimik wajah pemuda berahang tegas itu, tiba-tiba nampak serius.

     Huang Hau Yun seperti manusia berkepribadin ganda. Saat berhadapan dengan ibunya, ia bagaikan sedang menghadapi musuh bebuyutan. Di luar itu, ia adalah pemuda ramah dan suka bercanda.

     “Kenapa mesti memilihku? Bukankah gadis-gadis Taiwan lebih cantik? Hei! Apa kamu takut mereka menolakmu, ha?” ujarku menggoda sambil menyikutnya.

     “Orang Taiwan, atau orang Indonesia itu sama saja. Cantik. Yang terpenting ia baik. Itu saja.""

    “Tunggu dulu. Apa kamu tidak mengikuti berita perkembangan para TKI yang berada di Negara ini? Orang Indonesia memiliki citra buruk, kamu tahu?”

    “Kamu harus tahu ini, Win. Menurutku, orang Indonesia, Vietnam, PIilipina, pada dasarnya mereka baik. Bukan lantaran satu atau dua orang yang melakukan kesalahan, lantas satu negara harus menanggungnya. Dicap buruk. Lagi pula, bukankah setiap hal yang terjadi selalu disertai alasan? Ibu pertiwi pasti menangis mendengar anak-anaknya berbuat onar di negara orang, Win. Tawuran atau apalah? Padahal, selama ini selalu diajarkannya bahwa dimana pun berada kita bersaudara. Anak-anak yang tumbuh besar dipangkuan ibu pertiwi adalah saudara. Dengan berperilaku baik, artinya ikut menjaga nama baik bangsa di mata dunia.""

    Aku mengetuk-ngetuk bibir dengan ujung jari. Mencoba mencerna kalimat panjang tersebut. Tuan muda yang bijak adalah salah satu alasan kenapa aku masih bertahan, selain kebaikan yang nenek lakukan padaku. Tunggu! Meskipun ia rupawan dan baik, rasanya tak layak bagiku bermimpi bisa bersanding dengan pangeran. Ah, lupakan.

    Dulu ketika aku baru sampai di Taiwan, kira-kira dua minggu—kabar buruk datang dari keluarga. Bapak masuk rumah sakit. Kesehatannya memburuk. Paru-paru basah yang dideritanya kambuh. Dirawat di rumah sakit, tentu butuh biaya yang besar. Dan waktu itu nenek yang masih sehat, berbaik hati meminjamkan sejumlah uang untuk kukirim demi pengobatan bapak. Nenek, sedikit pun tidak menaruh perasaan curiga bahwa bisa saja aku kabur sebelum bisa melunasi hutangku.

    Hidup adalah perkara menabur dan menuai, bukan? Kebaikan nenek mengingatkanku akan kebaikan Alexander Fleming Si Penemu Penisilin. Kisah itu berawal dari perjalanannya ke suatu tempat dan harus melewati tengah hutan. Tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengan dirinya sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak malah semakin terperosok. Tanpa berpikir panjang, Alexander menolong pemuda itu dan memapahnya pulang ke rumah. Ternyata pemuda itu adalah anak orang kaya raya. Orangtua pemuda tersebut hendak memberikan imbalan pada Alexander, namun ia menolaknya seraya berkata, “Selayaknya sesama manusia menolong orang lain dalam kesusahan.” Sejak kejadian itu mereka bersahahabat.

    Alexander adalah pemuda miskin, cerdas, yang memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Impiannya terwujud oleh beasiswa yang diterimanya. Ternyata, beasiswa itu berasal dari oranguta pemuda yang ditolongnya beberapa waktu lalu. Kemudian, Alexander Fleming menemukan obat bernama penisilin. Sedangkan pemuda bangsawan kaya raya tersebut masuk dinasmiliter. Dan dalam tugas ke medan perang ia terluka parah sehingga menyebabkan demam tinggi  karena infeksi. Para dokter mendengar tentang penisilin penemuan dr. Fleming lalu menyuntikkan pada pemuda bangsawan. Pemuda itu berangsur sembuh.

    Tahukah kalian, siapa pemuda bangsawan itu? Ya, ia tidak lain adalah Winston Churcill, perdana mentri Inggris yang termasyur itu. Dalam kisah ini, dapat kita lihat hukum menabur dan menui. Sesederhana itu. Yang jelas, hidup adalah perkara yang terus berkesinambungan.

