Arumi Olive

【Hadiah Favorit】

2015/4/3 / Arumi Olive / Sebelum Pagi / Indonesia 印尼 / tidak ada

Sebelum Pagi
Oleh Arumi Olive


""Ama, aku rela tidak tidur malam ini asalkan masih bisa melihatmu pada pagi-pagi yang akan datang. Ama, berjanjilah padaku?""

Ratih menggenggam erat jemari Amanya yang hangat. Kepalanya bersandar di bahu ranjang menatap sesosok perempuan yang terbaring di hadapannya. Ada cairan bening yang tertahan di kelopak mata Ratih, perlahan membasahi pipinya. Sebisa mungkin Ratih meredam isak tangisnya agar tak mengganggu pasien yang lain.

Sementara perempuan yang terbaring di ranjang tampak begitu lelah dengan alat bantu pernafasan yang terus memompa oksigen ke dalam paru-parunya. Selang dan kabel-kabel bertebaran di atas selimutnya. Alat monitor mengeluarkan bunyi yang nyaring ketika angka di layarnya berwarna merah. Lalu suster akan datang menghampiri sembari menepuk-nepuk lengannya, ""Ama... Jangan lupa bernafas, Ama!""

Dada Ratih terasa semakin sesak jika mengingat kata-kata dokter sore tadi, ""Kami tidak bisa menjamin berapa lama Ama mampu bertahan. Kalau tidak malam ini mungkin besok pagi.""

Ucapan dokter seolah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Meski begitu, Ratih tidak kehilangan harapan bahwa Amanya mampu melewati masa kritis. Dalam diam  Ratih tak henti berdoa. Tatapannya tak sedetik pun beralih dari wajah Ama dan layar monitor. Jantungnya bagai pacuan kuda yang siap dihentak kapan saja manakala angka yang tertera di sana berubah tak beraturan. Baris pertama pada layar menunjukkan detak jantung Ama, baris kedua menunjukkan tekanan darah dan baris ketiga menunjukkan jumlah oksigen yang masuk ke paru-parunya.

Jarum jam dinding di samping pintu masuk sepertinya diberi pemberat. Hingga sedetik berlalu terasa sangat lama bagi Ratih. Pukul 02.00 dini hari, kantuk yang biasa menggelayuti Ratih sama sekali tak mampir. Mungkin si kantuk sedang berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong yang tadinya hiruk-pikuk kini perlahan hening. Sebagian pasien yang masih terjaga hanya mampu membolak-balikkan badannya di atas tempat tidur. Suster terlihat mondar-mandir mengecek selang infus pasien-pasiennya. Sesekali terdengar suara orang mengaduh kesakitan. Ingatan-ingatan dalam kepala Ratih sedang membentuk serangkaian pertunjukkan. Bising dalam kepala membuat matanya terpejam erat.

Sirene ambulance berhenti di depan pintu rumah sakit. Empat orang berlarian mendorong sebuah ranjang dengan seorang perempuan yang terbaring lemah di atasnya. Lelaki berseragam putih menghadang mereka, dengan cekatan ia memasang alat pengukur tensi darah, meletakkan termometer di telinga, dan mencatat jumlah oksigen yang dihirup.

Banyak orang yang lalu-lalang tapi di hadapan Ratih yang tampak hanyalah seorang perempuan yang dikerubuti tangan-tangan liar. Tangan-tangan itu mulai mengambil darah dari pergelangan tangan, jika tidak ada darah yang keluar, tangan-tangan itu kembali menusukkan jarum di bagian lain. Ratih sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu sejak sebelas bulan yang lalu. Berulangkali hingga ia lupa bagaimana rasanya nyeri.

""Kamu sudah menghubungi keluarganya?"" tanya dokter.

""Mereka sedang dalam perjalanan ke sini,"" jawab Ratih yang berdiri diujung memegangi telapak kaki Ama.

""Kalau bisa suruh cepat sedikit, kondisinya sudah tidak memungkinkan.""

