Bring me back my Aminah

2014-05-28 / Jenny Ervina / Bring me back my Aminah / Indonesia 印尼 / Tidak ada

Bring me back my Aminah'

Dan pada akhirnya, dua belas tahun masa pengabdian Aminah di keluarga Mr. Chang harus terhenti. Manakala ia memutuskan kembali Ke tanah air dan memilih untuk hidup bersama ananda Ana yang telah ia tinggalkan bertahun-tahun silam. Sudah saatnya ia menebus rasa kesepian anak gadis semata wayang yang ia titipkan pada si mbah di kampung sana.

"When you come back to Hongkong again, Aminah?" Sebuah dilemma membelenggu langkah Aminah. Dua belas tahun bukan waktu yang singkat untuk begitu saja melepaskan setiap jejak kenangan bersama Joshua. Anak lelaki yang ia asuh bahkan sebelum suara tangisnya menghebohkan sesudut ruangan di rumah sakit tempat Mrs. Chang mempertaruhkan hidup dan matinya.

"Aminah, will you come back again, please...?" Dan, ah! Meski ia kerap merasa kesal dengan tingkah nakal anak itu, tapi toh anak itu pula lah yang selama dua belas tahun menjadi pelipur lara saat ia menanggung rindu pada Ananda Ana. Maka hanya airmata yang merembas membasahi pipi Aminah yang menjadi jawabnya.

"I will be a good boy and work hard, Aminah. I will earn much money so I can go to Indonesia someday. Wait for me..." Joshua terisak. Bagaimanapun, Aminah sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Anak itu bahkan lebih menyayangi Aminah ketimbang kedua orangtuanya yang kerap diperbudak oleh waktu. Pekerjaan membuat keberadaan Joshua tersisihkan.

"Its for your future, dear...your mom and dad of course love you." Dan itulah jawaban yang selalu Aminah lontarakan manakala Joshua menuntut sedikit perhatian terhadap kedua orangtua yang jarang didapatnya. Lantas memberikan Joshua pelukan terhangat seraya menyenandungkan lagu yang itu-itu saja sampai akhirnya anak itu tertidur. 'Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky...' Dan Aminah pun ikut terlelap dalam buaian lagu yang ia senandungkan. Lagu yang juga ia kirimkan untuk Ananda Ana. Sebab ia tahu, si mbah tidak mungkin bisa menyanyikannya. Ya, Ananda Ana. Gadis kecil yang dulu ia tinggalkan itu kini pasti sudah tumbuh seperti Joshua.

"Aminah, I will miss you..." Tangis itu pun akhirnya membuncah. Mr. Dan Mrs. Chang bahkan tidak bisa melepaskan pelukan keduanya. Mereka pun sama. Ya, mereka pun merasakan apa yang dirasakan Joshua. Kehilangan. Dan itu tentu sangat menyakitkan. Tapi inilah keputusan Aminah. Merelakannya pergi, berarti menyempurnakan kembali kebahagian Ananda Ana.

"Mo ham la sou ci. Lei yiu kuai kuai teng Mommy Daddy hua. Ho mo?" (Jangan menangis, kamu harus nurut, dengar apa yang mommy daddy katakan, ya?) Meski berat, toh Aminah harus melepaskan pelukan itu. Di ciumnya rambut Joshua dengan penuh cinta. Diusapnya airmata yang terus mengalir dari mata sipitnya. Baginya, inilah perpisahan kedua terberat yang ia lalui. Setelah sebelumnya, dulu, ia harus menyerahkan Ananda Ana dalam pelukan si mbah. Ketika ia memutuskan untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita di Hongkong. Apapun jalan yang ia pilih, tentu demi masa depan Ananda Ana. Sebab sang ayah sudah melepas tanggung jawabnya.

