Potret di Balik Bingkai Kasa Formosa

【2015 Hadiah Pertama】

2015/3/20 / Dwiita Vita / Potret di Balik Bingkai Kasa Formosa / Indonesia 印尼 / tidak ada

Potret di Balik Bingkai Kasa Formosa
Oleh : Dwiita Vita

*****

Pagi yang cerah, aku berjalan bersama Han Yi Le bocah 2,5 tahun yang aku jaga. Rutinitas kami berdua antara jam 10 hingga jam 11 siang. Meishu Guan, jalanan hari ini sedikit lenggang karena masa liburan baru saja usai. Angin musim semi berhembus menyejukkan. Musim semi dan musim gugur selalu menjadi musim favorit kebanyakan pendatang yang berasal dari negeri tropis, termasuk aku. Karena di kedua musim ini iklimnya lebih bersahabat. Musim semi, dimana bunga- bunga di setiap sudut kota mulai bermekaran kembali dan tumbuhan mulai memunculkan daun yang baru. Hijau, berwarna warni. Membuat dunia terlihat lebih indah dan kembali hidup, setelah pohon- pohon telanjang meranggas di musim dingin.

Di taman aku biasa menghabiskan 1 jam waktuku, berjalan menyusuri setiap sudutnya, melihat bebek, angsa dan tupai yang berkeliaran bebas. Yi Le sangat suka berdiri di tepian sungai, sambil melemparkan potongan roti yang kami bawa dari rumah untuk ikan- ikan yang tak terhitung banyaknya dalam danau Meishu. Memandang berbagai burung yang bersayap indah, bebas beterbangan dari dahan yang satu ke dahan yang lain tanpa rasa takut. Beda dengan di Indonesia, yang ada hanya burung gereja yang bebas berkeliaran. Burung- burung yang indah sudah kehilangan haknya untuk bereksplorasi di alam bebas, ditangkap, dijual, dijadikan komoditas bisnis yang mahal.
Bertemu dan mengenal kawan- kawan dari Indonesia adalah berkah dari setiap kunjunganku ke taman. Bagi kami BMI bertemu sesama orang Indonesia bagaikan bertemu saudara lama, terjalin keakraban seketika. Terkadang ada satu dua yang cuek dan tak mau menyapa atau sekedar menyimpulkan senyum. Bertukar nomer HP, saling bercerita tentang kehidupan masing- masing, bersama membesarkan hati, seolah menegaskan bahwa kita tidak sendiri, selalu ada kawan untuk berbagi.

Pagi itu aku bertemu dengan Lani, seprofesi denganku, menjaga anak. Kami berjalan beriringan sambil bercerita tentang masing- masing. Tiba- tiba, Lani menampar mulut balita perempuan yang dijaganya, hanya karena balita tersebut menangis dan tak mau diam. Sontak aku terkaget dengan sikapnya.

"" Lan, kenapa kamu sekeras itu? Kasihan, dia hanya menangis. Mungkin kepanasan atau haus ingin minum,"" spontan aku bertanya.

"" Dia bandel, kalau nggak digitukan, tangisnya semakin menjadi."" timpalnya dengan nada tinggi.
""Tapi tak harus begitu Lan, dia hanya anak kecil yang memang hanya bisa menangis untuk merajuk atau ketika marah"" jawabku tegas.

Tiba- tiba wajah Lani tertunduk, gadis manis asal Jawa Barat dari perkenalan singkat kami. Berumur 25 tahun, tapi beban hidup membuatnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Dia sudah berkali- kali melanglang buana di negeri Timur Tengah hingga akhirnya memutuskan ke negeri formosa karena iming- iming gaji yang lebih besar dan pekerjaan yang tidak seberat di Timur Tengah.
""Mbak nggak tau, bagaimana keluarga mereka memperlakukanku."" Lani terdiam.

""Aku kerja hingga larut dan baru istirahat sekitar 11:30 hingga 12 malam, dan jam 03 pagi aku harus bangun membantu mereka membuat roti. Hati kecil tak pernah  berniat berbuat demikian, tapi perlakuan mereka yang tak berperikemanusiaan membuatku melampiaskan pada balita itu."" Lanjutnya dalam isak.

Kulihat matanya semakin berkaca, ada gurat kesedihan yang mendalam dalam hatinya. Kelelahan terpancar jelas dari redup cahaya matanya. Aku memahami, hanya beristirahat 2 jam saja. ""Innalillahi... sedemikian parahkah."" Bathinku dalam hati.