Ratih hanya diam tak bergeming, raut mukanya sama sekali tidak menunjukkan kepanikan. Sebentar lagi Ama pasti akan kembali normal, pikirnya. Sejak paru-paru Ama mengalami infeksi, Ratih biasa dikejutkan Ama yang tiba-tiba sulit untuk bernafas. Kadang bibir Ama hampir membiru karena darah yang tersebar kekurangan oksigen.

Tapi kali ini lain dari biasanya, sudah hampir 30 menit kondisi Ama belum stabil. Kadar oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya hanya 60-75 %. Foto rontgen di layar monitor itu adalah paru-paru Ama yang sebagian besar telah berwarna putih, hanya sedikit celah hitam yang tampak. Nafas Ratih mendadak tercekat di tenggorokan ketika ia tahu bahwa celah hitam itu adalah udara yang masuk ke dalam paru-paru Ama.

Ratih menyodorkan selembar kartu berwarna merah muda pada dokter. Kartu itu berisi wasiat dari Ama yang apabila suatu saat ia sakit, Ama tidak ingin menjalani operasi besar.

""Jika itu yang diminta Ama maka kami hanya bisa melakukan semampu yang kami sanggup,"" ucap dokter sembari menepuk bahu Tuan Han, putra Ama.

***

Ratih terperanjat dari kursi tempatnya duduk, rupanya ia tidur-tidur ayam untuk memulihkan tenaga. Tiba-tiba bibir Ratih tersenyum sinis, seolah-olah dia telah memenangkan sesuatu. Ratih bersyukur karena tidak mempercayai ucapan dokter sore tadi yang mengatakan bahwa Amanya tidak mampu bertahan lama. Pukul 05.00 pagi dilihatnya Ama mulai bernafas tanpa tersengal-sengal meskipun belum berada dalam kondisi aman. Dengan tenang Ratih beranjak ke kamar mandi, ia membasuh wajahnya. Di depan cermin ia melihat seseorang tengah tersenyum kepadanya.

""Kamu tidak lelah?"" tanya suster.

Ratih menggelengkan kepala, ""Aku hanya menemani satu orang, sementara Suster harus merawat begitu banyak pasien.""

Keluar-masuk dan tinggal di rumah sakit membuat Ratih belajar tentang banyak hal. Bahwa ternyata pikiran yang selalu positif mampu membantu membentuk kekebalan tubuh. Ia merasakan sendiri perbedaan itu. Walau waktu istirahatnya dibawah normal dan pola makannya yang kadang tidak teratur jika diimbangi dengan pikiran tenang mampu menahannya dari kelelahan. Namun justru berbeda terbalik meskipun waktu istirahatnya cukup dan pola makan sehat tapi ketika pikirannya kacau membuat Ratih mudah kelelahan dan tidak bersemangat.

Sebuah rahasia yang Ratih pelajari saat kesembuhan pasien tidak hanya tergantung dari tangan dokter tapi dari keyakinan pasien itu sendiri untuk sembuh. Maka rajin-rajinlah Ratih membisikkan sepatah dua patah kata ke telinga Ama.

""Ama, musim semi akan segera datang. Cepatlah sembuh!"" bisik Ratih. 'Cepatlah sembuh, sebelum bunga-bunga itu layu karena terlalu lama menunggumu', lanjut Ratih dalam hatinya.

Tangan Ratih mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Ia membuka bingkisan itu dengan sangat hati-hati. Buku kecil dengan sampul warna hijau. Ratih mulai membukanya lembar demi lembar, hatinya turut gemetar. Ia berdiri lalu memeluk erat Ama, dikecupnya kening perempuan itu.

Beberapa bulan lalu Ratih mengikuti perlombaan menulis cerpen yang diadakan oleh Dinas Tenaga Kerja Asing pemerintah Taipei. Meskipun ia bukan juara pertamanya tapi kisahnya menjadi bagian dari buku itu. Seandainya Ama masih sehat mungkin belaian lembut tangan Ama akan mendarat di kepalanya. Tapi kini Ratih tak punya banyak waktu untuk berandai-andai. Itu hanya akan membuat air matanya berlinangan.