"Ho, li ke pei lei." Tangis Joshua mereda, tangan mungilnya menelusup Ke dalam saku celana demi mengambil sesuatu. Selembar foto yang Aminah abadikan lewat kamera handphone hadiah ulang tahunnya dari Mr. Dan Mrs. Chang tahun lalu. Joshua meminta pada sang mommy untuk mencetaknya tadi malam. Nyata terlihat Aminah memeluk Joshua dengan penuh kasih sayang di sebuah Taman di sekitar apartment. Tempat dimana Aminah selalu mengajaknya bermain selepas pulang sekolah. Taman yang juga tempat berkumpulnya para mba-mba TKW lain dari berbagai peloksok di Indonesia sana. Mereka pun sama seperti Aminah, sama-sama berjuang demi kehidupan keluarga yang lebih baik. Sementara Joshua, masih dengan seragam yang belum ia tanggalkan. Larut dalam ketulusan yang Aminah ciptakan. Tertawa memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang terawat rapi. Tawa yang membuat pipi chubby itu menyembul merah menutupi mata sipitnya. Sebab cinta, lahir dari sebuah ketulusan.

"Ngo hoi kuai kuai ga la. Tan hai le, lei fan yanna ge shi ho. Lei yiu ta pei Ngo, ho mo?" (Saya akan jadi anak yang baik. Tapi, nanti kalau kamu sudah pulang Ke Indonesia, kamu harus telephone saya, ya?" Aminah tersenyum. Disimpannya Selembar foto yang Joshua berikan Ke dalam tas LV pemberian Mrs. Chang. Yang di dalamnya juga terselip sepuluh lembar ribuan dollar Hongkong dari Mr. Chang. Untuk Ananda Ana katanya. Kedua titipan itu akan ia berikan dan perlihatkan nanti pada Ananda Ana. Lantas kembali memeluk anak itu sebelum akhirnya pamit undur diri dalam kerumunan antrian pemeriksaan petugas Imigrasi bandara. Aminah pulang. 'And thank you for everything, Hongkong...' Aminah tersenyum, mantap dalam langkahnya menuju rumah. Kembali dalam pelukan Ananda Ana.
~••~
12 tahun kemudian...

Anak lelaki itu tumbuh menjadi Jejaka berkacamata. Tubuhnya tegap dan berpundak kokoh. Langkahnya mantap. Tidak seperti laki-laki Tionghoa kebanyakan. Kulit putih masa kecilnya kini menjadi pudar kecoklatan. Anak lelaki kecil yang manja itu telah tumbuh menjadi petualang. Mendaki gunung, menyelam lautan, menyatu dengan alam. Ya, Joshua yang Aminah tinggalkan dua belas tahun lalu. Lebih memilih mencari kesibukan di luar daripada harus mengemis kasih Sayang yang jarang didapatnya di dalam rumah. Semenjak Aminah pergi, anak lelaki itu telah belajar banyak untuk bisa hidup mandiri. Meski kadang, ia kerap merindukan kehadiran Aminah. Sebab hanya berlangsung satu minggu sekali selama hampir satu tahun Aminah memberi kabar. Selanjutnya, suara Aminah hanyalah menjadi sebuah gema rindu yang terus mendengung di kamar tempat dimana Aminah menemaninya tidur sewaktu ia masih kecil.

Kini, lelaki itu tengah termenung di sebuah Perpustakaan. Sebuah tugas berat sedang menanti keputusannya. Dua lembar surat undangan pertukaran pelajar dari dua Universitas beda negara nyaris membuatnya tidak bisa tertidur belakangan ini. Satu lembar datang dari Polytechnic University of the Philippines, Manila. Sementara lembar yang lain datang dari Universitas Brawijaya I Malang, Indonesia. Joshua yang tengah mengenyam Pendidikannya di HKU Space Human resources management sedang diripuhkan oleh thesis. Banyaknya pekerja asing di Hongkong, terutama buruh migrant yang datang dari Indonesia dan Philippina, menjadi salah satu bahan penelitian yang ia pilih untuk menentukan akhir pendidikannya. Dan tentu saja ini bukan hanya sekedar penelitian. Tapi juga tentang jalan kesempatan agar ia bisa mencari Aminah. Pekerja asal Indonesia yang dulu pernah menjadi bagian dari keluarganya. Dan Ah! Bukankah dulu ia pernah berjanji pada Aminah untuk datang Ke Indonesia? Negeri yang kaya dengan keindahan alamnya yang dulu sering dikisahkan Aminah. Maka mungkin inilah saatnya untuk Joshua menunaikan janji itu.

