Asap Hitam Di Suriah

2014-03-26 / Sri Yanti / Asap Hitam Di Suriah / Bahasa Indonesia / Tidak ada

Asap Hitam di Suriah

Entah apa yang aku pikirkan sebelum memutuskan untuk menjadi BMI di Timur Tengah. Bekerja, mendapatkan gaji besar, proses gampang, dan tanpa persyaratan yang ribet tentunya. Sebenarnya, tujuan awalku adalah di Timur Tengah, tapi tak pernah terbayang jika akhirnya aku ditempatkan di sini, negara Suriah.

Namaku Sartini, tapi majikan biasa memanggilku dengan nama 'Syen'. Aku berasal dari Subang, Jawa Barat. Aku seorang ibu dari satu putra dan suamiku hanyalah seorang petani biasa, seperti halnya diriku sebelum menjadi BMI.

Di awal kedatanganku, tahun 2011 yang lalu, situasi negara ini masih baik-baik saja, tapi menginjak bulan ke tiga semua berubah, konflik pecah, pertempuran mulai terjadi di mana-mana. Konflik antara Tentara Pembebasan Suriah dengan Pasukan Pemerintah (pendukung Presiden Bashar al-Assad) telah menjadikan negara ini begitu mencekam. Rakyat Suriah dilanda kecemasan dan ketakutan yang teramat sangat. Takut pada hujan mesiu dan bom yang bersahutan. Setiap saat kematian seoalah mengancam, menjemput siapapun tanpa peringatan.

Dua kubu saling serang, mereka menembaki siapa pun tanpa memandang usia, tua, muda, anak-anak, wanita, ataupun pria. Dan, aku serupa ayam dalam kandang, terkungkung dalam ketidakberdayaan. Bertahan, walau dengan nasib yang tak pasti.

Suara dentuman bom di sana-sini seperti nyanyian pilu yang menyayat hati, nyanyian ancaman atau bahkan panggilan kematian. Suara-suara yang memecahkan keheningan, lalu diikuti kepulan asap membumbung tinggi ke angkasa seolah menjadi simbol kepuasan lawan akan sebuah keberhasilan. Asap yang mencerminkan kecongkakan dengan mengorbankan hilangnya ratusan bahkan ribuan nyawa. Sedang bagi jiwa-jiwa pemberani, suara ledakan dan letupan peluru bukanlah gertakan, tapi menjadi kobaran semangat juang.

Tapi tidak bagiku, bagi kami, para BMI. Tujuan kami ke sini adalah untuk bekerja, membawa mimpi untuk masa depan keluarga, bukan menghantar nyawa. Kami tak ingin mati sia-sia

***

Damaskus, ibu kota Surih sudah menjadi bagian kehidupanku untuk setahun terakhir ini. Dulu aku sering menyusuri jalanan kota, berbelanja dengan Madam (panggilan untuk Nyonya), atau sekedar jalan-jalan bersama dengan anaknya. Banyak toko yang berderet di sepanjang jalan di sekitar rumah majikanku, karena memang lokasi daerah kami begitu strategis dan berada di tengah kota. Beberapa kali madam mengajakku mengelilingi kota tua yang sangat eksotik ini. Menikmati keindahan Jalan Lurus yang penuh dengan history, Jalan Bab Sharqi yang dipenuhi oleh toko-toko kecil, dan tak ketinggalan di Souq Medhat Pasha yang menjadi pasar utama di Damaskus.

Madam hanyalah seorang ibu rumah tangga dan suaminya seorang pekerja swasta, aku sendiri kurang faham. Mereka sangat baik padaku.

***

Sudah sepuluh hari ini situasi di beberapa distrik begitu menakutkan, banyak orang-orang yang siaga dengan senjata mereka. Orang-orang itu, lelaki, selalu menatap dengan sorot mata penuh kecurigaan. Jangankan keluar, di dalam rumah saja sering kali kami merasakan ketakutan yang luar biasa.

"Syen, cepat sembunyi! Allahu Akbar ...Allahu Akbar ...Allahu Akbar." Madam mengumandangkan takbir sambil berlari menggendong Thariq, anaknya yang nomer dua.

Aku sendiri mendekap erat Zahwa, putri pertamanya. Kami berdua bersembunyi di bawah tangga di ruang tengah. Zahwa memelukku erat, sangat erat. Gadis berusia 7 tahun itu sama takutnya dengan diriku. Tak jauh dari rumah kami terdengar baku tembak yang sangat panjang, entah berapa puluh orang yang terlibat, mungkin dua puluh, tiga puluh, atau entah.

