Jeritan Hati Wanita

2015/5/25 / Azra Hasyim / Jeritan Hati Wanita / Indonesia 印尼  / FLP Taiwan

Jeritan Hati Wanita

Hal yang tidak akan pernah bisa dilakukan manusia manapun adalah memilih orang tua kita. Kita tidak akan pernah bisa menawar terlahir di keluarga miskin, kaya, suku, negara dan agama manapun. Namun setelah kita lahir di dunia ini, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, yaitu bersyukur karena merekalah kita ada. Karena alasan itu pula, aku tidak pernah mengeluh meski terlahir dari keluarga yang serba kekurangan secara materi. Aku bahagia karena meski keluargaku tidak kaya materi, namun kami tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ibu dan bapakku, mereka sangat kaya akan cinta untuk anak-anaknya.

Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik pertamaku dia adalah remaja tampan yang sekarang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sementara si bungsu, tahun ini merupakan tahun pertamanya duduk di bangku Sekolah Dasar. Setiap harinya Ibu dan Bapak menjual kue jajanan pasar, bangun setiap pukul tiga dini hari untuk membuat semua kue. Kemudian menjajakannya di pasar terdekat dari rumah kami. Mereka saling bahu membahu. Bapak yang mengotel sepeda selama perjalanan ke pasar, sementara Ibu yang duduk di belakang dengan membawa kue yang akan dijual. Begitulah mereka membesarkan kami bertiga.

Meski rumah kami sudah reot, tapi Ibu dan Bapak lebih mementingkan pendidikan kami. Uang hasil penjualan itu, setelah diguanakan untuk biaya kehidupan sehari-hari, sepenuhnya hanya untuk biaya pendidikan kami.  Tidak heran rumah warisan milik nenekku itu, kini sudah usang karena selama hampir dua puluh tahun tidak pernah diperbaiki.

Setelah aku lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas. Aku mencoba mencari pekerjaan ke ibukota dengan tujuan bisa membantu meringankan beban Ibu dan Bapak. Aku yang waktu di bangku Sekolah mengambil jurusan management akuntansi, nyatanya tidak dapat berbuat apa-apa karena di perusahan-perusahan, mereka hanya menerima lulusan sarjana. Ahirnya aku pun bekerja menjadi buruh mingguan di pabrik udang.

Pekerjaanku adalah mengelupas cangkang udang dari dagingnya. Gajiku pun tidak tentu, tergantung secepat apa tanganku berhasil menguliti udang. Terkadang kulit udang yang tajam itu menggores kulit ibu jariku meski aku sudah membalutkan kain pada ibu jariku itu.  Tiap harinya aku mampu mengelupas puluhan ribu kulit udang. Lelah, dan peluh yang bercucuran serta tangan yang perih karena luka sayatan kulit udang, yang sepanjang hari aku rasakan. Nayatanya, dari hasil kerjaku itu hanya cukup untuk membayar biaya kontrakan dan kebutuhanku sehari-hari saja. Sementara aku ingin membantu Ibu dan Bapak untuk memperbaiki rumah kami.

Baru bekerja di pabrik udang selama satu bulan, aku pun memutuskan ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, dengan menjadi buruh migran.  Meski awalnya Ibu dan Bapak menolak, namun melihat rumah yang kami tempati sudah tidak layak huni dan jika hujan tiba, atap rumah kami bocor di sana sini. Aku meyakinkan ibu dan bapak, hingga ahirnya merekapun memberiku izin. Serta melihat kedua adikku yang masih membutuhkan biaya pendidikanpun, yang membuat tekadku semakin kuat. Aku ingin adik-adikku melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Aku tidak ingin mereka seperti diriku yang kesusahan mencari pekerjaan di negeri sendiri.

""Jangan pernah tinggalkan shalat, Nak!"" Pesan Ibu dan Bapak padaku. Itulah pedoman yang selalu aku jaga selalu.
""Iya."" Jawabku singkat pada mereka. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku. Aku ingin mengucapkan lebih banyak kata perpisahan pada mereka, namun semua kata-kata itu seperti terkunci di tenggorokanku.

""Kakak, kalau sudah sampai di Taiwan, nanti belikan aku sepatu dan tas baru ya!"" Si bungsu, Vira. Merengek padaku ketika aku pamitan padanya ingin kerja ke Taiwan. Vira memang masih terlalu kecil untuk mengerti kakaknya ini berangkat kerja ke Taiwan dengan segenap tekad dan kepasrahan yang ada. Aku berharap semoga jalan rizkiku bisa aku dapat dengan mudah di Taiwan. Sementara Adi, adik pertamaku, dia sudah mengerti akan resiko yang akan aku jalani di negeri orang. Dia hanya memelukku dengan tangisnya yang sekuat tenaga dia tahan, dan dengan mulut mungilnya mendoakanku semoga aku baik-baik saja di Taiwan.

