LELAKI PEMBERANI DI JIANGZICUI

【Hadiah Favorit】

2015/4/16 / Erin Cipta / LELAKI PEMBERANI DI JIANGZICUI / Indonesia 印尼 / Eva Susanti

Kulongok jendela melihat langit untuk memeriksa cuaca. Gerumbul awan kelabu berarak ditiup angin pelan. Cuaca mungkin tidak begitu bagus hari ini untuk bepergian bersama pasienku.

Kakek Wang, pasien yang kurawat, menderita kanker darah yang menyebabkan tubuhnya cepat lelah dan lemah. Meski begitu, Kakek tak pernah kehilangan semangat dan kegembiraan menjalani hari-harinya. Meski geraknya pelan dan terbatas, Kakek tak pernah dengan sengaja bermanja minta kubantu bila ia mampu melakukannya sendiri. Mengambil air minum, atau mencuci tangan misalnya. Namun aku sebagai perawatnya tentu akan berusaha membuat Kakek nyaman dan mudah melakukan semuanya.

""Hari ini mungkin akan hujan, Kek. Apakah Kakek tetap akan pergi?"" tanyaku.

""Tentu saja. Aku perlu ke kantor menemui tamu. Siapkan semua keperluan, Lili,"" pinta Kakek.

Tidak setiap hari Kakek ke kantor perusahaannya. Karena kebanyakan urusan pekerjaan telah ditangani oleh anak lelakinya, yaitu Tuan majikanku. Namun sesekali Kakek perlu datang menemui tamu dan mengambil keputusan.

Dengan sigap kusiapkan segala benda yang perlu dibawa bepergian. Kumasukan sebuah tas punggung yang nyaman kusandang. Kursi roda kubiarkan dalam keadaan terlipat ringkas, karena Kakek pasti tidak hendak menggunakannya segera.

Di kabinet dekat pintu keluar, Kakek membuka laci, mengambil bungkusan, dan menyodorkannya padaku. Kumasukan bungkusan itu ke kantong di sandaran kursi roda. Sementara Kakek memilih payung panjang yang hendak dipakainya untuk tongkat, aku segera membuka pintu rumah lebar-lebar agar Kakek mudah melintasinya. Setelah itu, pintu kututup kembali dan kunci kukantongi.

Keluar dari gang, kami segera bertemu dengan lalu lalang orang yang berjalan cepat bahkan berlari menuju dan keluar dari stasiun kereta metro Banqiao. Nanti kami juga akan menggunakan transportasi yang nyaman dan tepat waktu itu. Sebenarnya bisa saja supir kantor menjemput, namun kami tidak sedang terburu-buru. Maka alih-alih bergabung dengan arus manusia yang masuk stasiun, kami malah berbelok menuju sebuah taman di sampingnya.

Ini adalah kebiasaan Kakek hampir tiap hari. Pada sebuah bangku kayu di bawah pohon flamboyan, Kakek mengetuk-ngetuk sandarannya dengan ujung payung. Sedangkan aku segera mengeluarkan bungkusan yang tadi kulesakkan di kantong kursi roda.

Setelah sesaat menunggu, dari balik gerumbul perdu muncul dua ekor anjing hitam. Mereka menyalak gembira mendekati kami. Kakek tersenyum lebar.

""Hai, Kawan. Apa kabar? Cuaca kurang bagus hari ini. Apa kalian gembira?""

Kakek berucap riang sambil mengelus leher anjing-anjing itu. Aku segera membuka bungkusan yang kami bawa tadi. Isinya adalah makanan anjing. Kuletakan makanan itu di piring kertas dan kusodorkan pada dua anjing yang langsung menyambutnya dengan sangat gembira.

""Kakek suka sekali dengan anjing. Mengapa tidak memelihara di rumah?"" Tanyaku sambil membereskan sisa makanan anjing di dalam kantong.