Kulihat Yi Le bermain dengan balita perempuan tersebut, berdiri disampingku. Balita itu sudah diam dari tangisnya, tersenyum sambil sesekali tertawa lepas ketika Yi Le mengajaknya bermain. Han Yi Le hari ini sedikit tenang, biasanya selalu merajuk ingin pulang ketika aku sibuk berbicara dengan orang lain yang kutemui di taman. Ada balita tersebut yang bisa di ajaknya bermain hingga dia merasa punya kawan yang menemaninya.

""Lan, sudah berapa lama kamu di sini?""

""Baru 6 bulan mbak, aku berkali- kali sakit tapi tak pernah mereka sedikitpun mengantarku berobat. Ingin rasanya aku kabur mbak, tapi aku takut akhirnya harus berhadapan hukum dan menanggung denda yang begitu besar. Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu.""

Tangisnya pecah, kupeluk dia untuk sedikit menenangkannya.

""Kenapa kau tak melapor pada agency Lan, aa..tau.."" belum selesai aku bicara Lani sudah menimpaliku.

""Agency, tau apa mereka. Mereka hanya tau uang mbak. Tidak ada keadilan agency yang aku rasakan. Tidak ada pembelaan untukku, apalagi perlindungan yang dijanjikan. Tulisan hanya sekedar tulisan. Mereka seolah mafia formal bagiku.""

""Dan 1955, aku berkali- kali menghubungi. Tapi mereka juga tak datang melihatku, memberi perlindungan sebagaimana yang di janjikan.""

Lani mengusap airmatanya. Menarik nafas dalam- dalam seolah menegaskan bahwa dia kuat untuk menghadapi itu. Ketidakadilan agency, itu juga yang kurasakan. Mengeruk keuntungan dari keringat kami tanpa memberikan perlindungan yang seharusnya. Entah berapa lama kami sanggup bertahan, 9 bulan masa transisi potongan ataukah hingga 3 tahun masa berakhir. Aah... tapi aku tak yakin.

""Mbak, aku pamit dulu. Aku tak tahu sampai kapan bertahan merajut mimpi ini, mimpi  yang dinanti keluargaku di tanah air meskipun semua ini harus ku bayar mahal.""

""Sabarlah Lan, teruslah merongrong agencymu untuk mendapatkan hak perlindungan. Jangan putus asa untuk terus berusaha, kita saling berdo'a. Aku juga sama denganmu hanya aku sedikit lebih baik tak harus bangun jam 3 pagi. Mimpi ini begitu mahal Lan, setangkup rasa menyesakkan bahkan mungkin lebih harus rela kita jejalkan dalam hati kita. Semoga Allah selalu menjaga kita."" Ucapku meyakinkan, bahwa kita tidak menderita sendiri.

""Aamiin."" Ucap kami serentak, seolah ada segenggam penuh pengharapan dari do'a yang terpanjat.
""Assalamu'alaikum."" Pamitnya

"" Wa'alaikumsalam."" Lambaian tanganku mengiringi langkah kakinya yang berlalu meninggalkanku.

""Andaikan negara ada untuk kita."" Lirihku.

Aku berbalik arah bersama Yi Le, berjalan menuju peraduan. 15 menit lagi tepat jam 11, satu jam sebelum waktu makan siang, saatnya aku berkutat di dapur sambil menggendong Yi Le untuk menyiapkan semeja penuh hidangan makan siang.

*****

""Ting...tung.. ting."" Nada inbox Line-ku berbunyi.

Kulirik pesan di layar datar yang sehari- hari menjadi hiburanku untuk mengusir sepi, pengobat rindu pada keluarga dan menilik kabar tentang tanah air. Dari Mbak Darmi, kawan BMI di flat sebelah. Meskipun usia Mbak Darmi hampir kepala empat, tapi soal kecantikan jangan ditanya, perawatan wajah yang tak bisa dibilang murah. Aku pribadi, tak ada waktu untuk itu. Kesibukan pekerjaan, dan salah satunya tidak ingin menghamburkan uang untuk hal- hal yang memang aku tak mampu menjangkaunya disini.

""Wit, nanti waktu kamu buang sampah. Kita ketemu sebentar, PENTING !!!.""

""OK mbak, nanti jam 09:00 ketika semua pekerjaanku selesai."" Balasku.