Dan keputusannya sudah tidak bisa dirubah. Maka satu bulan jatah waktu dari pihak Universitas Brawijaya harus ia gunakan dengan sempurna.
~••~

Pagi yang hangat di akhir musim semi. Bus khusus airport dari Kowloon Bay membawa Joshua Ke Bandara Chek Lap Kok. Tempat dimana dulu ia melepas kepergian Aminah. Ah! Wanita itu kini pasti sudah beranjak tua.

"Kalau di Indonesia nanti kamu bertemu dengan Aminah. Tolong Mommy kasihkan gelang Giok ini. Untuk anaknya, Ananda Ana. Dia sekarang pasti sudah besar seperti kamu." Perhatian Mommy untuk Aminah ternyata belum hilang meski sudah dua belas tahun berpisah. Dan ya, Ananda Ana. Anak gadis yang sering Aminah ceritakan itu, yang kadang tak jarang membuatnya cemburu. Sebab betapa beruntungnya ia karena memiliki ibu seperti Aminah. Ia pasti akan mencarinya.
~••~
Pesawat China Airlines mendarat manis di Bandara Juanda, Surabaya. Kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Ya, Surabaya. Kota yang juga dulu Aminah ceritakan yang masih tertulis jelas di memorynya. Di Bandara Juanda ini, dulu. Dengan segala harapan demi masa depan Ananda Ana, ia telah membulatkan tekad menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita di Hongkong. Berbaur bersama puluhan wanita-wanita lain yang dikirim oleh berbagai agency dari kota ini.
Ah! Betapa diam-diam ia menyimpan kekaguman tersendiri pada wanita-wanita hebat yang berasal dari Indonesia yang banyak bertebaran di setiap sudut negerinya. Pekerja keras, penyabar, patuh dan tak pernah mengeluh. Seperti Aminah. Ya, seperti wanita yang dulu sering ia ripuhkan dengan segala kekacauan yang sengaja ia ciptakan. Betapa rentang waktu dua belas tahun itu tidak cukup untuk melunturkan rasa rindunya terhadap Aminah.
Dan hari ini ia sudah menunaikan janjinya. Datang Ke Indonesia. Meski mutlak bukan hanya bertujuan untuk mencari alamat yang tertera di photo copy surat perjanjian kerja yang telah ditanda tangani oleh Aminah dan Mommynya dua puluh empat tahun silam.
: Kampung Singosari, Malang.
Kota yang juga akan menjadi tempat tinggal Joshua dalam waktu sebulan kedepan.
~••~
Sementara di sudut lain, seorang wanita berjilbab yang diutus pihak Universitas Brawijaya untuk menjemput kedatangan Joshua di Bandara terlihat ripuh. Selembar photo seukuran baliho ia angkat tinggi-tinggi. Matanya tak luput dari lalu lalang para penumpang pesawat yang satu persatu keluar dari bandara. Mahasiswi muda nan anggun itu adalah juga seorang aktivis buruh migrant yang tengah disibukan oleh tugas bernama thesis. Tanpa ia sadari, Joshua memperhatikan wanita itu dari kejauhan. Memastikan bahwa selembar photo lengkap dengan nama yang tertera adalah benar atas namanya. Melihat keluguan wajah wanita itu, rasa usilnya pun tumbuh. Ia sengaja tidak segera menghampirinya. Ia sengaja keluar dan diam-diam berdiri di samping wanita yang wajahnya kini mulai terlihat panik. Sebab orang yang ditunggunya tidak juga menanampakan diri.

"Excuse me, who are you waiting for, Miss?" Joshua iseng, sambil satu tangannya menyeret koper dan meletakannya persis di samping wanita itu. Sementara tangan yang lain membenarkan posisi ransel berisi laptop dan document-decument penting.

"My friend, he come from Hongkong." Wanita itu spontan menjawab tanpa sedikit pun menoleh Ke arah Joshua.

"Is he handsome, like me?" Joshua kembali jahil, kali ini lengkap dengan senyum kemenangan karena telah berhasil mempermainkan wanita itu.