""Sebenarnya ingin, tapi tidak bisa. Istriku alergi bulu anjing. Setelah istriku meninggal, ternyata tetap tidak bisa,"" jawab Kakek.

""Mengapa?""

""Tenagaku tidak kuat lagi. Merawat anjing perlu kesabaran dan tenaga ekstra. Dengan begini saja aku masih tetap bisa mencintai anjing yang tak punya rumah,""

Aku tersenyum. Kakek benar, dengan tidak memelihara anjing sendiri, Kakek malah bisa membantu anjing-anjing telantar yang tak punya rumah. Mereka tidak punya nama, dan Kakek selalu memanggilnya dengan 'Kawan'.

Anjing telantar ini sering pula kulihat berkeliaran di pasar. Mereka akan mencari makan dari sisa-sisa sampah. Ketika di pasar, anjing ini selalu menghindar bersentuhan dengan orang. Mereka anjing bebas dan liar. Namun beda sekali dengan sekarang. Kulihat mereka begitu jinak dan akrab dengan Kakek.

Setelah menghabiskan makanannya, kedua 'kawan' berbulu ini mendekati Kakek yang duduk menunggu. Mereka mengendus dan mengusapkan sisi kepala ke kaki Kakek seolah berucap terima kasih.

""Pergilah. Aku juga mau pergi,"" ucap Kakek pada mereka sambil mengangkat payung.

Dua anjing itu menyalak lalu berlari menghilang di balik gerumbul perdu tempat mereka muncul tadi.

Pelan aku dan Kakek berjalan beriringan masuk stasiun Banqiao. Stasiun yang bersih dan jalur-jalur yang rapi membuat kami nyaman menggunakan kereta.

Setelah sekitar empat menit berlalu, kereta yang kami tunggu datang tepat waktu. Kereta aman dan nyaman ini akan membawa kami ke Taipei Main Station.

*******

Perusahaan Kakek adalah sebuah bisnis export spare part sepeda. Kakeklah yang merintis dari awal hingga menjadi besar seperti ini. Meski memiliki perusahaan besar, Kakek tetap hidup sederhana. Ia memiliki rumah besar dan villa, namun tetap memilih tinggal di rumah kecil tempatnya menghabiskan hidup dengan istrinya dulu. Kakek adalah pencinta kenangan.

Kesederhanaan Kakek tidak membuatnya menjadi hina. Di perusahaan ini semua orang akan menunduk hormat meski Kakek tidak menegakkan badan dengan gagah. Kakek ramah dan lembut dengan siapa saja. Dan itulah yang membuat setiap orang mencintainya.

Ah, benar perkiraanku. Cuaca memang tidak bagus hari ini. Tepat tengah hari, hujan laksana ditumpahkan dari langit. Turun deras sekali. Sebentar lagi jadwal Kakek makan, minum obat, dan tidur siang. Aku segera menyiapkan semuanya, termasuk sofa panjang untuk tidur Kakek di ruangan milik Tuan.

""Kita pulang kalau hujan reda, Lili,"" pinta Kakek di sela-sela makannya.

Aku mengangguk saja, karena mulutku juga sedang penuh makanan. Aku makan cepat-cepat karena harus mengurusi keperluan Kakek.

""Papa, biar nanti supir yang mengantar kalian pulang,"" Ucap Tuan yang tiba-tiba saja masuk ruangan.

""Tidak perlu. Kalau hujan sudah reda, naik kereta saja juga bisa. Saya sudah terbiasa,"" sergah Kakek sambil pelan-pelan bangkit.

Tuan hanya mengangkat bahu dan tersenyum pada kami. Memang tak ada yang perlu dikhawatirkan tentang Kakek. Kereta metro sangat nyaman dan aman bahkan untuk lansia dan bayi. Jadi nanti kami akan pulang sendiri.

