Kabur! Bukanlah Jalan Keluar

2014-04-23 / Evi Agustika / Kabur! Bukanlah Jalan Keluar / Bahasa Indonesia / Tidak ada


Kabur! Bukanlah Jalan Keluar

By : Evi Agustika

Tak ada seorang pun yang mau berpisah dengan keluarga dan orang-orang terkasih. Namun apalah daya ketika takdir berkata lain. Seperti diriku yang terpaksa harus meninggalkan suami dan anak semata wayang kami jauh pergi ke negeri seberang yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya.

Ini semua terjadi setelah bisnis yang kami jalankan gulung tikar dengan meninggalkan hutang pada bank. Dalam kondisi yang serba terdesak itu, aku mendapat tawaran dari seorang sponsor di kampungku untuk bekerja ke luar negeri.

Awalnya suami dan seluruh keluarga besarku tak mengizinkan. Tapi, berkat kegigihan dan alasan yang tepat aku nyatakan kepada mereka, akhirnya mereka pun menyetujuinya. Mulailah aku menjalani proses persiapan untuk bekerja ke luar negeri. Taiwan, menjadi negara tujuanku.

Aku harus mengurus segala dokumen kerja. Melalui PPTKIS ( Pelaksana Penempatan  Tenaga Kerja Indonesia Swasta) yang merekrutku, di sini menjadi awal proses keberangkatanku.

Dua bulan menunggu, akhirnya aku mendapatkan tawaran job. Pimpinan PPTKIS tempatku bernaung, menyatakan aku akan dipekerjakan di sebuah pabrik produksi atau sektor formal. Namun karena aku tidak membayar uang beli job, maka masa potongan gajiku pun semakin lama.
(Sebagai pengetahuan, untuk job pabrik/formal PPTKIS tempatku mematok biaya penempatan sebesar 40 juta rupiah jika tanpa potongan, atau berkisar antara 25-30 juta rupiah jika masih berhutang pada bank dan harus dicicil dengan memotong gaji kami selama 10 bulan).

Tapi pimpinan PPTKIS yang merekrutku, mampu memberi pinjaman kepada kami yang tidak mempunyai biaya untuk membayar job pabrik dengan rincian potongan gaji kami selama satu tahun awal masa kerja. Namun itu tidak berlaku untuk pekerja non formal atau perawat jompo.

Akhirnya aku menyetujui dan menandatangani kesepakatan kontrak kerja formal dengan masa potongan satu tahun, dan inilah awal kehidupan baruku di negeri Taiwan.

***

Akhir februari 2013, pertama kali aku menginjakkan kaki di Taiwan. Setelah menjalani pengecekan imigrasi di bandara Touyen Internasional Taiwan, aku dan banyak rekan-rekan se-tanah air bahkan lain negara dibawa ke penampungan sementara untuk beristirahat sebelum keesokan paginya kami semua harus melakukan medikal check up.

Pagi hari setelah medikal check up, aku dan beberapa teman satu agensi dijemput, kemudian pihak agensi membawa kami untuk mengurus dokumen ARC, ASKES dan dokumen penunjang lainnya. Sore hari itu juga aku diantarkan ke rumah majikanku.

"Rumah?" aku menggumam dalam hati.
"Bukankah jobku bekerja di pabrik? tapi mengapa aku diantar ke rumah majikan?" aku bertanya-tanya dalam hati.

Aku curiga jangan-jangan ada manipulasi job atasku. Kecurigaanku makin menguat ketika aku benar-benar sampai di rumah majikan.
Seorang pria menyambut kedatanganku bersama dengan satu penerjemah yang mengantarku.

Di ruang tamu ada dua orang lainnya. Mereka adalah istri dan ibu dari pria tadi yang tak lain adalah majikanku.
Nenek mengalami lumpuh pada sebagian tubuhnya, sehingga untuk melakukan segala aktifitas ia harus dibantu. Dari itulah aku ditugaskan untuk merawat nenek.

