TERPENJARA KEBENCIAN

2015/3/28 / Rasyah sarie / TERPENJARA KEBENCIAN / Indonesia 印尼 / tidak ada

TERPENJARA KEBENCIAN

          Dulu aku sangat membencinya. Bahkan sedetik aku ingat dia cepat-cepat aku menghapusnya. Dulu aku tak pernah membutuhkannya. Sekalipun aku mati aku tak akan mengharap kehadirannya. Yah, aku sudah menghapus ingatanku tentang dia. Sejak aku dilahirkannya. Dan sejak dia menelantarkan aku dan ayahku. Sejak saat itulah aku menganggap tak pernah mempunyai ibu.
          Aifang, nama itulah yang dia berikan untukku. Nama yang diambil dari bahasa china. Ai yang berarti cinta, dan Fang yang berarti rumah. Rumah cinta itulah arti dari namaku. Aku tak tahu apa alasannya memberikanku nama itu. Kalau dia ingin keluarganya menjadi sebuah rumah cinta. Kenapa dia pergi meninggalkan kami? Kenapa ia membuat rumah cintanya menjadi sepi dan menyedihkan.
          Ibuku adalah wanita keturunan tiongkok. Itulah yang pernah ayah katakan. Wanita yang cantik dengan mata sipit. Sedang ayah adalah lelaki keturunan jawa. Yang aku tahu ibu meninggalkan kami untuk menikah lagi dengan orang taiwan. Hanya ayah yang merawatku hingga aku dewasa. Meski ayah hanya mampu memberikanku hidup yang miskin. Tapi aku cukup bahagia dan sangat menyayanginya. Hingga saat itu tiba. Saat di mana aku menjadi anak yang paling durhaka.
           Mataku nanar melihat wajah lelaki tua di depanku. Tangannya yang gemetar menyerahkan sebuah amplop besar kepadaku. Amplop yang berisi dokumen-dokumen untuk keberangkatanku ke taiwan. Kutatap lekat wajahnya yang telah keriput. Lelaki yang merawatku selama 19 tahun itu tertunduk lesu.
     “Pergilah! temui ibumu di taiwan” ucapnya pelan dengan suara serak
     “Ayah, apa kamu ingin mengusirku?Aku sangat membenci wanita itu. Tidak mungkin aku hidup dengannya dan membiarkan ayah di sini sendirian”
     “Jangan khawatirkan ayah. Ayah akan tinggal dengan pamanmu. Kamu harus kuliah dan kembali menjadi sarjana. Ibumu kaya dan mampu menyekolahkanmu. Pergilah anakku!”
     “Ayah ...”
Tubuhku bergetar. Air mataku terjatuh tak beraturan. Rasanya tak mungkin tega aku meninggalkan lelaki tua ini. Tapi aku ingin membahagiakannya. Aku harus pergi dan kembali dengan membawa gelar sarjana seperti keinginannya. Dan meskipun aku sangat membenci ibu. Kali ini aku harus melupakan harga diriku untuk tidak membutuhkannya. Aaah !
          Aku pikir wanita itu benar-benar berubah dan ingin meyekolahkanku. Tapi dugaanku salah. Dia benar-benar iblis yang berkedok seorang ibu. Ternyata dia membawaku ke taiwan bukan untuk kuliah. Tapi menikahkan aku dengan lelaki taiwan. Hatiku hancur. Impianku berserakan bak debu yang dihantam badai tornado. Aku semakin marah dan muak padanya. Aku tak tahu harus bagaimana. Taiwan sangat asing bagiku. Tak mungkin aku kabur begitu saja. Akhirnya aku  hanya pasrah dan berharap aku baik-baik saja.
          Ibu, wanita itu datang di acara pernikahanku. Melihat wajahnya rasanya ingin sekali aku menamparnya. Bagaimana mungkin seorang ibu tega menipu anaknya sendiri. Dan yang paling aku sesalkan. Aku telah meninggalkan ayahku sendiri di sana. Mataku berkilat menatap matanya. Dia berdiri gugup dengan meremas-remas tangannya yang gemetar.
     “Apakah kamu benar-benar seorang ibu? Setelah menelantarkanku dan sekarang kamu menjual anakmu sendiri” Ucapku sengit
     “Aifang, aku tidak menjualmu. Aku hanya ingin kamu hidup bahagia”
     “Dengan menikahkan aku dengan lelaki yang tak ku kenal? Persetan!!!” bentakku marah
Wanita itu hanya tertunduk diam. Tubuhnya makin  gemetar seolah mengakui kejahatannya.
     “Pergilah! Dan jangan pernah menemuiku. Aku sangat muak melihatmu. ”
     “Yah, aku akan pergi. Maafkan aku Aifang. A siang lelaki yang baik. Dia tidak akan menyakitimu. Percayalah!” kata wanita itu pelan lalu berlalu.
Bara api ini seolah tak mungkin terpadamkan. Meski di guyur sungai sekalipun nyala apinya semakin besar dan membara. Seperti itulah perasaanku saat itu. Batinku selalu menolak untuk memaafkannya. Hanya rasa kebencian dan kekecewaan yang aku rasakan.
         Setelah pernikahanku, a siang membawaku ke rumah keluarganya. Mulanya aku takut tinggal bersama mereka. Aku takut mereka menjahatiku seperti di sinetron yang pernah aku tonton. Tapi  ternyata  aku salah. Mereka sangat baik dan menyayangiku. A siang lelaki yang baik dan penyabar. Keluarganya pun baik dan tak pernah membeda-bedakanku meski kami beda kewarganegaraan. Dari sinilah kebahagiaanku. Hingga aku melahirkan dua anak yang mungil. Sempurnalah keluarga kecilku.