    Kembali pada ceritaku. Nenek sangat baik. Aku tidak boleh menyia-nyiakan jasanya. Merawat  serta melindunginya dari ulah jahat nyonya saat Huang Hau Yun tidak di rumah, sepenuhnya adalah tanggung jawabku. Aku heran dengan orng-orang yang hidupnya dipenuhi dendam seperti nyonya. Apa untungngnya coba?  Meskipun dulu, ia sempat tidak diakui sebagai menantu dikeluarga ini, dan akhirnya lantaran dalam rahim nyonya tumbuh janin yaitu Huang Hau Yun, tanpa memikirkan latar belakangnya yang seorang wanita penghibur, nenek begitu saja menerimanya menjadi menantu. Padahal, belum tentu bayi itu hasil hubungannya dengan putra nenek semata wayang yang sudah meninggal beberapa tahun silam. Anehnya, kebencian nyonya tak pernah padam—seumur hidupnya digunakan untuk mendendam.
     
 
     Seperti yang sudah kusampaikan bahwa manusia sering dihadapkan pada persoalan pelik yang sangat dihindarinya. Namun seperti yang kita tahu, bahwa takdir tetap mendominasi lakon apa yang mesti dijalani oleh cucu-cucu Adam.

     Sepeninggalan tuan muda untuk menyelesaikan pendidikannya, keselamatan nenek sepenuhnya berada dalam pengawasanku. Aku tidak boleh lengah, kamu tahu? Ternyata, nyonya mengalami gangguan jiwa. Bukan hanya dendam kesumat yang membuatnya berniat menghabisi nyawa nenek. Melainkan ketidakstabilan jiwanya itu menimbulkan tindakan berbahaya bagi orang lain, terutama yang tidak disukai olehnya.

    Waktu itu obat nenek habis. Sialnya tuan muda belum juga kembali, sekadar melihat keadaan neneknya atau hanya mengantar obat saja. Padahal obat tersebut merupakan penyambung nyawa bagi nenek, sehingga keberadaannya tidak boleh nihil. Tetapi, jika nekat mengambil obat ke rumah sakit seorang diri, aku khawatir akan keselamatannya. Dilema.

    Siang memberentang ketika suara gaduh itu melintas di balik pintu kamar, lalu lesap sesaat bunyi pintu dibanting dengan sekuat tenaga. Aku berjingkat dari posisi dudukku. Pelan kubuka pintu. Kepalaku menyembul. Bak radar, mataku mengawasi sekitar ruang tamu sampai kamar yang terletak paling ujung. Pintu kamar itu terbuka pertanda nyonya dan kekasihnya sedang tak di sana. Aku menggelinjang senang. Pucuk dicinta ulampun tiba. Batinku.

    ""Istirahatlah, Nek. Tidur yang nyenyak. Aku pergi ke Rong Zong sebentar,"" ujarku sambil mengelus keningnya. Matanya menutup rapat. Napasnya landai. Aku sedikit tenang saat meninggalkannya yang tertidur pulas.

    Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, secepatnya aku melesat menelusuri jalan menuju Stasiun Xinbeitou. Napasku terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Setelah lima belas menit, sampailah aku di tempat itu. Papan monitor pengumuman tertulis kereta menuju Stasiun Shibai 30 detik lagi segera sampai. Aku menyeka keringat, lalu mengipasi wajahku yang terasa basah.

    Xinbetou menuju Shibai memakan waktu 20 menit saja, namun bagiku sangat lama. Tiba-tiba rasa gelisah menyeruak memenuhi rongga dada. Nenek. Panggilku dalam hati. Setelah turun dari kereta, untuk sampai ke Rumah sakit Rong Zong aku mesti berjalan kaki kurang lebih 10 menit. Saat itu kegelisahanku semakin menggila.

    Ketika obat sudah berada di tangan, senja yang mempesona menyertai perjalananku pulang. Aku tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Kugigit bibirku menahan rasa gelisah yang semakin membuat degub jantungku bertalu-talu.

    Setibanya di rumah, tepatnya di ruang tamu, kulihat David dengan santainya menghisap rokok sambil menopangkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara itu, kudapati nyonya tengah sibuk berbicara di telpon. Aku mengerutkan dahi mendengar nyonya terisak-isak di sela obralannya. Ada yang ganjil. Aku berlari kecil menuju kamar. Mataku terbelalak, hampir saja kedua bijinya lepas ketika penglihatanku mendapati sebuah bantal bertengger di atas wajah nenek.
                                                    ***

    Sepertinya, langit pun turut berduka atas kepergian wanita baik seperti nenek. Malam itu langit menumpahkan seluruh kandungan air yang ditahannya. Guntur menggelegar dan kilat membelah tampak semakin mengancam. Persis seperti kemurkaan nyonya ketika menyaksikan David laki-laki pujaannya, memeluk tubuhku yang menelungkup mendekap tubuh kaku nenek.