Tepat pukul 20:45 aku sudah menyelesaikan semua tugas rumahku, membersihkan meja makan, mencuci piring, membersihkan dapur serta memandikan Yi Le. Aku minta ijin pada majikanku untuk pergi ke Seven Eleven (Toko 24 jam) sebentar, alasan yang tak mungkin tidak di ijinkan. Karena sulitnya untuk bisa keluar rumah selain membawa Yi Le bermain dan membuang sampah, itupun hanya beberapa menit saja. Dan untuk bertemu dengan Mbak Darmi tidak mungkin hanya sebentar, maka dari itu aku membuat alasan untuk bisa menemuinya. Kulihat Mbak Darmi menungguku di lobby bawah. Setelah membuang sampah, ku menghampirinya, duduk berhadapan dengannya di ruangan lobby.

""Ada apa Mbak, tumben mencariku?"" tanyaku membuka pembicaraan.

""Wit, tolong pinjami aku uang 10.000. Awal bulan depan aku kembalikan,"" jawabnya.

""Maaf Mbak, aku nggak punya uang sebanyak itu. Semua gaji selalu aku transfer ke Indonesia. Aku hanya menyisakan seribu- duaribu untuk keperluan disini,"" jawabku.

Bukannya tidak mau menolong, tapi sepak terjang Mbak Darmi masalah hutang-menghutang sudah tidak asing lagi di lingkup BMI apartemen Mingcheng. Sulitnya kembali dan kadang hanya kembali setengah, itupun setelah melalui rongrongan dan ancaman dari sang pemilik uang. Gaya hidup hedonis yang tak wajar bagi ukuran sekelas BMI, sehingga memaksanya berhutang sana- sini. Aku tak mau terlibat ataupun menjadi korban itu saja, dan ini pertama kali Mbak Darmi meminjam padaku.

""Please...Wit, aku butuh banget. Kamu tau kan Rafli pacarku, yang beberapa bulan waktu kita liburan bersama aku kenalkan padamu. Keluarganya dalam kesulitan dan gajinya baru tanggal 25 dibayar oleh pabrik tempatnya bekerja."" Rajuknya sambil memelas padaku.

""Kalau aku tak mau meminjaminya, dia akan meninggalkanku. Aku mencintainya, aku tak bisa jauh darinya,"" lanjutnya mempertegas, menghiba padaku.

""Maafkan aku Mbak, aku tak bisa membantu. Aku sendiri setiap bulan kekurangan karena harus menghidupi ke dua putriku, Ibuku, serta membantu biaya kuliah adikku."" Jawabku pelan.

""Maaf sebelumnya, aku hanya berusaha membuka diri pada Mbak Darmi untuk tak menuruti keinginan Rafli. Sudah sangat jelas terlihat, tipe lelaki macam apa dari ancamannya kepada Mbak jika tak meminjamkan uang. Mbak Darmi, masih banyak lelaki yang benar- benar tulus tanpa mengharapkan balasan apalagi mengancam. Fikirkan itu Mbak, hatimu pasti bisa menjawab."" Perkataan itu muncul dari hati terdalam, kejujuran untuk seorang kawan yang senasib sebagai sesama BMI. Kalau Mbak Darmi tersinggung, aku sudah siap. Kejujuran memang kadang menyakitkan.
Terengah nafasnya, menahan berbagai rasa dalam diri. Paduan rasa takut kehilangan, kebingungan dan diatas semua itu adalah kesedihan yang tak terjelaskan. Air matanya pun tumpah tak terbendung. Ku biarkan dia larut dalam hening dan ku yakin hatinya pasti hidup untuk bisa merasakan kebenaran, meski akhir keputusan nafsu lebih berbicara ketimbang hati.

Masih ku ingat wajah Rafli, pacar Mbak Darmi yang dikenalnya melalui dunia maya seperti di ceritakannya padaku. Wajah yang memang tampan, berkulit kuning langsat. Usia Rafli sepantaranku, antara 29-30 tahun. Tak bisa dipungkiri kalau Mbak Darmi jatuh cinta sekonyong- konyong, hingga rela menjadi permainan laki- laki berwajah buaya.

Kala itu di stasiun MRT, stasiun persinggahan sebelum menuju tempat liburan masing- masing. Mbak Darmi mengenalkanku pada Rafli, kami duduk bertiga di bangku ruang tunggu. Ketika Mbak Darmi pergi ke toilet, Rafli meluncurkan rayuan buayanya padaku. Tak sedikitpun aku tanggapi, dari itu aku paham lelaki macam apa Rafli. Sepandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan aku yakin itupun akan berlaku buat seorang Rafli yang menjadikan cinta sebagai kedok bajing loncat.