**********

Hujan yang tadi telah reda kembali turun rintik-rintik ketika kami masuk stasiun besar ini. Kakek duduk di kursi roda dan kudorong pelan mengikuti jalur menuju bawah tanah. Arus penumpang mulai padat karena sudah mulai jam pulang kantor.

Kereta kami datang segera. Antrian tidak panjang, namun sampai di dalam kereta kami tak kebagian kursi. Ah, tak mengapa. Kakek sudah duduk di kursi roda, dan aku bisa berdiri saja.

Satu stasiun lewat, seorang penumpang bangkit dari kursi di seberang bangku prioritas dekat pintu. Ingin kududuki, namun seorang ibu tampak bergerak menuju kursi yang sama. Ibu berbaju setelan hitam putih itu tampak lelah. Jadi kupersilakan ia mengambil kursi itu.

”Silakan duduk,” ucapku sambil tesenyum.

”Terima kasih banyak. Maaf saya lelah sekali,” sahut sang ibu dengan senyum ramahnya.

Aku kembali ke belakang kursi roda Kakek dan berdiri tenang sambil mengamati orang-orang dalam kereta. Hampir semua penumpang sibuk dengan telepon selularnya. Orang-orang menunduk dalam diam menatap layar kecil di telapak tangannya. Hampir tak ada obrolan dan tegur sapa di kereta yang sibuk ini.

Aku agak mengantuk sebenarnya. Tapi posisiku yang berdiri tidak memungkinkanku untuk tidur. Maka dengan tangan kutelekan di pegangan kursi roda, mataku sayup-sayup meredup.

Tiba-tiba ...

”Aaaa ...!”

”Ya, Tuhan!”

”Awas menyingkir!”

Orang-orang berteriak panik di dalam gerbong kereta ini. Aku tergeragap melompat tersadar dari kantuk dan kebingungan melihat kekacauan yang terjadi.

Apakah terjadi gempa bumi?

Aku masih tertegun saat Kakek menggerakan kursi rodanya mundur dan mendorong tubuhku. Spontan kutarik kursi roda itu mengikuti gerakan mundurnya.

”Lili ... Lili ... Cepat berlindung!” Kakek menyeru panik.

Ya Tuhan. Aku baru sadar dengan apa yang terjadi ketika mataku tertumbuk pada sosok berlumuran darah terkapar di lantai kereta. Seorang lelaki muda di dekat kursi prioritas dan seorang ibu berpakaian setelan hitam putih di dekat pintu tampak meregang nyawa.

Ibu itu? Ibu yang tadi kupersilakan mengambil kursi yang hampir saja kududuki!

Ya Tuhan ... Ya Tuhan ...

Kulihat pemuda berbaju merah membabi buta mengayunkan pisau dan menusuki siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Orang-orang yang terkena amukannya berjatuhan. Yang masih bisa berlari segera menyingkir sambil melemparkan apa saja pada pemuda itu. Aku dan Kakek bergerombol dengan beberapa lansia di ujung gerbong, yang sialnya buntu! Gawat sekali.

Entah berapa orang yang bergelimpangan berdarah-darah di lantai kereta metro itu. Aku gemetar hebat. Maut serasa mengintaiku. Kurundukan badan merendah di belakang kursi roda. Ah, sebuah usaha sembunyi yang sia-sia. Tapi sungguh aku takut sekali. Tak terbayangkan akan mengalami tragedi ketika jauh dari tanah air dan keluarga sendiri.

Dan aku terkencing-kencing ketika pemuda gila itu mulai mendekati gerombolan kami di ujung gerbong. Orang-orang di sekitarku surut ketakutan. Seorang bapak berbaju kotak-kotak dengan setengah ragu mengangkat payung.

”Kumohon jangan sakiti kami,” ucapnya penuh nada putus asa.

Lalu Kakek serta merta berdiri gagah dari kursi roda dan mengacungkan payung panjang yang dipakainya sebagai tongkat. Ia menghardik pemuda gila itu dengan sangat galak.