"Apa! aku merawat Ama? bukankah job ku adalah bekerja di pabrik produksi bukan sebagai perawat?" tanyaku terkejut setelah penerjemah menjelaskan pekerjaanku sesungguhnya.

Memang majikanku mempunyai pabrik produksi spring bed dan perlengkapan tidur lainnya yany berada tak jauh dari rumah ini. Bisa dibilang masih dalam satu lingkungan. Tapi karena itu hanya pabrik kecil, sehingga tidak mendapatkan izin untuk mengambil pekerja dari luar negeri.

Ini yang membuatku semakin heran, mengapa ini semua bisa terjadi.

"Ya Allah cobaan apa yang Engkau ujikan padaku saat ini?  beri aku kesabaran untuk menjalani ujian-Mu ini Ya Rabb", do'aku penuh harap.

Benar saja, hari-hariku adalah menjaga dan merawat nenek yang lumpuh, dengan segala pekerjaan rumah lainnya. Malangnya lagi aku hanya tinggal berdua bersama nenek di bangunan 4 lantai itu. Sedangkan majikanku tinggal di rumah yang berbeda. Mereka hanya akan datang 3 kali dalam seminggu, dan itu pun hanya beberapa jam tanpa pernah menginap.

Dengan keterbatasan bahasa yang aku miliki, di tambah pekerjaan yang seakan tiada habisnya, belum lagi nenek yang super cerewet dan perhitungan membuatku sangat tertekan. Jam kerja yang hampir sehari semalam tidaklah dihitung lembur sebagaimana perincian gaji di sektor formal.
Dengan kondisi ini akulah pihak yang sangat dirugikan. Job nyata sehari-hari adalah sebagai perawat nenek, sedangkan perjanjian kontrak kerja yang tertera resmi adalah sektor formal, yang mana gajiku tiap bulan harus dipotong untuk biaya pajak dan uang makan. Namun jam lembur dihitung menurut gaji sektor non-formal. Hitungan lembur per hari bukan per jam, sangat tidak adil bukan?

Tak berhenti di situ, aku berusaha meminta keadilan dengan menghubungi PPTKIS yang memberangkatkanku. Nihil, PPTKIS seakan lepas tangan dengan masalahku. Aku mencoba bersabar dan mencari informas, sekiranya ada pihak yang dapat membantuku mencari jalan keluar.

Dalam keadaan serba terdesak, aku bertemu seseorang di taman ketika aku membawa nenek jalan-jalan ke taman. Ternyata ia adalah BMI kaburan. Aku menceritakan semua masalahku padanya. Ia kemudian menyarankanku untuk mengikuti jejaknya.

Gaji besar, tanpa beban potongan ini itu, bebas tanpa ikatan kontrak dan fasilitas menggiurkan lainnya yang ia tawarkan padaku. Bahkan ia pun mengenalkanku pada agensi ilegalnya.
Dengan iming-iming yang sangat menggiurkan itu membuatku gamang dengan pendirianku selama ini.

"Yah, mungkin ini adalah jalan terbaik untukku", gumamku dalam hati.

Bukankah PPTKIS dan agensi tak lagi peduli dan tak bisa membantuku? belum lagi celoteh nenek yang sering menuduhku mencuri barang dan makanan miliknya, membuatku makin yakin dengan keputusan ini.

Setiap majikan datang ke rumah nenek selalu mengadu hal yang bukan-bukan, ada saja tuduhannya padaku. Bahkan mereka sampai menggeledah seluruh isi lemariku untuk memastikan bahwa aku tidak mencuri barang-barang nenek.

Meskipun mereka tak menemukan apapun di dalam lemariku, tak lantas membuat mereka puas. Selalu saja majikan membela nenek dan mendampratku semau mereka tanpa mempedulikan perasaanku. Mereka berpendapat, bahwa mereka menggajiku tiap bulan. Sehingga mereka berhak berlaku apa saja yang mereka mau terhadapku.

Tekadku sudah bulat akan mengikuti saran teman yang kaburan tersebut. Semua barang-barang milikku telah aku packing rapi. Sore ini aku akan menemui agensi ilegal itu, dan meminta bantuan padanya.
Namun, pertolongan Allah datang di waktu yang tepat, sebelum aku jauh melangkah dan tersesat.