Dan, well...pertanyaan Joshua kali ini memaksa wanita itu secepat kilat menoleh ke arahnya. Photo seukuran baliho itu ia turunkan. Pegal sudah kedua tangan itu dibuatnya.
Sempat beberapa detik keduanya terjebak dalam pandang yang tak bisa diartikan. Sebelum akhirnya, wanita itu tersadar bahwa sosok yang Ada di hadapannya Saat ini adalah orang yang ia tunggu.
Ah! Kalau saja bukan karena dalam rangka menghormati tamu, habis sudah Joshua dalam kuasa wanita itu.

"Sorry for making you wait me..." Nadanya tulus, membuat amarah yang wanita itu tahan seketika pupus.

"We're late. Prof. Oktavian waiting for us at our campus." Satu kalimat ia selesaikan dalam satu tarikan nafas. Lantas menyambar koper milik Joshua dan menyeretnya menuju tempat parkir.

"Hey, what are you doing?" Tanya Joshua setengah berteriak. Kemudian menyusul langkah wanita itu.

"Let me help you, Mr..." Jawab wanita itu sambil membenarkan posisi kerudungnya.

"No, I'm a man. I can do it by myself." Oh! Well. Whatever. Tanpa memperpanjang debat, wanita anggun berkerudung cokelat itu memberikan kembali koper Ke tangannya. Lantas berjalan menuju mobil di tempat parkir. Seorang supir tengah terkantuk-kantuk menunggu kedatangan mereka. Setelah barang-barang dimasukan Ke dalam bagasi, lantas mempersilahkan Joshua duduk di samping Pak Sopir. Mereka pun melaju meninggalkan Surabaya menuju Malang.
~••~
Surabaya yang gersang tak luput dari bidikan kamera poket milik Joshua. Baginya, setiap perjalanan adalah jejak yang harus ia abadikan dalam sebuah bingkai kenangan. Senyum manis milik wanita berkerudung cokelat yang tengah duduk manis di bangku belakang diam-diam juga menjadi sasaran. Joshua sudah tidak asing melihat pemandangan wanita berkerudung. Sebab di negerinya. Hongkong. Para buruh migrant itu pun tetap pada pendiriannya. Bukan hanya memakainya pada Saat mereka libur di hari minggu dan berkumpul di Victoria Park, tapi juga pada saat mereka bekerja.

"Wanita berkerudung itu ibarat barang yang masih tersegel yang dipajang di etalase. Harganya pasti lebih mahal ketimbang barang yang diobral terbuka yang siapa saja bisa menyentuhnya." Kata Aminah dulu, yang juga selalu tidak lepas dari penutup kepalanya. Bagi kebanyakan para majikan di Hongkong, terutama bagi keluarga Joshua sendiri. Kebebasan penampilan seseorang tidak lah penting. Sebab yang terpenting, adalah bagaimana mereka bisa menyelesaikan setiap pekerjaan dengan sempurna.
Tapi entahlah, seiring berjalannya waktu, kata-kata Aminah tentang perempuan berkerudung sepertinya sudah tidak lagi berlaku. Sebab nyatanya, seperti yang sering ia baca dan lihat di berita. Mereka memakainya bukan karena kewajibannya terhadap Tuhan yang mereka sembah. Tapi karena fashion yang mereka puja.

Ah, sudahlah. Toh nyatanya Saat ini perempuan berkerudung cokelat itu malah tertidur. Jadilah sepanjang perjalanan Joshua sibuk sendiri dengan kameranya.
Surabaya gersang berganti pemandangan kota Malang yang hijau. Tapi rasa lelah setelah melewati perjalanan panjang akhirnya membuat Joshua tertidur juga.
: Jl. Mayjen Haryono 169, Lowokwaru, Malang 65145, Jawa Timur. Sebuah bangunan kampus yang anggun dengan Taman hijau yang menghiasi sekelilingnya, adalah sebuah keistimewaan tersendiri bagi para mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di kota ini. Di sebuah lapangan parkir, Pak Sopir tua itu menghentikan mobilnya.