”Jangan coba-coba mendekat! Tenaga kami jauh lebih besar. Senjata kami lebih panjang!” Kakek berseru dengan suara menggelegar.

Berkat gelegar suara Kakek, kami yang dari tadi bergerombol ragu dan gemetar tiba-tiba jadi berani. Kami berlomba-lomba menghardik dan membentaknya dengan galak. Aku yang gemetaran juga terpancing ikut membentak dalam bahasaku sendiri.

”Awas kalau mendekat, aku jotos, nanti!” teriakku.

Aku bahkan tak peduli meski pemuda gila itu pasti tak mengerti bahasa Indonesia.

Entah karena takut atau kelelahan, pemuda berkaos merah itu memang tidak mendekat pada kami lagi.

Kereta sampai di stasiun Jiangzicui tak lama kemudian. Begitu kereta berhenti dan pintu terbuka, orang-orang berhamburan keluar dengan sangat panik. Pemuda itu juga keluar dan melanjutkan amukannya di stasiun. Entah apa yang terjadi selanjutnya aku tak tahu. Yang terpikir olehku hanya menyingkir sejauh-jauhnya dari tragedi ini. Kudorong kursi roda dengan terburu-buru sampai Kakek menegurku untuk berhati-hati.

Korban-korban yang bergelimpangan segera ditolong. Tenaga medis datang sangat cepat. Kepanikan masih menyelimuti stasiun Jiangzicui, sementara hujan turun makin deras di luar. Aku gemetaran meraih telepon selular dan menekan nomor Tuan.

”Tuan ... Kami ada masalah di stasiun Jiangzicui. Mohon segeralah kemari. Kami ...,”

Aku tak sanggup melanjutkan bicara ketika sebuah tandu digotong sambil berlari melewatiku. Di atas tandu itu tergeletak seorang ibu berpakaian hitam putih dan berlumuran darah di dadanya. Ibu yang kuberi kursi di kereta tadi. Tiba-tiba aku membayangkan seandainya saja aku yang akhirnya duduk di kursi dekat pintu kereta.

Membayangkan itu kepalaku jadi pusing sekali. Sendi-sendi tulangku lemas, dan aku tak sanggup lagi berdiri. Gelap seketika ...

**********

Sejak tragedi itu, aku dan Kakek tidak pernah lagi naik kereta metro. Tuan juga tidak mengijinkan kami. Bila hendak bepergian jauh, Tuan menyuruhku untuk menelpon kantor. Lalu mobil dan seorang supir akan dikirim untuk mengantar kami.

Sebenarnya aku tidak berani lagi naik kereta metro meski tahu sekarang pasti sudah aman. Kakek juga bilang bahwa sekarang petugas keamanan diterjunkan untuk berjaga di dalam gerbong. Ah, aku terlalu takut dengan kereta metro gara-gara pemuda gila berkaos merah itu. Jangankan naik kereta, melewati stasiun dan melihat kereta melintas saja dadaku mendadak berdegup tak keruan. Aku trauma.

Kebiasaan Kakek mengunjungi ’kawan-kawan’ berbulu di taman dekat stasiun masih dilakukan. Bukan hanya anjing, Kakek juga kadang memberi makan tupai dengan biji-bijian kering. Ia sengaja menebar biji-biji itu di pokok flamboyan. Dan sebentar kemudian beberapa tupai akan meluncur turun berebut makan.

Hingga pada suatu pagi, aku merasa keheranan mendapati kakek terlambat bangun. Kuketuk pintu kamarnya pelan.

”Kakek, sudah siang. Waktu sarapan sudah lewat,” ucapku pelan dari depan pintu.

Karena tak ada jawaban, kubuka pelan pintu kamar. Apa yang kulihat benar-benar bukan hal yang kuharapkan terjadi. Tubuh Kakek terjatuh tengkurap di lantai. Pingsan.