Maraknya jaringan media sosial membuka kesempatan menjadikan asmara sebagai instrumen penipuan untuk menguras dana pasangannya. Faktanya, buruh migran sering menjadi korban Cybercrime karena 80% interaksi berada di dunia maya. Semoga seiring waktu Mbak Darmi bisa terbuka tentang siapa sosok lelaki maya yang dicintainya. Bukan terlambat setelah harta, jiwa, raga menjadi korban dan menyisakan penyesalan yang tiada berujung.

Aku berpamitan padanya, beberapa menit sudah lebih dari cukup. Melangkah pulang dengan setumpuk alasan untuk menjawab pertanyaan majikan ""kenapa dari seven tak membawa barang?"". Tapi, aku berharap mereka sibuk dengan urusan masing- masing hingga tak usah menyempatkan untuk melihatku apalagi bertanya.

*****

Pukul 11:00 , aku bersiap pergi Medical Checkup yang dilaksanakan 6 bulan sekali. Harusnya di jadwalkan besok tapi karena besok diberitakan akan terjadi taifung (angin topan) maka jadwal di majukan. Pihak Agency sudah memberitahu majikan, sehingga siang ini aku tidak perlu memasak untuk makan siang. Dan Yi Le pun dibawa orang tuanya ke tempat kerja. Aku menyelesaikan pekerjaan rumah secepat mungkin, setelah sholat Dhuhur aku beranjak meninggalkan apartemen. Agency akan menjemput sekitar pukul 12:45 di lobby bawah. Kulihat seorang wanita paruh baya duduk di kursi ruangan lobby, wajah tropis yang tak asing. Mbak- mbak yang pernah memanggilku dari jendela lantai 4 flat blok B, seblok dengan Mbak Rossa kawanku yang menjaga Bing Yi teman bermain Yi Le.

""Hai Mbak ?,"" sapaku.

""Ha..a..i,"" jawabnya terbata, tersentak dari lamunannya.

Mbak Marni namanya, usianya 46 tahun. Baru kali pertama ke Taiwan. Hari ini mau test kesehatan juga sepertiku. Dan ternyata kami satu agency, hanya beda beberapa hari kedatanganku dengannya. Dan selama hampir 2 tahun, dua kali aku melihatnya, beberapa hari yang lalu dan hari ini.

Tepat 12:50, Mr. Tham sudah tiba untuk mengantar kami menuju Kaohsiung General Hospital, tempat pelaksanaan Medical Checkup.

Mbak Marni, bekerja menjaga Akong (panggilan untuk kakek) yang sudah lumpuh, dan pekerjaan rumah sehari- hari. Majikannya, perempuan single yang sudah berumur, workaholic yang setiap langkah kakinya selalu berlomba dengan detak jarum besi seperti kebanyakan penduduk Taiwan lainnya. Selama hampir 2 tahun ini Mbak Marni tak boleh keluar rumah, bahkan untuk membuang sampah sekalipun. Membawa HP juga tak boleh, berkomunikasi dengan keluarga hanya melalui surat yang dikirimkan majikannya melalui kantor pos. Tapi surat- surat itupun juga tiada berbalas, entah sang majikan mengirimkannya atau hanya membuangnya. Kesepian selalu menjadi kesehariannya ditambah majikan yang hampir tak pernah bicara. Hanya dengan Akong, dia mengutarakan segala isi hati, meskipun tak sedikitpun Akong mengerti. Dia juga tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa mandarin, hanya sedikit kosakata yang dia ingat. Semua dokumen di tahan pihak majikan termasuk buku tabungan, jadi berapa nominal gaji yang tertera di rekeningnya, dia juga tak tahu. Hanya setiap 6 bulan sekali, majikan memanggil agency untuk mengantar Mbak Marni pergi ke Bank mengirim uang ke Indonesia dan pada waktu itu juga majikan memberinya kesempatan menelpon keluarganya untuk memberi kabar bahwa uang sudah dikirim. Agency pun tak bisa berbuat apa- apa, selain selalu menyemangati untuk sabar dan sabar. Mbak Marni bersyukur meskipun hidupnya terkurung dalam penjara tapi majikan bukanlah orang yang tempramental. Dia juga menyadari mungkin tak di ijinkan keluar karena kesibukan majikan yang padat sehingga jika dia keluar, tak ada yang menjaga Akong. Terlintas tanda tanya besar dalam hatinya, sebenarnya Akong hanya lumpuh dan tak bisa bicara, tapi badan masih sehat, kenapa tidak pernah di ijinkan untuk menghirup udara segar diluar sebagaimana Ama (panggilan untuk Nenek) dan Akong yang lain. Padahal Mbak Marni juga yakin bahwa Akong pun bosan setiap hari terkurung dalam rumah. Tapi baik Akong dan Mbak Marni tak bisa berbuat apapun selain pasrah pada keadaan.

