Kekuatan Giok

2015/5/14 / ita widiastuti / Kekuatan Giok / Indonesia 印尼  / tidak ada

KEKUATAN GIOK “Kita masih harus menjemput dua orang lagi, dari mucha dan sindhian,” gumam pak sopir setengah baya seperti semacam pemberitahuan kepada kami para penumpangnya. “Bisa pusing nih, Pak! kita diputar-putar,” gerutu teman di sebelahku dengan bahasa ibu agar pak sopir tidak mengerti apa yang tengah dia ucapkan. Aku bisa mengerti apa yang dirasa teman sebangsaku itu, ingin cepat-cepat sampai di bandara Taoyuan, naik pesawat dan tiba di Indonesia tercinta. Tapi bagiku ini kesempatan untuk memandangi setiap sudut jalanan Formosa, mengucapkan selamat tinggal kepada gigil musim negara ini. Berbagi kembali kisah 8 tahun menjadi buruh migran kepada sang bayu. Cerita suka, duka dan penggalan rasa yang tertinggal. “Permen mbak,” tawar salah satu teman yang duduk di jok belakang. Barusan kudengar dari ceritanya dia hanya pulang cuti satu bulan. “Terima kasih.” Jawabku sambil memungut doubbelmint yang dia sodorkan. “Mbak mau pulang cuti atau pulang terus? Sudah lama di Taiwan?” “Pulang terus mbak, lumayan 3 kali kontrak.” Jawabku. “Pantesan gelang gioknya bagus sekali, seperti asli. Itu mahal sekali ya mbak?” “Oh ini pemberian nenek.” “Wah beruntung sekali.” Aku tersenyum menanggapinya, senyum yang sakit mungkin memang aku orang yang sangat beruntung. Ini adalah kontrak ketigaku di Taiwan dengan majikan yang sama. Aku tinggal berdua dengan nenek yang berusia 82 tahun. Tugasku menemani  dan mengikuti nenek kemanapun dia pergi. Ini hal yang menarik bagiku, seluruh tempat wisata di sekitar Taipei sepertinya pernah kami berdua kunjungi. Pesisir Bali, pantai Tamsui, kereta gantung di Maokhong, gunung Yang Ming shan, kebun binatang Mucha, musium nasional Taiwan, kota tua Jiufen, pesisir yilan, pantai keelung dan masih banyak lagi tempat-tempat wisata lainnya.. Keluarga Lu tinggal dan bekerja di Taipei sementara nenek di pinggiran kota Wugu. Mereka sudah menganggapku seperti keluarga sendiri. Berbeda dari kebanyakan orang Taiwan yang berusia lanjut biasa berkomunikasi menggunakan bahasa Hokien, tapi nenek menggunakan bahasa Mandarin dengan aksen yang berbeda. Awalnya ini merupakan satu tanda tanya besar bagiku sebelum akhirnya nenek terbuka tentang hal itu setelah dirasanya aku mampu diajak berkomunikasi dengan lancar. “Aku adalah asli orang Jepang, dulu kakek Lu bertugas di sana selama 5 tahun. Waktu telah mempertemukan kami dan membuat kami saling jatuh cinta. Keegoisan masa muda membuat kami lupa akan keluarga masing-masing. Aku meninggalkan suami dan anak tunggalku untuk ikut kakek ke Taiwan.” Cerita nenek saat aku menemaninya minum teh suatu sore. Matanya menerawang jauh seolah penyesalan tergambar jelas di sudut bola matanya. ‘Keegoisan masa muda’ kata nenek membuatku ingat akan kisahku sendiri, karena keegoisanku menghukum mantan suamiku atas penghianatannnya. Anakkulah yang menjadi korban. Aku menjauh dari keluarga baru suamiku dengan membiarkan anak perempuanku tumbuh dibawah asuhan ibu tirinya. Aku menjadikan Taiwan untuk menghilang mengubur kegagalan rumah tanggaku. Kesibukan menjaga nenek, lingkungan negara ini yang begitu nyaman membuatku berhasil bangkit dari keterpurukan dan rasa sakit. Bagi nenek mungkin aku menjaganya tapi bagiku aku sedang belajar padanya. Belajar hidup dan menjalani kehidupan serta menghadapi segala kesulitan. Formosa di musim dingin selalu melahirkan dongeng-dongen hangat dari nenek. Saat bintang bertaburan di langit nenek akan mendongengkan kisah dewa Hikoboshi dan dewi oriehime. “Sungai bintang itu akan mempertemukan mereka berdua meskipun ada banyak halangan, rintangan, serta dewa-dewi lain yang tidak menyukai kebersamaan mereka. Namun saat bulan purnama dengan sungai bintang mereka akan bersatu kembai. Kami meyakini juga setiap manusia itu ada pasangannya. Kelak