"Syeeeen ...." Zahwa semakin ketakutan tatkala beberapa peluru menerjang masuk ke dalam rumah kami. Dekapannya makin erat hingga membuatku hampir tak dapat bernafas.

"Jangan takut! Aku bersamamu, aku akan melindungimu, jangan takut!" Aku mencoba menenangkan Zahwa, meski keadaanku sendiri tak jauh beda dengan dia. Kami sama-sama menangis, sama-sama gemetar, sama-sama mendekap, sangat erat.

"Syen, apakah kita akan mati? tanya Zahwa tanpa sedikitpun melepaskan dekapannya.

"Tentu tidak, Sayang."

"Tapi, Syen, kenapa mereka berdarah setelah tertembak? Mama bilang mereka mati, mereka pergi ke Syurga. Apakah itu benar, Syen? Kita akan ke Surga?"

Ah, mengapa anak ini bertanya demikian. Kematian, Syurga? Tidak! Aku harus tetap hidup, aku masih ingin melihat anak semata wayangku, merawat, dan juga membesarkannya.

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...." Entah berapa ratus kali Takbir telah aku kumandangkan dan Istigfar kulantunkan. Aku benar-benar ketakutan. Di bawah tangga itu kami berdua tak berani berkutik, tetap di tempat dan menunggu hingga situasi benar-benar aman.

Keadaan di luar terdengar sangat kacau, suara letupan peluru bersahut-sahutan, dan ada beberapa ledakan terdengar begitu jelas, suara alarm mobil pun tak kalah riuhnya dengan kekacauan yang tengah terjadi. Suara teriakan dan hentakan sepatu yang berat juga terdengar dari dalam rumah. Aku sangat panik, sangat ngeri.

Setelah beberapa jam dan situasi sedikit tenang, aku beranikan diri keluar dari tempat persembunyian. Aku mengintip jalanan lewat tirai jendela yang sedikit kusingkapkan. Kulihat beberapa orang terkapar di jalanan dengan beberapa luka di tubuhnya, dan darah merah membasahi baju mereka. Beberapa yang lain tetap waspada dan yang lainnya mulai mengangkati tubuh-tubuh bersimbah darah itu. Sungguh pemandangan yang sangat mengiris hati, nyawa seolah tiada harganya di tempat ini. Jalanan menjadi saksi dicabutnya beberapa nyawa, aspal memerah, darah.

Aku kembali ke tengah ruangan, kudapati beberapa perabot pecah dan berserakan di lantai. Kudapati beberapa selongsongan peluru di antara pecahan kaca-kaca itu.

Andai gelas-gelas ini adalah aku, sudah pasti keluargaku sangat sedih bahkan merasa begitu kehilangan diriku. Anakku, suamiku, keluarga, dan teman-temanku. Tak terasa air mata kembali meleleh di pipiku. "Aku ingin pulang." ratapku pilu.

"Syen, aku mau ke kamar kecil." Suara lirih Zahwa segera mengalihkan pikiranku, secepatnya aku berlari dan menggedong gadis kecil itu menuju kamar mandi.

Setelah situasi kuyakini benar-benar aman, cepat-cepat aku membereskan serpihan kaca dan beling di ruang tengah. Madam yang sedari tadi sembunyi di kamarku pun sudah berani keluar. Thariq tidak ada bersamanya, ternyata dia tadi menangis sampai tertidur di kamarku.

"Sudah aman, Syen?" tanya Madam dari balik pintu.

"Sudah, Madam."

"Kalian tidak apa-apa kan?"

"Alhamdulillah, tidak, Madam." Dan malam ini kami memutuskan untuk tidur ramai-ramai di kamarku.

Sebenarnya sudah beberapa kali ku utarakan niatku untuk pulang ke Indonesia, dan majikan pun mengijinkan tapi dia tak mau mengantarku, dia meminta KBRI untuk menjemputku. Awalnya KBRI memintaku bersabar, tapi akhir-akhir ini mereka menyuruhku menunggu hingga situasi agak kondusif. Apalagi beberapa waktu yang lalu ada seorang pegawai KBRI yang tewas tertembak di salah satu bagian distrik di kota ini, jelas keadaan ini semakin tidak memungkinkan bagi KBRI untuk melakukan proses evakuasi.

