Muslimah Sederhana yang Qorriy

2014-04-22 / c'rhoom / Muslimah Sederhana yang Qorriy / Indonesia 印尼 / tidak ada

Muslimah Sederhana yang Qorriy
Sebut saja namaku Siti Romelah. Teman – teman akrab memanggilku C'rhoom ( dibaca Sirom). Aku lahir sebagai warga Cilacap, tepatnya tanggal 19 Juli 1992.
Bermula dari sebuah keputusan perceraian Ayah dan Ibuku. Hidup sederhana menjadi kebiasaan keluargaku. Aku anak ke-2 dari tiga bersaudara. Kakakku sebagai TKW di Luar Negeri, sedang adikku masih di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kami tinggal ber-4 bersama Ibu yang sekaligus menjadi Ayah bagi kami. Pengorbanan dan perjuangan Ibu untuk membesarkan kami ber-3 seorang diri dengan menyandang gelar “janda” patut diacungi jempol. Ibu hanyalah seorang wanita renta yang menghabiskan waktunya di sawah.
Langkah demi langkah ku arungi. Banyak pelajaran yang Aku peroleh dari setiap kejadian yang ada. Ada tangis, tawa, suka dan duka. Masa – masa sekolah menjadi masa terkenang dalam ingatan. Saat masih Sekolah Dasar, belum ada cerita yang layak untuk dipaparkan. Seorang anak kecil yang masih merengek di bawah ketiak Ibu demi sebuah mainan dan jajan. Saat omelan Ibu yang mendarat di gendang telingaku hanya karna ada sisa busa yang tertinggal di kupingku. Saat musim hujan datang tentu banyak cairan kental yang mengalir dari lubang hidungku. 6 tahun telah ku lalui, dengan bangga menenteng ijazah berpredikat lulus.
Memasuki masa SMP, melewati masa orientasi siswa, tiba saat untuk membuka buku pelajaran. Aku salah satu siswi termuda di kelas, bertubuh kurus kecil membuatku mendapat julukan “anak kecil”. Sampai saat ini, julukan itu masih tetap melekat padaku. 3 tahun berlalu, aku dinyatakan lulus dengan juara 3 di sekolah. Hal yang sangat tidak ku sangka sebelumnya.
Ku gantungkan cita – cita setinggi langit. Namun sayang, Ibu menyerah untuk membiayaiku sekolah SMA. Dengan tekad dan semangat membara, aku memilih untuk bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga. Beres – beres rumah menjadi aktivitasku kala itu. Ku sisihkan gajiku yang hanya Rp. 400.000,- / bulan dalam satu tahun. Uangku hanya cukup untuk daftar ulang SMA dan membeli perlengkapan sekolah. Beruntung kakakku yang saat itu bekerja sebagai TKW di Singapura berkenan membiayai sekolahku.
Dari sinilah, cerita pahit itu aku rassakan. Layaknya anak ABG lainnya, aku hadir sebagai wanita yang kuat dan tegar, ceria dan mudah bergaul ( kata temen – temen ). Namun, itu hanyalah cashing yang mampu tertangkap retina. Tak pernah ada yang tau hati dan pikiranku, kecuali aku dan Allah.
Cerita itu bermula dari kebiasaan menangkap kupu – kupu cantik yang terbang bebas di taman sekolah. Aku yang sangat terobsesi menjadikannya hiasan pada jam dinding. Berkat bantuan teman sejawat, akhirnya kupu – kupu itu mampu kami sulap menjadi sesuatu yang fantastis.
Memasuki tahun pertama semester 2. Aku mulai sering jatuh sakit. Sesak nafas dan pusing menjadi keluhanku saat itu hingga aku pingsan. Tak terhitung berapa kali aku tak sadarkan diri dalam kurun waktu satu minggu. Aku bukan lagi gadis ceria, melainkan gadis murung tanpa asa. Segala cara Ibu lakukan demi kesembuhanku. Termasuk diantaranya mendatangi para normal ( keyakinan di desaku). Percaya atau tidak, menurut terkaan para normal itu, menangkap kupu – kupu itulah yang menjadi kesalahanku hingga aku seperti itu.