saat sudah kembali ke negaramu kamu harus mencari laki-laki yang bisa bertanggung jawab. Kita wanita sudah seharusnya diberi nafkah bukan mencari nafkah untuk laki-laki dan keluarganya.” Serta masih banyak lagi nasehat nenek terutama untuk hidup hemat. “Kata orang, kami ini (orang Jepang) memiliki otak yang lebih pintar karena kami hidup di negara yang sangat dingin. Menurutku selain karena itu kami pintar karena kami mau berusaha untuk mengasah otak. Kami hidup dan terlahir bukan di tanah lebar nan subur seperti negaramu oleh karena itu kami terus berpikir serta berusaha menjadi negara kuat yang ditakuti. Pada dasarnya kemampuan seluruh manusia negara di bumi ini sama asalkan mau berusaha.” Ucapannya seolah membesarkan hatiku untuk tidak psimis dengan kondisi negaraku yang serasa makin hari makin mundur secara finansial dan ekonomi. “Sudah kamu cepatlah tidur supaya besok bangun dengan badan segar bugar, wan an.” Ama mengakhiri cerita malam itu. “Wan an Ama, terima kasih pelajaran hari ini.” Ama beranjak ke kamar kecil yang setiap hari dia bersihkan sendiri itu dan menutupnya pelan. Akupun masuk ke kamarku. Seperti biasa sebelum merebahkan diri di atas ranjang, aku memeriksa ponsel ada satu pesan dari kakak laki-lakiku:    “Pulanglah jika masih ingin melihat anakmu dan jangan pulang jika ingin melihat tanah kuburan anakmu.’’ Lekas-lekas aku pencet nomor hp kakak. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dadaku. Saat bunyi dangdut koplo yang digunakan sebagai nada tunggu di ponsel kakakku berhenti aku langsung menodongnya dengan pertanyaan. “Assalamu‘alaikum, apa yang terjadi, Kak?” “Pulanglah, Amara sakit.” “Sakit? Sakit apa?” “Kanker lambung, sudah 6 bulan anak itu menyembunyikan sakitnya dari kita semua.” Hampir saja ponsel terlepas dari genggamanku, tiba-tiba tubuhku menggigil. Perasaan bersalah menghantam dadaku begitu kuat. Mungkin karena pola makan Amara yang salah, andai saja aku ada di sampingnya mungkin hal ini tak kan mungkin terjadi. “Dokter bilang jalan satu-satunya adalah operasi, untuk itu harus harus ada tanda tangan pasien dan orang tua kandung pasien. Meskipun operasi berhasil akan ada banyak kemungkinan lain yang tidak kita kehendaki.” Ludah yang baru saja kutelan rasanya sangat pahit. Dunia ini serasa berhenti berputar. Dua belas tahun lalu aku melahirkan bayi kecil itu, menyusui dan menimangnya. Karena alasan ekonomi aku meninggalkan dia saat belum genap satu tahun usianya. Arab Saudi adalah tujuanku mengadu nasib. Aku berharap dengan bekerja di luar negeri keluarga kecilku akan mampu memiki rumah sendiri sesegera mungkin. Tidak enak terus-terusan ikut mertua. Namun tidak kusangka aku mendapat majikan yang berbeda dari orang lain. Selama 2 tahun bekerja di rumahnya tugasku hanya menjaga seorang bayi baru lahir. Tanpa boleh keluar kamar, tanpa aku tahu bagaimana perhitungan gajiku. Tiap pagi sebelum berangkat bekerja majikan mengantar bayi dan kebutuhan makan minum selama satu hari. Di kamar itu aku melakukan segala hal. Malam hari sepulang kerja dan beristihat baru majikan mengambil bayinya serta sekedar menanyakan apakah sabun dan shampo sudah habis? Atau apakah anaknya ada keluhan hari ini. Cuma itu saja tidak lebih. Dua tahun aku bertahan menghadapi segala tekanan batin yang kualami. Saat finish kontrak selama 2 tahun aku merasa bebas seperti tahanan lepas dari lapas. Dan cek di tanganku ternyata utuh sesuai total 2 tahun gaji. Tidak sia-sia aku bertahan dalam tekanan perasaan selama ini. Ternyata ujianku belum usai, saat taksi bandara mengantarku tepat sampai di halaman rumah mertua, bukan sambutan hangat yang ku terima melainkan pandangan asing seperti melihat makhluk dunia lain. Aku menyalami mertua laki-laki, lalu mertua perempuan namun bukan pancaran kebahagian yang membayang di wajah mereka, melainkan kecemasan. Akhirnya pertanyaan