    Bukannya menyalahkan si bedabah itu, sekonyong nyonya menjambak rambut panjang yang biasa kukuncir ekor kuda tersebut. Suasana paling sengit seumur hidup, baru aku alami saat ini dimana kesedihan luar biasa menghadapi kenyataan bahwa nenek telah meregang nyawa saat aku tidak ada, dan di saat itu pula nyonya memukulku dengan membabi buta lantaran cemburu.

     Meninggalnya nenek sungguh tidak wajar. Dan kecurigaan itu tentu saja mengarah pada kedua pasangan bangsat yang tidak punya nurani tersebut. Aku meronta. Berusaha melepaskan cengkeraman itu tanpa menyadari, bahwa tangan kanan nyonya menyambar sesuatu entah apa? Yang jelas ketika benda tersebut dihantamkan berkali-kali ke tubuhku, rasanya luar biasa ngilu.

    Nyonya benar-benar kalap saat itu. Aku tersungkur di lantai. Kulihat wanita itu berlari ke arah dapur. Jeda beberapa detik kemudian, ia kembali dengan pisau pemotong daging berada dalam genggamannya. Tanpa berpikir panjang aku bangkit kemudian menghambur ke luar rumah tak peduli hujan deras sekalipun.

    Pepohonan di pinggir jalan bergoyang. Dedaunan saling menggesek, berisik. Seperti orang kesetanan, aku terus berlari tanpa alas kaki. Pontang-panting sesekali menoleh memastikan bahwa wanita itu tidak mengekor di belakangku. Pada sebuah bangunan yang nampak tidak berpenghuni, aku berteduh di sana. Mengatur napas sambil menahan gigil yang luar biasa.

    ""Hei!"" Aku terlonjak saat seseorang menyapaku. Samar-samar kulihat laki-laki paruh baya berbadan tambun berdiri sejajar denganku. Entah dari mana datangnya?

    ""Apa yang kaulakukan di sini?"" Pertanyaan macam apa ini? Batinku. Apa tidak melihat bahwa aku sedang berteduh?

   ""Di sini dingin. Mari ikut aku masuk.""

    Aku tetap pada posisi semula. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirku. Kupegangi kedua lenganku yang terasa ngilu.

   ""Jangan takut. Istriku ada di dalam.""

    Akhirnya kuikuti langkahnya. Bangunan yang kukira tak berpenghuni itu, ternyata sepasangan suami istri tinggal di sana.

    Mula-mula aku sedikit lega, paling tidak ada tempat berteduh malam ini. Paman dan bibi penghuni rumah itu memperlakulanku dengan baik. Tanpa bertanya bagaimana bisa aku berada di depan rumahnya di malam hujan deras seperti ini.

    ""Ganti pakaianmu. Dan kau boleh tidur di kamar itu,"" ujar bibi sambil menyodorkan baju ke arahku. Aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali.

    Keesokan pagi, ketika cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar, aku terbangun dengan perasaan tidak karuan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Nenek. Tuan muda. Bagaimana aku menjelaskan semua ini?

    Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku bergegas membukanya. Menghambur keluar. Selain paman dan bibi pemilik rumah, ada dua laki-laki berpenampilan perlente di ruang tamu. Aku hanya mematung di depan kamar. Dua laki-laki itu mengamatiku dari ujung kaki sampai kepala. Aku kikuk dibuatnya.

    ""Barang bagus,"" salah satu laki-laki itu berujar sambil menghisap cerutu.

    ""Kapan kami bisa membawanya?"" ucap yang satunya bertanya.

   ""Sekarang juga bisa. Asal ...."" Paman itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya mengangkat tangannya, menggesekkan ibu jari dan jari telunjuk, berkali-kali. Aku semakin tidak mengerti.

    Setelah melemparkan amplop cokelat di atas meja, salah satu laki-laki itu menggelandang tanganku. Aku menepisnya.

    ""Turuti saja. Kau aman bersamanya,""

    ""Kenapa aku harus menurutinya? Aku mau pulang saat ini juga!"" pekikku lantang.