Aku kalut. Seakan ingin ku akhiri semua ini dengan kilat. “ asaku telah pupus” pikirku dalam benak. Hasil rongsen tak mampu membeberkan penyakitku. Aku hanya bisa membuat air hangat Ibuku mengalir deras membasahi pipinya setiap kali aku mengerang kesakitan. “ Ibu, aku pasti bisa mengganti tiap tetes air matamu dengan senyuman termanismu “ janjiku kala itu. Aku hanya mampu mencoba untuk tegar dan sekuat batu karang. Berharap Allah memberikan solusi dari masalahku.
Selayak remaja lain, aku pun ingin memiliki seorang kekasih. Namun, aku salah memilih. Dia bukan meminjamkan bahunya untukku bersandar saat aku terpuruk, tapi justru menjatuhkanku pada jurang kegelapan. Aku layaknya permen tak terbungkus yang terjatuh di lantai yang kotor. Begitu banyak orang yang lalu lalang, tak ada satupun yang sudi menoleh. Aku tak layak untuk dibandingkan dengan permen yang masih layak konsumsi yang terjejer rapi di supermarket.
Ku telan segala tanya yang melintas di pikiranku. Ingin rasanya ku lontarkan sejuta pertanyakan kepada Allah atas semua kejadian ini. Namun, ku sadari, aku hanyalah lakon yang sedang memainkan peran sesuai naskah yang telah tertulis di yaumul mahfudz, dengan Allah sebaik – baiknya sutradara. Ku yakini ada hikmah di balik kepiluan ini. Kepahitan itu memotivasiku untuk membuktikan kepada dunia bahwa aku bukan lah anak yang cengeng dan rapuh, melainkan seorang gadis yang tangguh.
Singkat cerita, sampaillah aku di Negeri Formosa ini. Saat ini aku genap 16 bulan terhitung. Kebahagiaan Ibu menjadi motivasi utamaku. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa membuat rumah untuk Ibu, meski hanya sederhana. Kebahagianku tak sampai disitu saja, ku temukan brosur UTT ( universitas Terbuka Taiwan). Secercah harapan yang dulu ku kubur dalam – dalam, kini mulai remang – remang terlihat. Keinginan untuk meraih cita – cita kembali timbul. Dengan kerendahan diri dan keyakinan pada kuasa Allah, aku beranikan diri meminta izin untuk kuliah, bersyukur majikan menyetujuinya. Kini aku lalui hari – hari dengan menjalankan kewajibanku sebagai TKI dan belajar sebagai mahasiswa semester 1 jurusan manajemen.
Di balik ketegaranku, tentu ada pihak yang sangat berpengaruh. Sujud syukurku kepada Allah atas segala rahmat dan hidayah hingga aku bisa menemukan arti sebuah kebahagiaan. “Terima kasih Bu, atas kesabaran dan doa – doamu selama ini”, ucapku kepadanya. Ucapan terima kasihku juga ku sampaikan untuk teman – teman dan sahabat yang slalu mensuportku kala aku merengek.
Akhir kisah, ku temui seorang gadis yang mengajariku tetang manhaj salaf. Aku mulai mendalaminya. Menjalankan yang haq dan meninggalkan yang bathil. Tentu semua itu atas kuasaNya.” Terima kasih ya Allah atas segala karuniaMu” sebait syukurku dalam sujudku. Belajar dari masa lalu, tak ingin rasanya kembali mengulang masa itu. Bertekad untuk bilang “ jangan ajak aku pacaran, tapi ajaklah aku ke pelaminan”. Begitulah secuil kisahku. Aku hanyalah “muslimah sederhana yang Qorriy ( kuat )”.