          Ayah pernah berpesan padaku. Untuk tidak membenci ibu. Saat aku menghujatnya pun ayah selalu membela ibu. Seandainya aku tahu kenapa ibu lebih memilih pergi dari pada tetap tinggal bersama kami. Seandainya aku tahu kenapa ayah tak pernah membenci ibu. Mungkin aku tak akan membiarkan mulut ini mencacinya. Mungkin aku tak akan membiarkan dia pergi dan hidup sendiri. Kebencianku padanya telah membutakan mata hatiku. Hingga aku lupa bahwa tanpanya aku tak akan pernah terlahir di dunia ini. Dan berkat dia juga kini aku memiliki suami dan keluarga yang bahagia.
          Suatu hari a siang menghampiriku dengan wajah sedih. Dia menatapku dengan mata memohon. Ia genggam tanganku dengan desahan yang panjang.
     “Sayang, ibu kamu sakit. Sekarang dia dirawat di rumah sakit”
Aku terhenyak sesaat. Tapi kemudian berpaling menghiraukannya.
     “Oh, lalu kenapa? Jawabku singkat
     “Sayang, dia ibumu. Aku memang tak tahu dengan masalah kalian. Tapi, dia adalah orang yang melahirkanmu”
     “Dia menipuku, dia menelantarkan aku” selaku cepat
     “Sayang, tidak ada orang tua yang mau menipu anaknya sendiri. Ibu mu menikahkanmu dengan aku karena dia ingin kamu bahagia. Pasti ada alasan kenapa ibumu meninggalkanmu dan ayahmu. Aku mohon berhentilah hidup dalam kebencian. !!”
A siang menepuk pundakku meyakinkan. Lalu  pergi meninggalkanku yang masih dalam kebimbangan. Yah, sekalipun berkali-kali dia menyuruhku untuk menjenguk ibu. Aku tak pernah menuruti permintaannya. Entahlah, sepertinya kabut kebencian telah menyelimuti hatiku.
          Aku masih ingat apa yang dulu ayah pernah katakan padaku. “janganlah pernah membenci ibumu”. Kata-kata itulah yang membuatku penasaran. Kenapa ayah tak pernah membenci ibu meskipun ibu telah mengkhianatinya. Aku ingin sekali tahu alasannya. Tapi ayah tak pernah mau mengatakannya padaku. Dia hanya bilang  bahwa ibu pergi karena suatu alasan. Alasan itulah yang membuatku terus bertanya-tanya. Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Setelah lama terdiam dalam seribu pertanyaan. Akhirnya aku putuskan untuk mencari jawaban alasan itu. Kumantapkan langkahku untuk pergi menemui ibu di rumah sakit. Bukan untuk menjenguknya karena hatiku luluh dan menerimanya. Tapi untuk mencari sebuah jawaban yang selama ini membuat hidupku dipenuhi rasa kebencian.
           Ibu, jika saja waktu bisa ku putar kembali. Biarkan anakmu yang durhaka ini bersimpuh memohon ampunanmu. Biarkan aku merawatmu sebelum kau benar-benar pergi dan tak kembali. kini yang tersisa hanya sebuah penyesalan. Bak kaca yang telah remuk. Tak mungkin pecahannya bisa tersambung kembali.  Saat kulangkahkan kakiku memasuki ruangan ICU yang serba putih itu. Aku terhenti melihat tubuh pucat itu ternyata sudah tertutup kain putih. Dadaku terasa sesak. Airmataku hampir terjatuh. Tapi bibirku tersenyum  seperti orang yang usai  melakukan balas dendam. Benarkah aku bahagia karena dia telah tiada? Lalu kenapa tubuhku gemetar dan ingin menangis?
          Suasana pemakaman di pagi yang mendung seolah melukiskan perasaanku. Melihat lelaki tua yang bersimpuh di depan makam ibu itu membuat hatiku pilu. Ayah, dia sesenggukan dengan wajah tertunduk. Sedang hatiku masih bercampur aduk antara sedih dan kecewa. Kecewa karena sebuah jawaban yang belum terjawab. Dari pertama kedatangan ayah ke taiwan hingga pemakaman berakhir. Ayah tak berhenti menitikkan air mata.
     “Ayah!” aku duduk bersimpuh di samping ayah. Ayah menatapku dengan penuh kesedihan
     “Anakku, ayah lah yang bersalah. Ayah lah yang telah membiarkan ibumu pergi dan menikah dengan lelaki itu. Ibumu menikah dengan orang taiwan agar bisa mendapatkan uang untuk kita hidup. Selama ini biaya sekolahmu adalah uang kiriman dari ibumu”
Tubuhku bagai tersambar petir. Sungguh seperti ada ledakan di depan mataku. Jadi ini adalah alasan yang selama ini ayah sembunyikan dariku.
     “Ayah, benarkah?” ucapku seakan tak percaya
     “Maafkan ayah, ayah memang lelaki tak berguna”
Ayah bersimpuh dengan tangisan yang memilukan. Sedang aku hanya terpaku dengan pikiran tak karuan. Dan, apa yang harus aku lakukan? Setelah bertahun-tahun menyimpan kebencian kepada ibu yang kuanggap telah menelantarkaku. Apakah kini aku harus membenci ayahku ?


THE END