    ""Tanpa menunggu lebih lama, salah satu laki-laki itu kembali menggelandangku. Dan sampailah aku di tempat ini, Fit.""

      Aku menyeka sudut mataku sebelum bulir bening tersebut berhamburan. Di sini, di ruangan yang dua tahun belakangan menjadi tempatku serta pekerja yang lainnya merias, mematut diri sebelum menghambur memenuhi menghibur para tamu, kusampaikan keluh kesahku pada Fitri.

    ""Yang sabar ya, Win. Kamu sudah menang, Win. Menang melawan serentetan ujian. Jangan menyerah. Saat ini, posisi kita sama-sama sebagai kaburan dan terjebak di dunia prostitusi yang tengik ini.""

    Aku memeluk Fitri. Ia satu-satunya sahabat yang kumiliki beberapa bulan belakangan ini. Baru saja kuceritakan padanya seluruh perjalanan hidupku di Formosa. Tentang cinta yang tak pernah terungkap. Tentang ajakan tuan muda untuk menikah waktu itu, keluarga tercinta, sampai kasus pembunuhan nenek, semuanya.

     Pada sahabatku itu, tak lupa kuceritakan bagaimana rasanya dipaksa melayani para lelaki hidung belang. Aku bukan penulis. Tak mahir menceritakan apa yang kualami. Aku seperti berjalan seorang diri di hutan. Dan tanpa kusadari, langkahku sampai pada kubangan lumpur hidup. Semakin aku berontak, lumpur itu kian ganas menyedotku. Menenggelamkan sebagian tubuhku. Maka dari itu, aku putuskan untuk diam. Diam sambil menunggu waktu dimana seseorang menyelamatkanku.

    Berkali-kali kucoba untuk melarikan diri. Namun urung kulakukan. Pemilik tempat hiburan malam ini adalah orang keji. Dari percakapan yang tak sengaja kudengar tempo hari, membuat nyaliku menciut.

   “Hitam ya, hitam. Putih ya, putih. Semua begitu jelas. Di duniaku tidak ada istilah abu-abu. Berani melawan …? DORRR!!!”

    “Win, ada tamu untukmu."" Seseorang berteriak memanggilku.

    “Aku kerja dulu, Fit. Terima kasih sudah bersedia mendengarkan seluruh kisahku.”

    Fitri mengangguk, dalam.

    Aku segera bangkit. Setelah mematut diri sejenak, aku melangkah lesu menuju ruang di mana biasa terjadi interaksi antara penghibur dan pelanggannya. Cahaya temaram memenuhi kamar berukuran 2x3 meter. Seorang laki-laki terduduk di sofa. Menunduk memelototi layar HP. Ia seolah tidak peduli dengan kehadiranku.

      Setelah aku menyapanya, laki-laki itu mengangkat wajahnya. Mataku mengerjab berkali-kali. Seolah tak percaya dengan apa yang kulihat.

     “Huang Hau Yun,” lirihku sambil membekap mulut sendiri. Sama sepertiku, laki-laki itu nampak terkejut. Aku yang merasa kikuk, tak sadar menarik-narik kebawah—rok pendek yang kukenakan, karena selama ini belum pernah berpenampilan seksi di depannya. Aku tidak percaya, orang yang selama ini paling kurindukan, hadir di depanku. Aku menghela napas berat.

     Kamu harus tahu bahwa hidup ini merupakan serentetan kejadian yang serba tak terduga, Teman.  Kuberanikan diri mendekat ke arahnya. Menganggukkan kepala. Mataku tak berani menatap pemilik rahang tegas itu. Beberapa saat kemudian, setelah berbasi-basi sejenak, ia menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan aku, tak satupun ada hal yang kututupi. Dari dulu, kami seperti itu.

     ""Bagaimana pendidikanmu? Apakah kamu masih berniat mempersuntingku?"" ujarku menggoda mencoba mencairkan suasana.

    Tuan muda terdiam. Wajahnya pias. Sejenak ia menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ia menarikku dalam dekapannya. Tentu saja aku tidak berontak.

    ""Selama ini, aku terus mencari keberadaanmu, Win. Aku merasa, hal buruk telah menimpamu. Dan itu salahku. Maukah kamu memaafkanku?” ucapnya panjang lebar.

     “Apa kamu tidak ingin pulang?"" lanjutnya.