Pagi hari …

Pada hari yang sama sebelum aku kabur dari rumah majikanku, aku mengantarkan nenek ke rumah sakit untuk terapi. Di sana aku bertemu dengan sahabatku satu PPTKIS dulu. Aku sangat bersyukur bertemu dengannya. Aku ceritakan perihal masalahku dan niatku sore itu yang akan kabur dari rumah majikan.

Dia, sahabatku sangat keras melarang tindakan bodoh yang hanya akan merugikan diri sendiri bahkan mencoreng nama baik bangsa. Berbagai nasehat akan semua keburukan jika aku menjadi BMI ilegal ia sampaikan padaku. Bahkan ia mrmberi solusi dan berjanji akan membantuku, asal aku bersabar dan tidak pernah kabur untuk menjadi BMI ilegal.

Aku disarankannya agar menghubungi layanan pengaduan bantuan hukum KDEI melalui telepon 1955. Dia juga membantuku meminta bantuan Satgas KDEI yang membantu mendampingi BMI bermasalah sepertiku. Semua memang butuh proses dan kesabaran.

Agensi sejatinya hanya berpihak kepada majikan, mengetahui usahaku meminta bantuan lembaga hukum terkait semakin keras memarahi bahkan mengancam akan memulangkanku ke Indonesia jika aku tidak segera mencabut laporanku. Namun aku tidak takut dan tetap pada pendirianku.

Di tambah aku mendapatkan bantuan dari petugas Satgas yang mendampingiku. Kasusku dilaporkan kepada Depnaker setempat. Sehari sebelum aku dijemput pihak Berwenang untuk di tampung di Shelter House, aku mengetahui alasan mengapa majikanku mengambilku melalui jalur formal.

Itu karena ia sudah sangat bermasalah dan tidak di izinkan lagi untuk mengambil tenaga kerja asing.
3 hari aku berada di Shelter House, agensi datang mengajakku bernegoisasi. Dengan bantuan lembaga hukum ini, akhirnya aku mendapatkan hak-hakku.

Agensi mendapatkan peringatan keras bahkan diancam akan dicabut izin usahanya jika sampai hal seperti ini masih terjadi di kemudian hari. Majikanku mendapat denda sesuai Undang-undang hukum yang berlaku.

Alhamdulillah, puji syukur tak henti-hentinya aku panjatkan Kepada Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya.
Saat ini aku sudah bekerja sesuai kontrak kerja dan mendapatkan hak-hakku.

Maha Besar Allah dengan segala Fiman-Nya.

"Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan". (QS. Al- Insyiraah : 5)

Pertolongan Allah datang tepat pada waktunya. Melalui perantara sahabatku, yang membantuku menemukan jalan keluar untuk masalahku ini.
Aku semakin yakin akan kuasa-Nya bahwa Dia mengetahui apa yang terbaik bagi setiap hamba-Nya. Seperti Firman-Nya

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui". (QS. Al-baqarah : 216)

Semoga kisahku dapat menjadi pelajaran, bahwa kita harus tetap tegar dan sabar dalam menghadapi segala ujian. Percayalah pasti ada jalan keluar dari setiap masalah. Patuhi hukum dan jangan pernah melanggarnya. Agar tiada penyesalan dan merugikan diri sendiri bahkan mencoreng nama baik bangsa.

***

Tamat
Changhwa, 2014/04/23



Recommendation(評審評語):
For me, personally, this story is very interesting. It is a diary-style writings that give chance to the readers to go inside everyday life of the main characters. At the same time, these also become an advice for any migrant workers who feel the same situation, to be strong and resilient. By using herself as a living sample. By using short, strong, and clear words, the story become very powerful from the start until end. She also gave some tips alongside it, to help other workers, whom still doesn’t know where to go if they facing the same problem. My revisions is only variation of grammars that she used. In Indonesian language, some words are just misplaced and she can find words that have the same meaning but more powerful.