""Kalau aku sudah besar nanti. Aku tidak akan membiarkan kakak bekerja jauh dari kami."" Ucap Adi padaku. Sudut matanya mulai berair.

""Baiklah, aku pegang janjimu, berjanjilah pada kakak. Kamu akan belajar dengan baik. Lulus dengan nilai tertinggi dan bisa masuk universitas negeri. Agar kelak kamu tidak susah mencari pekerjaan."" Balasku pada Adi, aku semakin tidak bisa membendung air mataku.

""Laki-laki jangan mudah menangis! Aku titipkan ibu, bapak dan Vira padamu, Adi. Kamu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini! Kamu harus bisa menjaga mereka!""  Pesanku padanya.

""Iya, Kak."" Adi, remaja belasan tahun itu ahirnya menangis sesenggukan di pelukanku.

***

Aku mendapatkan job menjaga seorang Nenek berusia delapan puluh empat tahun di daerah Taichung. Nenek punya penyakit kencing manis dan tulang kakinya sedikit bengkok karena penyakitnya itu. Namun beruntung, Nenek  masih bisa berjalan meski  dengan menggunakan tongkat berkaki empat. Setiap harinya tugasku adalah membantunya mandi, mengganti popok, kemudian membuatkan sarapan untuknya.  Setelah itu pergi jalan-jalan ke taman dengan mengunakan kursi roda. Begitulah kegiatanku sehari-harinya. Sebenarnya Nenek sangat baik, sifatnya juga menyenangkan karena sering membuatku tertawa akan candanya. Namun justru kendala datang pada Kakek, suami Nenek yang aku jaga ini. Kakek meski sudah berumur delapan puluh lima tahun, namun dia masih sangat sehat.

Kami tinggal bertiga saja, aku Nenek dan Kakek. Anak-anak mereka hanya satu bulan sekali datang. Nenek punya enam anak, tiga perempuan, dan tiga lagi laki-laki. Setiap kali datang menjenguk orang tuanya, mereka semua baik padaku, aku bahkan tidak dibeda-bedakan dengan anggota keluarga lain. Makan satu meja bersama dan mereka sering menagajakku ngobrol meski aku yang masih belajar bahasa Mandarin sedikit kewalahan menjawabnya.

***

Awal kejadian yang tidak diharapkan itu adalah Kakek sering membuntutiku ketika aku sedang masak di dapur atau ketika aku pergi membersihkan ruang lantai dua. Awalnya dia hanya bercanda dengan senyum ramahnya. Tapi begitu menginjak tiga bulan aku kerja di tempat itu, Kakek mulai berani berbuat tidak senonoh padaku. Jika aku lengah, tangannya berani menggrayangi pinggang, pantatku, bahkan seluruh badan. Aku menolak, protes, dan mengajak Kakek bicara bahwa apa yang dia lakukan padaku tidak benar. Hanya saja Kakek justru memberiku sebuah tawaran yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ternyata Kakek juga sudah tiga kali ini mengganti perawat untuk Nenek dalam satu tahun terahir. Aku mendapatkan informasi itu dari Atun, anak Indoneisa yang aku temui saat membawa Nenek jalan-jalan di taman.

Tawaran yang Kakek berikan adalah dia ingin membayar setiap sentuhannya seharga lima ratus dolar Taiwan. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Dalam benakku pantas saja pembantu yang bekerja di sini semuanya memilih pindah. Meski memang aku sedang membutuhkan pekerjaan, juga aku sangat butuh uang tapi aku tidak mau menjual harga diriku sebagai wanita.

""Ada orang Indonesia, pembantu rumah tangga milik temanku itu, dia mau dipegang-pegang asal dikasih uang."" Kakek memberiku penjelasan, aku mulai paham  sekarang. Mungkin dia merasa wanita Indonesia semua bisa berbuat seperti pembantu temannya itu.

""Maaf, Kakek. Aku mau mencari uang yang halal.  Aku di sini bekerja menjaga Nenek. Asalkan Kakek menggajiku dengan benar, itu sudah cukup buatku."" Balasku pada Kakek. Dia hanya terdiam. Lalu memalingkan pandangan kecewanya padaku.

Karena prilaku segelintir orang Indonesia yang mau memanfaatkan kakek-kakek untuk meraup uang lebih. Ahirnya semua orang Indonesia kena imbasnya. Meski sejatinya aku yakin lebih banyak juga dari mereka tidak melakukan hal tidak terpuji seperti itu.

