Hijrah

2015/4/11 / Siti Khalimah / Hijrah / Indonesia 印尼 / Tidak Ada

Hijrah

Oleh : Siti Khalimah


""Jika suatu saat nanti aku pergi, dan tak kembali. Ikhlaskan...""

Seminggu belakangan ini Ning lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Bapak hanya bisa Ning jawab dengan sebuah kebohongan yang dibalut senyum kepedihan. Mencoba meyakinkan Bapak, bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa kedua adiknya akan tetap melanjutkan sekolah. Bahwa ibu akan tetap melakukan cuci darah dua kali dalam satu minggu. Bahwa  becak yang setiap hari Bapak kayuh  tidak akan seberat beban yang kini sedang Ning tanggung. Tidak akan. Bahkan ketika Ning mendapati tempat dimana dia biasa duduk manis di balik jendela kaca, menunggu pria-pria kesepian melirik paha mulus yang sengaja Ning perlihatkan, untuk kemudian membelinya dengan harga yang sudah disetujui oleh 'ibu'. Terpaksa harus ditutup oleh pemerintah setempat. Atas nama hak asasi manusia katanya. Atas nama agama. Bahwa menjadi seorang 'penjual kehangatan' demi menafkahi keluarga itu dosa. Ah! Syurga itu jauh. Jauh...
                       ~••~

""Piye si Mbok mu nduk? Bapak wis ndak sanggup."" Keluh Bapak pada Ning suatu senja. Matanya tak lagi mampu menahan tangis manakala mendapati perut ibu yang semakin membengkak.
Ning mendesah. Nafas yang ia hembuskan terasa berat dan penuh beban. Tapi lagi, dihadapan Bapak, Ning harus tetap terlihat kuat dan tegar.

""Besok uangnya Ning kasih Ke Bapak."" Kalimat hambar sarat harapan terlontar begitu saja demi membuat hati Bapak lega. Uang, besok, dari mana lembar-lembar itu akan dia dapat sementara tabungan yang ia kumpulkan selama dua tahun menjadi 'kupu-kupu malam'
telah menjelma gemerincing logam recehan yang kini menjadi jatah uang jajan untuk kedua adiknya. Uang, besok. Lantas akan ia cari kemana?

Sementara tempat sumber keluarnya lembaran-lembaran itu pun sudah tertutup rapat. Wajah Ning berbalut kabut. Mendung meski di luar cuaca tampak begitu cerah. Lunglai langkah yang ia ayunkan menuju tempat yang entah,  sebab sebagian hatinya pun sebenarnya ragu untuk menginjakan kaki kesana.

""Ada tamu buat Ning malam ini?"" Pintanya pada perempuan gembul berpupur dan gincu merah tebal. Demi ibu, Ning menjatuhkan diri (lagi) ke dalam ranjau yang ia ciptakan.
""Besok Ning butuh uang untuk bawa ibu berobat."" Nadanya penuh iba. Ning tahu, untuk mendapatkan uang ia harus bekerja. Bukan meminta. Sementara perempuan yang menjadi tumpuannya nampak layu. Dji Sam Soe yang dihisapnya telah menjadi abu.
""Barangkali sudah pada 'layu' laki-laki di luar sana, Ning!"" Kesalnya.
""Atau barangkali takut mereka sama istri-istrinya!"" Lanjutnya lagi. Kali ini dia melempar puntung yang masih tersisa dan menginjaknya. Tak Ada api, tak Ada asap. Tapi aromanya tetap membuat dada Ning terasa sesak. Ah! Tak Ada lagi harapan. Batinnya.
""Bawa ibumu Ke rumah sakit, Ning. Urusan ganti biar nanti kamu pikirkan lagi."" Tapi lantas perempuan itu mengeluarkan Lima lembar uang ratusan dan memberikannya pada Ning.
""Ibu kamu harus sembuh. Kamu harus cari kerja."" Pintanya.

Tapi Ning terlambat, nafasnya seperti tercekat manakala mendapati gubuk mungilnya ramai oleh penduduk setempat.
""Mbokmu nduk, maafin Bapak..."" airmata itu tumpah. Sementara Ning hanya bisa pasrah. Bersimpuh dalam balutan penyesalan di atas jasad Sang Bunda.
                         ~..~

Masa berkabung yang panjang. Nyaris tak berkesudahan. Lantunan Surah Yassin terakhir di empatpuluh malam kepergian Sang Bunda mengantarkan Ning pada sebuah keputusan paling berat dalam hidupnya.

""Pak..."" Nadanya pelan, penuh kehati-hatian. Sementara Lelaki tua yang dipanggilnya hanya terdiam di ujung ranjang. Merangkul kepedihan, lantas menyembunyikannya dalam balutan selimut.
""Izinkan Ning pergi ke Taiwan."" Sesak dada Ning ketika mengutarakan niat yang ia pendam.

Ning tahu, meninggalkan Bapak, berarti menembah beban hidupnya. Ning tahu, bagaimana Bapak bisa menjaga kedua adiknya Sementara dia harus tetap bekerja mengayuh becak. Tapi Ning juga tahu, jika ia tetap tinggal di rumah dan kembali menjerumuskan diri pada pekerjaan yang sama, ia akan lebih menderita. Maka demi masa depannya, kedua adiknya, serta Bapak yang sudah tak lagi muda. Ning bertekad untuk hijrah. Meninggalkan masa-masa kelam menuju sinar harapan. Bukankah sehabis gelap akan terbit terang?

""Semua keputusan ada di tanganmu, Nduk. Bapak cuma bisa memberikan doa."" Bapak pasrah merelakan Ning pergi. Sebab dia tahu bahwa dia tidak sanggup memberikan yang terbaik untuk Ning dan kedua adiknya.
                        ~••~

Kabut yang menggelayut di rumah Ning sudah berlalu. Berganti harapan-harapan terang yang membuat senyum penghuni gubuk itu mengembang. Setiap perpisahan pasti meninggalkan luka. Tapi ketika Ning pamit ke Jakarta untuk memulai proses perjalanan ke Taiwan, ada rasa suka menyertai setiap jejak langkah Ning. Samar-samar, Ning mulai berani menggores sketsa mimpi. Mimpi tentang sebuah perubahan yang lebih baik telah memberinya kekuatan untuk melalui segala rintangan.

Hingga tiba saat dimana pesawat China Airlines membawa Ning terbang menuju negeri penuh harapan. Taiwan.
Lantas menjadikannya bagian dari keluarga Mr. Wang. Keluarga yang mempercayakannya untuk merawat Ama layaknya dia merawat ibunya sendiri. Bertahun-tahun. Sampai kedua adiknya berhasil menjadi sarjana. Sampai Becak bapak berubah menjadi kendaraan sederhana beroda empat. Sampai gubuk renta itu berubah menjadi bangunan berpagar bata.

Bertahun-tahun. Hingga akhirnya Ning berhasil hijrah dari keterpurukan.

Taipei, 29 Maret 2015