Selama perjalanan aku mendengarkan suka duka Mbak Marni, begitupun sebaliknya. Beruntung hari ini hanya kami berdua yang test kesehatan dalam satu mobil, sehingga kami bisa leluasa untuk saling bercerita. Penanda waktu menunjukkan beberapa saat melewati tengah hari. Masih sore, tapi musim gugur membuat matahari tak terlalu lama bersinar sehingga langit sore hari bercahaya redup. Dan kami pun berpisah setelah melewati pintu lobby apartemen Mingcheng. Ada rasa syukur yang tertinggal dalam hatiku, bahwa aku masih lebih baik dari Mbak Marni, masih bisa melihat dunia di luar sana.

*****

Pagi ini suhu di Kaohsiung berkisar antara 20 derajat celcius. Pagi yang dingin, seolah memaksaku untuk tetap bertahan di bawah hangatnya selimut tebal. Ku lirik jam beker di sebelahku. Pukul 05:30, langit masih terlihat seperti pukul 4 pagi. Aku melangkah pelan menuju kamar mandi. Kubasuh mukaku dengan air wudhu, mengharap energi baru hadir dalam diri, bersiap menyongsong hari. Ku melangkah kembali menuju kamarku, mengunci pintu, ku tunaikan sholat Fajar 2 rokaat dan di sambung dengan sholat Subuh. Sambil menunggu jam bekerja, ku isi waktuku untuk tilawah dan muraja'ah Al-Qur'an.

Ibadah bagiku adalah urusan yang primer. Dengan mengingat Tuhan dan menjalankan perintah-Nya, aku merasa punya benteng kokoh yang melindungiku dari pengaruh negatif  di negeri yang menjunjung tinggi kebebasan ini. Dan agama adalah cahaya untuk melangkah di gelapnya kehidupan dunia. Jadi meskipun pihak majikan melarangku untuk beribadah aku tetap melakukannya dengan sembunyi. Pernah suatu ketika aku protes pada agency tentang kebebasan hak beragama bagi BMI, sebagaimana tertera di surat perjanjian kerja. Agency tak bisa mengusahakannya karena itu mutlak keputusan pihak majikan. Bahkan mereka juga dengan tegas melarangku sebagaimana majikanku. Aku berharap pihak KDEI suatu saat benar- benar menjadikan poin 'Kebebasan Beragama' sebagai agenda utama yang juga wajib diperjuangkan sebagaimana agenda yang lain.

Minggu pagi, hari ini mutlak menjadi hari bagiku. Tiga hari lalu aku sudah meminta ijin pada majikanku untuk mengambil libur. Setelah membereskan segala urusan rumah, tanpa usah menyiapkan sarapan, aku melangkah pergi meninggalkan apartemen lantai 14 Mingcheng Rd. Hari ini aku janji dengan Mbak Ana, teman sesama BMI di komplek flat tempatku tinggal untuk pergi berlibur bersama. Tepat pukul 06:30 janji kami untuk bertemu di halte bus yang tak jauh dari apartemen Mingcheng. Mbak Ana sangat beruntung, mempunyai majikan yang baik, pekerjaan yang tidak terlalu berat dengan istirahat yang cukup dan yang terpenting terjaminnya hak beribadah. Kadang aku iri terhadap Mbak Ana, tetapi aku yakin Tuhanku menempatkanku disini untuk menjadikanku lebih baik ketika aku bisa melewatinya dengan tanpa melupakan-Nya.

Ku lihat sosok Mbak Ana berdiri bersandar di sudut halte sambil memainkan HPnya, headset terpasang di telinganya. Ku berjalan sambil berlari pelan menghampirinya. Tak lama kami menunggu, bus no.36 yang akan mengantarkan kami menuju stasiun MRT sudah terlihat mendekati kami. Kami melangkah memasuki bus sebagai penumpang pertama, disambut dengan sapaan hangat di pagi yang dingin dari sang sopir. Aku dan Mbak Ana mengambil tempat duduk di bagian belakang. Jalanan masih lenggang, belum banyak mobil yang lalu lalang. Waktu sepagi ini, dalam suasana bekunya musim dingin, penduduk Taiwan masih terlelap dalam balutan selimut dan baru beraktifitas menyongsong liburan pada pukul 9. Bus yang kami tumpangi meluncur membelah jalanan Kaohsiung, sambil sesekali berhenti di halte untuk mengangkut ataupun menurunkan penumpang.