Sebelas bulan bukanlah waktu yang sebentar untuk terbaring 24 jam di atas tempat tidur. Sejak sebelas bulan itu pula Ratih tak lagi mengenal musim. Hari-harinya dihabiskan untuk menemani Ama yang tidak sadarkan diri. Saraf otak Ama mengalami kerusakan sejak kali pertama ia masuk rumah sakit karena pneuomonia atau biasa dikenal dengan radang paru-paru. Paru-paru Ama mengalami infeksi saat ia tersedak makanan.

Ratih bisa saja meminta libur jika ia mau, tapi ia tidak tega meninggalkan Ama terlalu lama. Pernah suatu ketika Tuan Han menyewa perawat dari China ketika Ama berada di rumah sakit. Namun pikiran Ratih justru tidak tenang saat sampai di rumah ia ingin segera kembali ke rumah sakit menemani Ama. Rasa sayang Ratih itu bermula ketika awal pertamanya berjumpa dengan Ama. Ratih seperti menatap mata ibu di wajah Ama. Ratih memperkenalkan diri sebagai sebagai seorang anak yang ingin menemani hari-hari Ama. Saat itu Ama masih mampu tersenyum ketika berbicara denganya. Ratih merindukan senyum itu dari wajah yang kini terbaring lelah.

Tak terasa hampir seminggu sudah Ama menginap di kamar itu. Ada yang berbeda dari malam-malam biasanya, Ratih merasakan kedamaian dalam hatinya. Melihat kondisi Ama yang tidak juga stabil membuat Ratih perlahan-lahan membuka cara berpikirnya.

""Tiiit... tiit... tiit."" Alarm Ama melengking nyaring. Ratih menekan tombol darurat untuk memanggil dokter.

Serombongan dokter dan suster berlarian menuju ruangan sementara Ratih menunggu di luar pintu. Kakinya mendadak seperti kehilangan tulang, ia tak mampu berdiri dengan tegak. Namun ketegangan itu tidak berlangsung lama. Ratih bisa kembali duduk dengan tenang di samping Ama.

Di tengah keheningan malam Ratih membisikkan kalimat pada Ama.

""Ama, jika memang tubuhmu sudah letih maka izinkan aku untuk mengantarmu pulang dengan damai.""

***

Ratih terbangun dari tidur ketika ia merasakan ada seseorang membelai kepalanya. Hari pemakaman telah usai, kini Ratih tak lagi dikagetkan dengan bunyi alarm yang melengking nyaring. Tapi jantungnya tetap berdetak kencang ketika sekelebat senyum itu hadir dalam mimpinya.


'Amaku tersayang, jika aku bisa mengirimkan surat ini ke surga maka aku hanya akan mengirimkan selembar kertas kosong untukmu. Tak ada yang perlu dituliskan di sana. Kisahmu telah tinggal dalam ingatan kami, rasa sakitmu telah kami rasakan juga. Menyisakan luka yang harus kami pelihara entah sampai kapan. Tapi musim semi akan tetap berganti.'

Ratih menghanyutkan gulungan kertas itu di tepi pantai. Tepat tak jauh dari tempatnya berdiri, bunga sakura menyembulkan kuncupnya.



In Memory of Ama.
Januari 2015.


Adjudicator: justto lasoo EYD, rapi. Ide cerita menarik. Alur dan penyampaian terkontrol. Ending terkesan biasa. Isi cerita, sebenarnya konflik dalam cerita ini datar, tapi dengan alur dan tata bahasa yang lugas, cerita ini mnejadi hidup. Pesan dalam cerita tersampaikan dengan jelas kepada pembaca.


〈早晨之前〉評審評語

曾文珍:這篇的場景其實很單調,像是她自己和死神拔河的遊戲,其實她寫得很節制也沒有過於煽情,從這裡可以看到移工照顧我們老人家的真情真意,她沒有寫太多自己的背景,但情感是充沛的。

蘇碩斌:為什麼她會對阿嬤有這麼深的感情,這是她比較沒有鋪陳到的。

朱天心:其實我也一直很好奇,醫院臨床那些移工對照護對象的情感悲憫,我本來也有像蘇老師的疑問,但其實她用第一句話就幫我們解決疑問了。

李美賢:很平凡的文字,但是會感覺到有很多情感。