mengapa mereka bersikap aneh yang bergelayut di benakku terjawab sudah manakala seorang perempuan seumuranku menggendong anakku keluar dari kamar. Wanita itu sepertinya menyadari siapa aku, sementara anakku berpegangan lebih kuat saat aku berusaha menyentuhnya. “Ini Ibu, nak,” Suaraku tertahan di tenggorokan. Hanya air mata yang terus mengalir. Setelah meningglkan sebagian uang aku pulang ke rumah orang tuaku tanpa menunggu Mas Eko pulang. Batinku remuk, pintu kebahagiaan yang aku impikan tinggal mimpi belaka. Bahkan sepertinya aku kehilangan hak seorang ibu atas putriku. Berbulan-bulan aku mengurung diri di rumah. Malas melakukan apapun. Hanya kedua orang tuaku yang ada di samping dan menghiburku. Berkali-kali Mas Eko datang ke rumah mungkin berniat untuk meminta maaf atau menjelaskan sesuatu. Tapi aku enggan menemuinya bagiku semuanya sudah berakhir, kasihan juga istri Mas Eko, pasti akan tersakiti jika tahu kami bicara meskipun tanpa niat untuk kembali. Selama tiga bulan aku terkurung perasaan sesak, marah dan kebencian hingga akhirnya seluruh perasaan itu mengantarku ke Taiwan ini. Mempertemukan aku dengan majikan sekaligus guruku nenek Lu.     Malam ini adalah malam terpanjang sepanjang hidupku, jarum jam keras sekali berdetak. Aku menghitungnya entah sampai hitungan ke berapa sampai nenek membuka pintu kamar. Seperti biasa nenek bangun jam 6, sarapan lalu ke taman bersamaku. Aku beranjak ke dapur setelah menyapa nenek sekilas, aku tidak ingin nenek menyadari betapa sayunya mataku pagi itu. Aku membiarkan nenek menghabiskan susu dan buburnya meskipun perasaanku sepertinya hampir meledak sedari semalam.Ketika kulihat sudah suapan terakhir aku lekas duduk di samping nenek dan memegang tangannya. Mungkin nenek sedikit kaget aku tidak sempat memperhatikan ekspresinya. Rasa di dadaku sudah tidak terbendung. Aku tumpahkan ceritaku kepada nenek. “Kanker lambung?” nenek Lu terperanjat selanjutnya mengelus tanganku, membiarkanku membuncahkan tangis. “Lalu apa rencanamu? Apakah pulang lalu kembali kesini atau kamu ingin berada di sisi anakmu?” Aku menggeleng tanda belum tahu apa langkahku selanjutnya. “Baiklah aku akan menghubungi Take agar berbicara dengan agenmu.” Sebelum beranjak dari kursi menuju meja telepon nenek menepuk bahuku. Aku merasakan kehangatan dari sentuhan tangannya, ketenangan yang menghiburku sejenak. Seandainya yang kujaga adalah orang lain ada kemungkinan dia akan mempersulit ijin kepulanganku yang begitu mendadak. “Aku tahu kalian sibuk tidak ada waktu mengurusku tapi kalian bisa menitipkanku di panti jompo.” Kudengar suara nenek dengan nada tegas untuk meyakinkan anaknya akan bisa  sendiri tanpaku.  Lagi-lagi air mataku tak terbendung nenek rela dititipkan di panti jompo agar tidak ada yang menghalangi ijin pulang dari Take ataupun agent. Dalam 3 hari aku tiket pesawat sudah di tangan, malam itu nenek tidur agak larut, banyak kata yang dia susun hanya untuk menegarkan hatiku. “Jika kamu lemah dan menangis bagaimana anakmu akan tegar? Kamu harus katakan padanya dia harus kuat dia pasti sembuh. Air mata tidak akan menyeleseikan apapun.” “Ini ada sesuatu untukmu.” Nenek membuka kotak merah berlapis bludru, sebuah gelang giok ada ukiran emas berbentuk naga yang melilitinya. “Tidak usah Nek, ini pasti barang berharga milik nenek saya tidak bisa menerimanya.” “Barang seperti ini bisa dicari, tapi nyawa anakmu tidak ada duanya di dunia ini. Aku tahu biaya rumah sakit di negaramu pasti besar sekali. Jika uangmu habis untuk biaya operasi pakai giok ini untuk membuka usaha dan bertahan di negaramu.” Aku peluk tubuh nenek berhati peri di depanku, yang ada di pikiranku saat itu hanya pulang dan menemui anakku tapi nenek sudah berpikir jauh ke depan bagaimana masa depanku kelak setelah menetap di Indonesia. Aku pandangi wajah tirus gadis kecilku yang kini beranjak