Aku tak mungkin lagi bertahan dalam keadaan ini, keinginanku untuk segera pulang makin menjadi tatkala kudengar kabar bahwa Sari, temanku, ikut menjadi korban pengeboman. Sari meninggal di dalam rumah majikannya, di kota Homs, salah satu kota yang menjadi pusat pertempuran di Suriah. Bom jatuh di rumah itu dan menewaskan seluruh penghuninya, temasuk Sari. Sebelumnya Sari sering sms aku tentang keinginannya untuk cepat kembali ke kampung halaman. Dia benar-benar tidak kuat berada di sini. Semenjak itu, siang malam tangisku pecah, aku rindu keluargaku, rindu kampungku, rindu negeriku. Aku merindukan perdamainan di bumi ini.

***

Damaskus kembali bergejolak. Hari ini banyak terdengar suara tembakan dan dentuman bom, bahkan pesawat berseliweran di atas atap rumah kami, lalu terdengar beberapa kali suara ledakan di luar sana. Sepertinya pertempuran terjadi di sekitar Lapangan Sabaa Bahrat. Rumah kami tak terlalu jauh dari lapangan itu, persisnya pas di belakang jalan Bagdad, jalan utama menuju Lapangan Sabaa Bahrat. Kami kembali bersembunyi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kamarku yang berada di lantai satu dan letaknya paling ujung dinilai lebih aman, untuk itu dijadikan sebagai tempat persembunyian kami. Dapur ada di sebelah barat kamarku, dan sebelah timur adalah kamar mandi sekaligus toilet bagi para tamu. Tak salah jika majikan lebih memilih mengamankan diri di sini.

"Besok atau lusa kami akan mengungsi, Syen." Suara Madam terdengar berat.

"Bagaimana dengan saya, Madam?" Pikiranku jadi tak karuan, aku sendiri pun panik, bukan hanya mereka.

"Tadi saya sudah telfon ke kedutaan, mungkin besok mereka akan datang menjemputmu, mungkin ...."

"Kalau tidak?"

"Kau ikut bersama kami. Kami tak mungkin mengantarmu, Syen ...atau meninggalkanmu di sini, tak mungkin!"

Setelah mengemasi semua barang-barang, aku segera menghubungi kantor KBRI di Damaskus. Jawaban kurang memuaskan kudapatkan, "Mbak yang sabar ya, kalau situasi memungkinkan secepatnya utusan kami akan menjemput anda."

Aku semakin was-was, pikiranku saat itu hanya satu, 'pulang'.

Dua hari aku telah menunggu tapi tak ada tanda-tanda kalau utusan dari KBRI akan datang. Dengan hati yang berat terpaksa aku ikut bersama majikan. Tujuan kami adalah ke Lebanon. Negara tetangga Suriah ini memang menjadi jujukan ribuan pengungsi seperti kami. Kata Madam, perjalanan dari Damascus ke Beirut, ibukota Lebanon, ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 150 km. Seharusnya waktu dua jam cukup bagi kami untuk mencapai Negara itu, tapi karena konflik ini, ada beberapa pos penjagaan yang harus kami lewati.

Aku tak tau jelas mengapa majikanku memilih mengungsi sebelum matahari terbit. Saat itu aku baru selesai menunaikan sholat Tahajud dan majikan memintaku segera menggendong Zahwa yang masih tidur. Semua bekal dan baju sengaja kami masukkan sejak kemarin. Suasana kota Damaskus malam itu sangat lengang, dalam kegelapan malam tak banyak yang dapat aku tangkap selain beberapa bangunan yang hancur.

Aku sangat takut, bukankah dalam kegelapan ini justru malah membahayakan keselamatan kami? Tahlil,Tasbih, Tahmid, dan Taqbir tak henti-hentinya kuucapkan. Majikan laki-laki sangat fokus di belakang kemudi, madam berada di sampingnya sambil memangku Thariq, aku berada di belakang bersama Zahwa.

Pagi mulai datang dan matahari muncul dari ufuk timur menyambut awal hari. Dari kejauhan aku melihat ada kamp juga beberapa tank. Mataku seolah terhipnotis oleh pemandangan yang biasa kulihat di TV itu. Di atas gurun yang membentang itu hanya ada beberapa tenda, mobil-mobil perang, dan pos penjagaan.

Mataku masih fokus ke arah itu sampai sayup-sayup kudengar suara desingan yang menuju ke arah kami, dan ...'duuuueeeeeeer ....' Aku tak tau apa yang barusan kualami, tapi aku merasakan tubuhku begitu ringan dan terbang ke atas bersama kepulan asap hitam. Aku makin terbang tinggi dan sangat tinggi. Kutinggalkan impianku bersamaan dengan bom yang meledakkan mobil majikanku.