**********

Kugenggam tangan Kakek yang sedingin es. Sejak kutemukan pingsan pagi tadi, Kakek belum siuman sampai siang. Tadi pagi Tuan langsung datang ke rumah dan membantuku mengangkat Kakek setelah kutelpon. Ambulance datang tak berselang lama kemudian.

Di rumah sakit, Kakek segera ditangani oleh dokternya. Meski belum siuman, namun dokter meyakinkan keadaan Kakek sementara ini tidak begitu gawat. Laporan hasil pemeriksaan akan keluar segera.

Tuan juga tak pergi dari sisi Kakek. Kulihat kekhawatiran yang teramat sangat di wajahnya. Ia gelisah dan hampir saja tidak makan seandainya aku tidak menyiapkannya. Aku pun khawatir akan kondisi Kakek. Namun aku sadar harus tetap menjaga kesehatan sendiri agar bisa merawat Kakek dengan baik. Maka aku berusaha makan meski tak ingin. Kupesan nasi kotak untukku dan Tuan.

Kakek siuman menjelang sore. Wajahnya menghangat dan napasnya teratur. Ia tersenyum padaku dan Tuan yang menungguinya.

”Aku baik-baik saja, jangan khawatir,” Kakek berucap seolah tahu apa yang kami batin.

Bagaimana bisa kami tidak khawatir? Ah, tapi Kakek memang orang yang selalu optimis. Seharusnya kami yang menenangkan Kakek, sekarang yang terjadi sebaliknya. Ia bahkan meminta dokter untuk menjelaskan kondisinya. Awalnya dokter ragu dan mengajak Tuan ke ruangannya untuk bicara, namun Kakek meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa mendengar hasil pemeriksaan.

”Kanker darah Kakek tidak meningkat stadiumnya, namun kami mendeteksi ada penyakit lain yang menyerang. Sayang sekali, Kakek mengidap Multiple Sclerosis. Kakek akan kesulitan bergerak. Bahkan mungkin akan lumpuh,” jelas dokter dengan sangat hati-hati.

Tuan sesenggukan menangis mendengarnya. Hatiku pun tersayat mengetahui kenyataan kondisi Kakek yang demikian. Sedangkan Kakek yang seumpama pesakitan tervonis hakim, justru amat tenang menerima berita itu.

”Sudahlah, Anakku. Aku baik-baik saja. Jangan bersedih seperti itu,” ucap kakek sambil menepuk pundak Tuan.

Bagai tersulut sumbunya, tangis Tuan meledak. Dipeluknya tubuh Kakek erat-erat. Aku tertular menangis pula. Kususut air mata dengan ujung lengan.

*******

Hampir seminggu Kakek di rumah sakit. Dan mungkin masih akan lebih lama. Rangkaian pengobatan dan terapi yang diterima Kakek tampak sangat menyakitkan. Kerap kulihat kakek menggigit bibir menahan sakit. Multiple sclerosis telah membuat tubuh Kakek kehilangan kemampuan gerak. Sedikit saja tubuhnya digerakan, sakit yang luar biasa akan menyerang. Kakek selalu menjalani setiap proses pengobatan dengan penuh senyum dan optimis, meski sebetulnya ia juga tahu belum ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit langka itu.

”Lili, pulanglah. Beri makan kawan-kawanku di taman itu,” ucap Kakek setelah pengobatan.

Aku tertegun. Kakek masih teringat akan anjing-anjing di taman yang bahkan mungkin tidak peduli dengannya. Namun aku harus menuruti apa kata Kakek. Maka setelah Tuan datang menggantikanku menunggui Kakek, aku segera pulang.

Sesuai pesan Kakek, kusiapkan makanan untuk anjing-anjing telantar itu. Kulakukan ritual seperti yang Kakek biasa lakukan; mengetuk sandaran bangku taman dengan payung besar.