"Hey, wake up! And welcome to our campus" tangan wanita itu mencoba menggoyang-goyangkan lengan berotot yang masih terlelap. Membuat matanya perlahan terbuka dan mengucapkan Bahasa planet yang tidak wanita itu mengerti.

"O i ga hai pi na?" (Sekarang saya dimana?) Sambil menguap dan menggeliat. Baginya, pemandangan yang ia saksikan Saat ini seperti masih dalam mimpi.
Sementara wanita itu hanya mengernyitkan alis. "What are you talking about?"

Oh! Ya...mendengar suara wanita itu Joshua akhirnya benar-benar terjaga.
"Mmm, sorry. Where are we now?"

"Welcome in our campus. Brawijaya, Malang." Setelah menyelesaikan kalimatnya, mereka pun keluar dari mobil. Wanita itu membawa Joshua Ke sebuah ruangan dan memperkenalkannya kepada Prof. Oktavian. Professor pendamping yang akan membantu kelancaran tugas Joshua dalam melakukan penelitian.

"Ana will help everything you need about the research. If there's any problem. You can find me here." Kata laki-laki dengan kemeja batiknya itu penuh wibawa.
Ya, Ana. Dan wanita berkerudung cokelat yang menjemput dan menemaninya sepanjang perjalanan itu bernama Ana. Ah! Dan tetiba Joshua merasa bahwa waktu sebulan itu tidak akan cukup untuk mengenalnya lebih dekat.
~••~

Maka selanjutnya menjadi hari-hari yang menyenangkan bagi Ana dan Joshua. Karena keduanya bisa bekerja sama dengan baik. Ana banyak bertanya tentang kehidupan para buruh migrant di Hongkong. Yang dalam setiap penjelasan dari Joshua harus ia bayar dengan mengajaknya keliling kota Malang. Kesejukan dan alam hijau kota Batu. Pesona keindahan matahari terbit dari Gunung Bromo. Juga air terjun Coban Rondo tak luput dari penjelajahan keduanya. Selain juga tempat-tempat yang memang wajib Joshua kunjungi demi nasib thesisnya. Adalah penampungan demi penampungan yang menjadi tempat pelatihan para Tenaga kerja wanita sebelum akhirnya mereka dikirim ke negara yang menjadi tujuan.

"My mom also migrant worker. She work for twelve years in Hongkong before." Pada suatu ketika di sebuah angkringan di alun-alun kota Malang. Setelah mereka mengunjungi salah satu penampungan di Singosari. Ana mulai berkisah tentang kehidupan pribadinya.

"Really? And where's she now?" Joshua yang sudah mulai terbiasa dengan makanan Indonesia berusaha masuk dalam kisahnya.

"She passed away two years ago. Cancer." Wajah anggun itu berubah mendung. Joshua bisa merasakan kehilangan itu. Ia ingin memeluknya. Tapi rasa enggan hanya membuatnya bisa memandang penuh iba.

"Oh! Sorry...."
Malang yang basah pada akhirnya. Sebab gerimis tetiba menjelma hujan yang menderas. Seperti airmata yang menetes di pipi Ana.
~••~
Maka tinggal tersisa dua minggu jatah Joshua untuk menetap di Indonesia. Kesibukannya dalam mempersiapkan jurnal untuk bahan thesis membuat ia lupa pada satu hal. Aminah, dan gelang giok titipan sang mommy untuk anaknya, Ananda Ana.

"Let's me take you to my village, Joshua..." Di suatu pagi yang basah. Ana mengajak lelaki itu menaiki becak Ke suatu tempat. Wajahnya sudah tak lagi mendung seperti kemarin lalu.
Joshua manut dan menjadi buntut. Baginya, menikmati setiap perjalanan bersama wanita itu adalah sebuah hal yang menyenangkan tersendiri.

: Seperti sebuah sanggar, menyerupai pendopo berupa candi. Para wanita muda, setengah baya, bahkan yang hampir menjelang manula. Semua berkumpul dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dengan mesin jahitnya, kerajinan tangannya. Pendopo yang luasnya hampir setengah lapangan bola itu seperti bernyawa. Riuh tawa disela-sela keripuhan mereka yang menjadi ruhnya.