Di sepanjang jalan kami habiskan dengan mengobrol tentang banyak hal. Mbak Ana adalah kawan terbaikku, darinya aku mengenal tentang seluk beluk negeri Formosa yang 6 tahun ini menjadi pijakannya mencari nafkah. Mbak ana juga yang selalu membagi masakan Indonesia kapadaku, cukup untuk mengobati kerinduan pada Nusantara. Mbak Ana adalah satu dari sekian potret BMI yang beruntung. Aku yakin setiap suka dan duka yang menghampiri adalah sebuah proses panjang dan akan selalu berputar. Proses yang membawa kita untuk bersyukur atau kufur. Dan itulah yang kutemukan dari sosok Mbak Ana, loyal, tak ada sedikitpun rasa pongah, suka membantu sesama yang tidak seberuntung dirinya. Dia selalu memberiku semangat untuk tetap sabar menjalani setiap hal tak enak yang menghampiri, karena dia pernah ada di masa itu sebelum masa ini.

Tiga jam lebih perjalanan tiada terasa, pukul 09:45 kami sampai di pelataran masjid. Sudah banyak kawan BMI yang berkumpul, suasana riuh bergumul disana. Rona kebahagiaan terpancar jelas dari setiap wajah kami. Saling menyapa meskipun tak mengenal, perbedaan suku tak menjadikan kita untuk bersikap cuek. Aku merasakan Nusantara kecil berpindah di Kaohsiung.

Empat musim yang berulang di setiap tahunnya, selang- seling mengiringi kehidupanku 2 tahun belakangan. Beberapa bulan lagi masa kontrakku berakhir. Wajah orang- orang tercinta yang menanti kepulanganku menari di pelupuk mata, dua putri kecilku yang sudah mulai beranjak besar, wajah sayu Ibu yang selalu menjadi orang pertama menangis ketika beban hidup menimpa anak- anaknya. Aku ingin menghadiahkan berbuncah rasa bahagia dan bangga, keberhasilan mewujudkan sekotak kecil impian.

*****

Lani dan Mbak Marni adalah dua dari ribuan potret buruh migran yang kehilangan sebagian haknya, memerlukan uluran tangan negara dan pihak terkait yang sudah meraup keuntungan dari adanya kaum kami. Dari Mbak Darmi kita belajar untuk selalu berhati- hati dengan dunia maya yang sudah menjadi bagian hidup kita di negeri Formosa ini. Mengingatkan tujuan awal datang bukan untuk berfoya- foya, tapi untuk menabung masa depan. Potret Mbak Ana meyakinkan kita, bahwa di balik cerita jahatnya majikan yang selalu menjadi momok masih ada majikan yang baik yang benar- benar menghargai buruh migran.

Kaohsiung, 20 Maret 2015  


Adjudicator: Wisnu Adihartono her story is quite nationalist and she brings the memories about her country - Indonesia. The plot is quite good and she combined the semi formal and formal phrases.

〈寶島框架背後的肖像〉評審評語

蘇碩斌:移民工的百工圖,他最後的整個反省告訴我們這就是真實的台灣。

朱天心:這是我心目中的第一名,他除了「我」,也寫到台灣不同身份的移工的生活。文筆老練、胸有成竹。

李美賢:我也同意。

周月英:我也投它,但分數不是特別高。但對我來說我會有點自我的遲疑,我會覺得這是比較普遍地呈現出一個切面,用一個拼布的方式把這些切面兜攏在一起,最後他一個簡短的結語,可能是我們早就知道的結論。我不知道我們要怎麼看這種拼布式的作品。

李美賢:我覺得他的文字很簡單,但情感是深刻地,裡面也有寫到一些對照。

曾文珍:我看到的是拼貼這麼多人,比較少看到作者自己的觀點,有點像是生活散記。

李美賢:這裡面有一點和其他人不太一樣,他有反省到他自己國家─印尼的角色,這是比較重要的,我會覺得他有比較不同層面的想法,這是其他人沒有處理到的。

蘇碩斌:補充一個,我覺得結尾在提示一點,作者來台灣後把這裡當成安居的地方體驗台灣,用一個老練的價值觀看台灣,我個人是比較喜歡這點的。