Dua ekor anjing hitam muncul mendengar ketukanku. Anjing-anjing itu mendekat, tapi terlihat tidak bersemangat. Makanan di piring kertas diendusnya, namun tak langsung dimakan. Aku menunggui sambil duduk di bangku.

Tidak ada salak anjing yang gembira seperti sebelumnya. Kawan-kawan berbulu itu makan dalam diam. Dua anjing hitam menatapku di sela-sela makan seolah bertanya; di mana Kakek?

Tak tahu entah mengapa, aku ingin sekali mengadu pada anjing-anjing ini.

”Kakek sakit, Kawan. Ia tak bisa berjalan sendiri sekarang. Aku sedih dan kehilangan,” ucapku pelan.

Rasanya aneh bicara pada hewan. Tapi sungguh aku merasa punya kawan sependeritaan. Dan itu melegakan.

Anjing-anjing ini menyalak pelan, lalu menguik sedih. Makanan yang kuberikan tak dihabiskannya. Aku yakin anjing-anjing ini tahu apa yang baru saja kukatakan. Ya, mereka juga kehilangan Kakek, kawan manusia mereka.

Dadaku sesak dan ingin menangis lagi. Kuberesi sisa-sisa makanan anjing dan segera beranjak dari taman. Kawan-kawan berbulu itu juga berlalu dengan langkah pelan dan sedih, bukan lari kencang dan gembira seperti ketika bertemu Kakek.

Aku ingin segera kembali ke rumah sakit dan menyampaikan pada Kakek bahwa kawan-kawan berbulu itu merindukannya. Aku ingin segera menjumpai lelaki yang telah dengan gagah berani melindungiku dulu di stasiun Jiangzicui, yang dengan gagah berani pula menjalani semua proses pengobatan yang menyakitkan. Aku ingin menemui lelaki lembut hati yang menguatkan anaknya saat menangisi penderitaannya, dan selalu mengingat kawan-kawannya meski hanya beberapa anjing liar. Lelaki yang dihormati dan dicintai orang-orang karena kesahajaannya. Lelaki yang memiliki hati seorang raja sebagaimana namanya; Wang.

****TAMAT****

Taipei, April, 16, 2015

Note:
~kisah dalam cerita ini fiktif, namun terinspirasi dari kejadian nyata tragedi pembunuhan di kereta metro pada tanggal 21 Mei 2014.  


Adjudicator: Wisnu Adihartono Her story is quite touchy and can make the readers to keep reading. The plot is under control.

〈江子翠膽大妄為的變態男〉評審評語

朱天心:這個情景是我們比較容易看到的,黃昏的在公園裡阿公阿嬤和移工,彼此都很悠閒,有時我看到都會擔心他們回去的時候會不會推錯阿公阿嬤回家(笑)所以我一直很好奇他們之間的相處,這個作品有滿足到我對這些移工和雇主的好奇心,結合鄭捷事件也結合的蠻好的。

曾文珍:整個讀下來我會覺得整篇很溫暖,意象看來很美,情感蠻棒的。尤其是捷運上如果沒讓位、被刺傷的人就會是自己的情節,寫得很有張力很吸引人。

周月英:我對這篇評價蠻高的,除了文學表現好,他把王爺爺的形象描寫得非常豐厚,所以我們會對這個虛構的角色產生同情,這是成功的。

青少年評審 感想

簡郁庭:一開始看以為是真實故事,後來才知道是以那個事件取材來虛構的。

呂曉倩:我剛開始也以為文章裡的阿公,寫的是新聞裡那個拿傘的阿伯。

曾郁晴:因為寫到時事,就整個被帶進去了,到後面有點整個洩氣的感覺。

呂曉倩:我覺得寫得不差,只是題目應該以那位阿公為主,而不該是這位鄭捷先生。

曾郁晴:對,例如名稱可以用〈勇敢的王者〉之類,因為裡面寫到阿公姓王。

黃惠美:是題目的關係沒錯。重點不應該在鄭捷。