"They are worked as migrant worker before." Ana mulai menjelaskan. Sementara mata Joshua sibuk merekam pemandangan baru yang sedang ia saksikan.

"This place is specially set up for them." Kali ini Ana mengajaknya Ke sebuah ruangan. Lantas duduk di sebuah bangku bambu yang hampir usang di dekat Jendela. Memandang tawa-tawa tanpa beban yang terukir dari para wanita mantan Tenaga Kerja yang memilih untuk mengekspresikan diri di tempatnya. Berwirausaha, berbisnis, dan membuat laju perekonomian di kampung itu bergulir.

"Who built this place?" Tanya Joshua sembari mengembalikan kesadaran Ana. Tapi lantas dia mendesah, ia menunduk dalam diam. Teringat akan ibunya yang sudah tiada. Betapa mimpinya untuk mensejahterakan para wanita di kampungnya kini sudah terwujud. Ana, satu-satunya harapan yang ia didik dari hasil jerih payahnya selama dua belas tahun menjadi TKW telah berhasil memenuhi petuah sang bunda.
"My Mom..." Jawabnya pelan terhalang tangis yang tertahan.
Dan pada saat terucapnya jawaban yang terlontar dari Ana, mata Joshua menangkap sebuah potret usang yang terpajang di atas meja kerja. Pada saat itulah roda dunia seolah berhenti. Hanya satu kata yang membuatnya yakin bahwa apa yang ia saksikan adalah nyata.
"Aminah..."
Ya, dan Joshua yakin potret itu adalah potret yang ia berikan kepada Aminah dua belas tahun silam.
Ana tercengang.
"And you, Ananda Ana..." Lantas Joshua memutar badan Ke arah Ana. Memandangnya dalam mimik wajah kemustahilan.
"Finally I find you!" Senyumnya merekah. Keajaiban. Takdir. Adalah rahasia Pemilik Semesta.
~••~
Joshua bersimpuh luruh di atas tanah pusara. Rumput-rumput nan hijau serta taburan bunga segar menghiasi pembaringan terakhir dimana Aminah disemayamkan dua tahun silam. Ia tergugu dalam doa pengormatan. Betapa ia sangat merindukan Aminah. Sementara Ana, hanya berani menyembunyikan tangisnya dalam usapan ujung kerudung. Berdiri mematung di balik punggung Joshua. Betapa bukan hanya dia seorang yang merasa kehilangan. Tapi Joshua juga. Anak lelaki nakal yang sering Aminah ceritakan selepas kepulangannya ke Indonesia.

"Will you go to Hongkong with me, Ana?"
Dan benar, waktu satu bulan itu tidak cukup. Berkat bantuan Ana, Joshua telah berhasil menyelesaikan tugas penelitiannya dengan baik. Jurnal yang ia tulis telah di approve oleh Prof. Oktavian sebelum nanti dia serahkan kepada Mr. Wang. Dosen di kampusnya.

"No, I will stay here. In my country. They need me more than your family. And I didn't want to let them leave their children. Like my mom leave me..." Jawabnya tegas seraya tersenyum memandang Ke arah para wanita-wanita yang tengah bercanda di sela kesibukan mereka.

"Well, I know. This is for you. From my mom. And thanks for everything, Ana..." Maka akhirnya gelang Giok titipan sang mommy telah berpindah Ke tangan Ana. Tepat sehari sebelum Joshua kembali ke tempat asalnya. Hongkong.


Kowloon Bay, 23 Mei 2014.
-From Hongkong with a thousand story-


Recommendation(評審評語);
Hubungan dan kedekatan secara emosional yang tergambar dalam cerita “Bring me back my Aminah “ antara pengasuh (Aminah) dengan anak yang diasuh (Joshua) serta penggunaan bahasa asing (inggris) dalam beberapa dialog menjadikan cerita ini sangat berkwalitas. Selain itu pertemuan antara Joshua dengan Ana (putri Aminah) di tempat usaha yang dibangun Aminah sebagai mantan TKW membuat alur cerita menjadi lebih realistis dan perlu diteladani.