dewasa, saat ini atas bantuan selang oksigen dia bernapas. Sejak tadi pagi selesei operasi dokter bilang dia harus istirahat panjang menunggu masa kritisnya berlalu. “Tuhan ijinkan hamba-Mu ini melihat mata itu terbuka, biarkan semua sakit yang dia rasa berpindah pada tubuh hamba.” Aku merasa ada tangan halus menyentuh pundakku entah berapa lama aku tertidur di samping anakku. “Ibu masa kritisnya sudah berlalu sekarang anak ibu sudah bisa kami pindahkan ke kamar pasien.” Anakku tersenyum ke arahku, senyum pertama setelah sekian tahun kami berpisah. Di samping suster, seorang dokter berkaca mata sepertinya tengah menatap giok di pergelangan tanganku nyaris tanpa berkedip. Aku sampai kikuk dibuatnya. Tentu saja itu karena saat ini batu giok juga sedang trend di Indonesia. Seluruh keluarga yang menunggu di luar ruang ICU, Mas Eko bersama istri, kedua anak, dan kedua orang tuanya serta kedua orang tuaku sepertinya bernapas dengan lega saat ranjang yang membawa Amara melintas di depan mereka. Amara sepertinya masih terlalu lemah hingga terus tertidur setelah tadi membuka mata sebentar. Kata dokter berumur sekitar 53 tahun yang mengoperasinya mungkin karena efek obat biusnya belum benar-benar hilang. Yang kudengar, dokter bedah itu berasal dari Jepang kemungkinan bukan omong kosong karena sesuai dengan nama yang tertera di dada kirinya, dr. Nakamura. Dulu istrinya orang Indonesia tapi telah tiada karena kanker rahim, jadi dokter itu duda tanpa anak. Aneh sekali kenapa tiba-tiba pikiranku tertuju pada dokter itu. Suster mengarahkan ranjang Amara ke kamar melati nomor 3, aku meminta singleroom untuk anakku agar kondisinya lekas pulih tanpa terganggu pasien lain. “Apakah ibu, ibunya Amara?” “Benar, Dok.” “Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada Ibu, bisakah kita bicara di ruangan saya?” “Tentu saja Dok,” Aku mengikuti langkah dokter setelah menitipkan Amara pada seluruh keluarga yang saat itu datang untuk menjaganya. Sebuah ruangan pribadi yang elegan, rak buku di sebelah kanan dan kiri, guci besar dengan bunga sakura plastik, beberapa lukisan dengan tulisan huruf kanji. “Silahkan duduk,” ujar dokter sambil membuka masker yang sedari tadi menutup sebagian wajahnya. “Terima kasih Dok, apakah ini tentang Amara?” “Jika Tuhan mengijinkan anak ibu akan baik-baik saja. Tapi ini tentang hal lain, giok itu dari manakah ibu membelinya?” tanyanya sopan. Agak kaget, akhirnya aku ceritakan nenek Lu, nenek yang kujaga di Taiwan. Sebelum ceritaku usai Dokter Nakamura mengambil sesuatu dari laci, beliau mengeluarkan sebuah foto lusuh dari dalam diary. Foto keluarga dengan seorang anak berumur sekitar 3 tahun. Ibu di foto itu memakai giok mirip yang aku pakai. Mirip ataukah sama? Ada kemiripan antara wajah itu dengan nenek Lu. Apakah mungkin? “Kamu tahu siapa nama Jepang nenek Lu?” aku menggeleng bodoh belum mengerti benar apa yang telah terjadi. “Ada kemungkinan yang kamu jaga di Taiwan adalah ibuku.”Aku terbelalak apakah mungkin ada kebetulan seperti ini. Ya Allah, agung benar kuasa-Mu. Sejak hari itu Dokter Nakamura sering menghubungiku, meskipun Amara sudah dinyatakan pulih 80% olehnya, tapi masih banyak bahan perbincangan yang Dokter Nakamura hadirkan untukku, terutama cerita tentang nenek Lu. Tapi beliau memintaku merahasiakan pertemuanku dengannya dari nenek. Terakhir, beliau meminta alamat nenek Lu dan mengajakku mengunjunginya.   “Jika kamu setuju kita bisa menjadi keluarga.” Apakah itu artinya dokter melamarku? Dunia ini memang penuh kemungkinan yang tidak mungkin. Kebahagiaan yang dulu pernah hancur berkeping sepertinya kini mulai bersatu menjadi kesatuan utuh. Mungkin nenek benar manusia tercipta berpasang-pasang meskipun terpisah benua kelak akan ada jalan bintang untuk menyatukan. Terima kasih Tuhan, terima kasih nenek Lu.       Tulungagung, 15 Mei 2015
Ita widiastuti