Setelah berdebatan itu, ternyata tidak membuat Kakek jera. Dia tetap saja curi-curi kesempatan untuk meraba  seluruh badanku.  Aku-pun kini tidak mau tinggal diam, aku melaporkan semua pada agency, bahwa aku ingin dipindahkan saja ke tempat lain karena Kakek sering berbuat tidak sopan padaku.

""Bagaimana dengan Nenek, dia baikkan?"" tanya penerjemah padaku. Sepertinya dia paham masalahku dengan baik. Mungkin karena aku orang ke tiga yang dia tangani.

""Iya, kalau Nenek dia sangat baik padaku."" Jawabku jujur.

""Kalau begitu jangan pedulikan Kakek, kamu kerja jaga Nenek. Yang terpenting adalah urusan Nenek."" Tambahnya lagi.

""Nanti aku bicara dengan majikanmu, suapaya dia bilang pada Kakek."" Bujuk penerjemahku yang ahirnya membuatku merasa sedikit tenang.

Tapi, aku bertekad kalau keadaan tidak berubah, tidak ada pilihan selain mengadukan ke layanan perlindungan, 1955.  Tentang pelecehan yang aku terima ini. Bagaimana aku bisa membiarkan saja perlakuan Kakek seperti itu? Setiap kali tangan keriputnya mendarat di bagian tubuhku membuatku jijik dan ketakutan. Yang aku bisa lakukan saat ini hanya berdoa, berserah diri pada Yang Kuasa memohon lindunganNya.

Ketika acara makan-makan bulanan seperti biasa anak-anak Nenek semua berkumpul. Anak perempuan Nenek nomor dua mengajakku biacara di ruangan tertutup. Sepertinya dia mendapatkan laporan dari agency  akan pengaduanku tentang Kakek.

""Emang, Kakek sering berbuat apa padamu?"" tanyanya dengan suara pelan. Lalu aku menceritakan semua yang aku alamai padanya dengan keterbatasan bahasa yang aku miliki. Aku sedikit menggunakan bahasa tubuh, dengan linangan air mata menjelaskan semua pada Nyonya. Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundakku. Dia memelukku. Seperti dia bisa merasakan apa yang aku rasakan.  Nyonya itu juga berkata bahwa aku seumuran dengan putrinya. Karena alasan  itulah mungkin dia amat peduli padaku. Dia terus mengucapkan maaf atas nama Kakek.

""Kakek berani mendekatimu saat kamu tidak bersama Nenekkan?"" tanya Nyonya.

""Iya,"" jawabku.

""Kalau begitu, kamu usahakan jangan jauh-jauh dari Nenek. Kakek pasti tidak akan berani berbuat seperti itu lagi! Kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah jika itu sulit. Yang terpenting jaga baik- baik Nenek."" Sarannya. Aku-pun mengangguk-ngangguk paham.
""Tolong kamu bisa sabar ya! Kalau harus ganti perawat lagi akan sulit, karena sudah ganti beberapa kali."" Nyonya menatapku dengan pandangan penuh harap. Sementara aku ujur saja, andai aku pintar bahasa Mandarin saat itu, andai aku bisa mengungkapkan semua pada Nyonya. Aku ingin berkata padanya, aku-pun sangat butuh pekerjaan ini. Gaji dua bulan pertamaku yang setelah dipotong biaya agency sudah aku kirimkan ke keluargaku di Indonesia. Aku begitu bahagia ketika Vira, adik bungsuku berbicara lewat telepon menyampaikan rasa senangnya karena telah dibelikan tas dan sepatu baru. Aku ingin Vira, Adi, Ibu dan Bapak juga merasa bahagia karena aku telah berhasil memperbaiki rumah kami. Namun jika aku memilih menyerah pada titik ini, harus ke mana lagi aku mengadukan nasibku.

Tekadku semakin kuat, mendengar celoteh riang Vira. Tentu dia ingin kakaknya ini tidak pantang menyerah. Mulai saat itu aku tidak pernah barang sejenak meninggalkan Nenek. Aku seperti perangko yang selalu menempel pada amplop. Begitulah aku pada Nenek. Aku-pun kini selalu memakai pakaian serba panjang meski di musim panas. Saat aku ingin memasak di dapur, aku papah Nenek ke dapur juga. Menyuruhnya duduk di kursi meja makan. Aku membujuknya dengan berbicara menemaniku memasak. Nenek begitu semangat ketika aku bertanya ini- itu tentang masakan khas Tawian. Dia tidak mengerti alasan sebenarnya kenapa aku ingin membawanya kemanapun aku pergi. Karena Kakek begitu takut dengan Nenek, meski Nenek kadang-kadang pikun, dan sampai saat ini-pun dia tidak pernah memanggilku dengan sebutan namaku. Nenek selalu memanggilku dengan panggilan nama cucu perempuannya yang sejak kecil dia rawat.  Tapi meski begitu indra penglihatan dan pendengarannya masih begitu baik.