     ""Pulang .... Aku ….” kuulangi pertanyaannya. Aku membeku. Bukan tidak ingin, melainkan belum punya kesempatan saja keluar dari tempat jahanam ini. Tentu saja aku ingin berkumpul kembali dengan keluarga. Tetapi, aku tidak boleh egois. Di tempat nan jauh di sana, ada beberapa perut yang harus kuberi makan. Tahu apalah orang lain tentang halal atau haram uang yang kudapatkan? Yang jelas, aku tidak mau keluargaku sengsara. Apalagi, bapak praktis tidak lagi bekerja. Sementara ibu, dengan keahlian ala wanita kampung yang tidak mengenyam bangku pendidikan, hanya bisa menjadi buruh cuci baju milik tetangga. Sungguh. Biarlah aku yang menggantikan orangtuaku menjadi tulang punggung keluarga. Aku tidak mau pulang. Paling tidak, sampai keempat adikku lulus sekolah.

     ""Ini semua bukan salahmu. Ini takdirku. Inilah jalan hidup kita. Awalnya, aku tidak berhenti merutuki nasib ini. Namun semakin kutentang, hanya rasa sakit yang kudapati. Jika hidup ini adalah sebuah perjalanan, aku percaya suatu saat langkahku akan sampai pada tempat dan waktu yang menghadirkan kebahagiaan. Aku memilih berdamai dengan keadaan."" Air mataku berjatuhan. Pelukan itu dilepasnya pelan.

                                                     ***
    Tak ada kesepakatan antara aku dengan Huang Hau Yun waktu itu. Seminggu telah berlalu. Ia seolah lenyap. Padahal, benih-benih cinta kembali bersemi di hatiku. Entah dengan dirinya?

    “Wiiin!” Fitri menjerit tak biasa malam itu. “POLISI. POLISI DIMANA-MANA.”

    “Apa maksudmu?”

    Fitri belum sempat menjawab pertanyaanku. Suara ledakan pistol serta gaduh yang terdengar di luar sana, membuatku mengerti bahwa tempat ini digerebek polisi. Aku dan Fitri berpelukan. Semua yang berada di tempat ini, diperintah untuk berkumpul di hall. Terbersit pikiran, melarikan diri. Melompat lewat jendela yang terdapat di ruang rias ini. Tiba-tiba pintu ruangan ini didobrak. Aku menoleh cepat. Seorang aparat polisi berdiri gagah. Seragam serta aktribut lengkap. Mengacungkan pistolnya ke arah kami.
     “Huang Hau Yun,” lirih aku menyebut polisi itu.

 
                                                 SELESAI


Adjudicator: justto lasoo
EYD, kurang teliti, masih ada beberapa kesalahan tulis. Ide cerita bagus dan orisinil. Alur dan penyampaian mengalir dan bagus. Isi cerita tersampaikan pada pembaca. Ending kurang menggigit. Pesan dalam cerita, pesan yang disampaikan terkesan kurang baik bagi pembaca/BMI, karena dalam cerita ini menggambarkan seorang yang melakukan hal tidak baik demi mencari uang.


青少年評審 感言

曾郁晴:我覺得這篇很棒,跟夢寐一樣,但評選的角度不同,就可能被放掉。

呂曉倩:這篇就很八點檔,不過很有戲劇張力。

林采霓:其實我也很喜歡這篇,故事很好看。

曾郁晴:我不喜歡八點檔,但會被他帶著跑,想知道故事後來怎麼樣了。

朱家瑜:就是灑狗血,可是我被它說服了。

WIN〉決選評審評語

周月英:這篇我要幫他拉票,這我讀來非常驚艷,整篇的文章結構有經過編排,不是平鋪直敘地,也觸及到逃跑外勞這個議題,他沒有給我們一個完美的答案,反而落入更慘的情境裡,但節尾是讓我們驚奇的。就閱讀層面來說,讓我感到很驚喜。

朱天心:其實我覺得他前面寫得很抓眼球,但也許他們在文章最後要裝一個光明的尾巴,這個結尾是比較不能說服我的。

蘇碩斌:故事性很強,但是作者炫很多知識性的東西,會讓人懷疑這個角色的身分背景真的會有這些知識嗎?這個故事裡作者沒有給我們一個穩定的人物設定,他把自己的知識和角色跳進來了,破壞了故事主角敘事人格的穩定。

曾文珍:後面結局我覺得是好的,中間少了鋪陳,是個蠻大的缺憾。