Pagi hari, aku dan nenek sering menghabiskan waktu kami di luar rumah. Nenek yang punya beberpa teman seusianya. Sering berkumpul di taman sekadar mengobrol. Salah satunya adalah nenek yang Atun jaga. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam duduk di bangku taman di bawah rindangnya pohon beringin. Menghirup udara segar oksigen (o2), yang keluar dari pepohonan yang ada di taman. Pada siang hari setelah tidur siangpun aku biasa mengajak nenek jalan-jalan sore. Nenek begitu senang saat berada di luar rumah, karena kemampuan berjalannya yang terbatas memang tidak banyak ruang gerak untuknya. Sementara saat di luar rumah dia bisa berjalan-jalan dan bertemu teman-temannya.  Begitu juga denganku yang punya cara jitu menghindar dari Kakek.

Jadwal seminggu sekali membersihkan ruangan lantai dua tidak lagi aku kerjakan. Kakek juga tidak pernah menyuruhku membersihkannya. Sesekali aku melihat Kakek membersihkannya sendiri, tapi aku tetap  diam saja tidak membantunya. Aku hanya  berada di sisi Nenek. Karena seperti kata nyonya inilah tugas utamaku, di samping Nenek.

Begitu dekatnya aku dan nenek hingga aku sekarang lancar berbahasa tayi. Hubungan saling membutuhkan di antara kita begitu kuat. Aku membutuhkan kehadiran nenek untuk melindungiku dari kejailan Kakek, dan Nenek yang membutuhkanku menjadi teman bicaranya. Saking seringnya kami bersama, hingga setiap kali aku tinggal barang sejenak untuk ke kamar mandi-pun Nenek dengan tingkah manjanya sudah memanggil-manggilku terus menerus. Meski aku sudah berpamitan padanya aku hendak ke kamar mandi.

Tapi sedikitpun aku tidak pernah mengeluh atas sifat manja nenek itu. Justru aku sangat berterima kasih padanya. Karena neneklah  hampir tiga tahun sudah aku bisa bertahan dari situasi kerja seperti ini.

Tidak berbeda jauh dengan aku dan nenek, Kakek-pun  sekarang lebih sering berada di luar rumah ke tempat teman-temannya. Dia ahirnya tidak lagi berani macam-macam padaku. Biarlah dia mencari wanita Indoneisa yang pernah dia ceritakan padaku yang mau dengan uangnya. Tapi yang jelas orang itu bukan aku. Sampai kapanpu aku tidak akan mempertaruhkan harga diriku demi uang. Aku sadar karena uang yang aku dapatkan ini, nantinya akan aku gunakan untuk pendidikan adik-adikku mana mungkin aku memberi pendidikan untuk mereka dengan hasil uang yang tidak halal.

***

Sekarang tepat empat bulan lagi kepulanganku ke Indonesia, hasil kerjaku selama ini sudah berhasil memperbaiki rumah kami di Indonesia. Dan sebagian tabungan yang masih aku simpan untuk pendidikan kedua adikku. Majikanku memintaku kembali merawat Nenek, namun aku bertekad akan memulai sebuah usaha di negeriku sendiri. Dengan sedikit modal yang aku punya ini, aku berharap dengan bekal ilmu yang pernah aku terima dari bangku sekolah dulu, bisa untukku meraih kesuksesan di kampung halamanku.

Meski berat meninggalkan Nenek yang sudah seperti Nenekku sendiri. Nenek bagiku bukan sekedar seorang pasien yang aku jaga. Tapi dia adalah sahabat sekaligus penolongku. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan wanita penyayang seperti Nenek. Setelah kepulanganku nanti, aku harap penggantiku bisa lebih menyayangi nenek lebih dari sayangku padanya. Tidak henti aku mendoakan agar nenek diberikan kesehatan selalu.

Inilah kisah perjalananku di Taiwan, aku ingin berbagi pada semua teman-teman yang mungkin mengalami nasib serupa denganku. Jangan pantang menyerah dan berusahalah menghindarinya. Serta jagalah selalu martabat dan harga diri kita sebagi wanita.


Tamat.